Pada 2011 Yayasan Biennale Yogyakarta (YBY) meluncurkan proyek Biennale Jogja seri Equator (Biennale Equator), serangkaian pameran dengan agenda jangka panjang yang akan berlangsung sampai dengan tahun 2022. Biennale Equator akan mematok batasan geografis tertentu sebagai wilayah kerjanya, yakni kawasan yang terentang di antara 23.27° LU dan 23.27° LS. Dalam setiap penyelenggaraannya Biennale Equator akan bekerja dengan satu, atau lebih, negara, atau kawasan, sebagai ‘rekanan’, dengan mengundang seniman-seniman dari negara-negara yang berada di wilayah ini untuk bekerja sama, berkarya, berpameran, bertemu, dan berdialog dengan seniman-seniman, kelompok-kelompok, organisasi-organisasi seni dan budaya Indonesia di Yogyakarta.
Biennale Equator bertekad untuk mengembangkan perspektif baru dalam wacana seni rupa kontemporer, sekaligus untuk membuka diri dan melakukan revisi atas ‘kemapanan’ ataupun konvensi atas kegiatan sejenis. Di tengah dinamika medan seni rupa global yang sangat dinamis—seolah-olah inklusif dan egaliter, hirarki antara pusat dan pinggiran sebetulnya masih sangat nyata. Oleh karena itu kebutuhan-kebutuhan untuk melakukan intervensi menjadi sangat mendesak. YBY mengangankan suatu sarana (platform) bersama yang mampu menyanggah, menyela atau sekurang-kurangnya memprovokasi dominasi sang pusat, dan memunculkan alternatif melalui keragaman praktik seni rupa kontemporer dari perspektif Indonesia.
Equator/Katulistiwa akan menjadi common platform untuk ‘membaca kembali‘ dunia. Menegasi keberadaan pusat-pusat dengan menawarkan area kerja wilayah sabuk katulistiwa dengan sudut pandang yang nir-pusat.
Konsep Equator tidak saja diangankan untuk menjadi semacam bingkai yang mewadahi kesamaan, tapi juga sebagai titik berangkat untuk mengejawantahkan keberagaman budaya masyarakat global dewasa ini. Sebagai batasan geografis, Equator adalah kawasan yang memiliki kekhasan secara ekologis. Sebagai kawasan sosial-budaya, sejumlah negara di wilayah ini juga memiliki banyak kemiripan secara historis dan etnografis, misalnya dalam hal nasib politik sebagai ‘negara pascakolonial’. Wilayah ini luar biasa menarik untuk dieksplorasi karena keberagaman masyarakatnya merupakan cerminan kekayaan budaya, sekaligus sumber daya hidup yang tidak berjeda.
Ekuator/Khatulistiwa, zona bumi yang relatif memiliki kecepatan rotasi lebih tinggi, bentangan wilayah sepanjang 40.000 km, mozaik pulau dan benua dalam anyaman samudera, akan menjadi ‘arena’ pencarian pengkajian, pertemuan, perjumpaan dan pembaharuan kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Wilayah-wilayah atau negara-negara Ekuator yang direncanakan akan bekerja sama dengan BJ untuk sepuluh tahun ke depan adalah:
- India (Biennale Jogja XI 2011) – Telah berlangsung
- Negara-negara Arab (Biennale Jogja XII 2013)
- Negara-negara di benua Afrika (Biennale Jogja XIII 2015)
- Negara-negara di Amerika Latin (Biennale Jogja XIV 2017)
- Negara-negara di Kepulauan Pasifik dan Australia, termasuk Indonesia sebagai Nusantara (Biennale Jogja XV 2019) – karena kekhasan cakupan wilayah ini, BJ XV dapat disebut sebagai ‘Biennale Laut’ (Ocean Biennale)
- Negara-negara di Asia Tenggara (Biennale Jogja XVI 2021)
- Konklusi perjalanan menempuh garis khatulistiwa akan ditutup dengan KONFERENSI EQUATOR pada tahun 2022.
Perjumpaan (encounter) melalui kegiatan seni rupa dalam Biennale Equator, diselenggarakan dengan semangat membangun jejaring yang berkelanjutan di antara para praktisi di kawasan Equator. Dengan jejaring tersebut, BJ dapat memberikan kontribusi pada terbentuknya topografi medan seni rupa global yang dirumuskan secara baru. Upaya tersebut telah dirintis melalui Biennale Jogja XI tahun 2011 yang lalu, dengan bertemunya dua negara, Indonesia dan India, sebagai anggota kawasan Equator dengan potensi dan sumber daya besar di Asia. India dipilih karena dianggap memiliki kaitan sejarah politik dengan prakarsa Konferensi Asia Afrika pada tahun 1955 oleh Indonesia di Bandung, selain kaitan dengan sejarah kebudayaan kedua kawasan pada masa pra-modern, ketika interaksi yang luar biasa di antara kedua negara berlangsung melalui perdagangan dan penyebaran agama Hindhu dan Buddha.