Merancang Pameran Arsip: Satu Dekade Biennale Jogja Khatulistiwa
Pameran Arsip
KHATULISTIWA SEBAGAI METODE
Biennale Jogja 2021
Latar belakang
Biennale Jogja seri khatulistiwa telah terlangsung selama 10 tahun dengan fokus tujuan untuk berkontribusi pada wacana seni di belahan bumi selatan, dan melihat bagaimana negara-negara khatulistiwa mempunyai sejarah dan kebudayaan yang spesifik yang kemudian menjadi bagian dari kekayaan global. Sepanjang 10 tahun, Yayasan Biennale Yogyakarta menjalin kerja sama dengan negara-negara mitra yang mewakili satu bagian wilayah yang dilalui oleh garis khatulistiwa, yang membawa penyelidikan dan percakapan berkembang ke dalam berbagai aspek kehidupan dan konteks sosial politik: mulai dari bentang alam, iklim, atau perkembangan demokrasi. Selain itu, bagi Yayasan Biennale Yogyakarta sendiri, menjadi penting untuk meredefinisi makna tentang internasionalisme yang acap dirujuk dalam wacana seni kontemporer, terutama yang berkembang d
alam dua dekade terakhir, di mana relasi kuasa antara sistem seni Barat dengan wilayah-wilayah lainnya menjadi tidak seimbang, terlalu terpusat pada sejarah seni yang berbasis pada pemikiran Eropa-Amerika. Upaya untuk mengembangkan Biennale Jogja seri khatulistiwa merupakan pernyataan serius untuk mempertanyakan keseimbangan relasi kuasa dan karenanya, di masa depan, menjadi titik pijak untuk lebih percaya diri pada sejarah seni kita sendiri atau solidaritas komunitas seni di Kawasan Global Selatan.
Metode kerja Biennale Jogja adalah menghubungkan diri dengan satu wilayah atau satu negara dalam setiap edisi, sehingga perjalanan mengelilingi garis khatulistiwa adalah sebuah langkah untuk memahami perbedaan dan keragaman khazanah budaya. Pada perjalanan selama 10 tahun, berikut adalah negara yang menjadi bagian dari perhelatan ini:
Biennale Jogja Equator #1 2011: Indonesia bertemu India
Biennale Jogja Equator #2 2013: Indonesia bertemu Negara-negara Arab
Biennale Jogja Equator #3 2015: Indonesia bertemu Nigeria
Biennale Jogja Equator #4 2017: Indonesia bertemu Brazil
Biennale Jogja Equator
#5 2019 : Indonesia bersama Asia Tenggara
Selama 10 tahun penyelenggaraannya, Biennale Jogja Khatulistiwa telah mendapatkan apresiasi yang kuat dari jejaring kerja internasional, yang melihat bahwa inisiatif ini merupakan hal yang penting untuk diperluas cakupannya, atau menjaring kerja dari banyak pihak. Gagasan untuk memperkuat medan seni di belahan bumi selatan menjadi semangat yang relevan seiring dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dan desakan dari komunitas seni lebih luas dalam dekolonisasi seni. Selain itu, menghubungkan pelaku dan komunitas seni untuk membangun semangat solidaritas bersama menjadi kerja lanjutan yang harus terus dijaga dalam rangka membawa agenda dekolonisasi ini menjadi platform bersama dalam skala yang lebih luas.
Karena berlangsung dengan jeda waktu yang cukup lama, maka cukup sulit untuk menjaga ingatan bersama tentang peristiwa yang panjang ini, sehingga menjadi penting bahwa dalam rangkaian penutup putaran I khatulistiwa, gagasan dasar dan konsep-konsep yang muncul selama berlangsungnya BJE dimunculkan kembali. Dengan bentuk pameran, diharapkan narasi-narasi yang pada awalnya tampak terputus bisa muncul dalam moda yang lebih berkesinambungan, sehingga gagasannya pun lebih dapat diterima. Memamerkan arsip ini juga berarti menampilkan kisah-kisah pasca peristiwa yang biasanya tidak muncul ketika pameran atau festival tersebut berlangsung, sehingga audiens dapat memahami bagaimana pemikiran tetap dirawat setelah pameran usai.
FOKUS TEMA:
1. Budaya Khatulistiwa sebagai konteks
Sub tema ini akan membicarakan khatulistiwa sebagai konteks umum dari gerakan yang diinisiasi oleh Biennale Jogja. Bagaimana secara budaya konteks khatulistiwa memberik
an satu penanda khusus yang unik sehingga ia cukup berbeda dengan fenomena kebudayaan lain? Apakah ada penanda tersebut? Apakah identitas budaya khatulistiwa mempunyai karakter-karakter tertentu yang menghubungkan berbagai negara dan etnisitas? Bagaimana bentang alam dan kondisi lingkungan mempengaruhi gaya hidup masyarakat di wilayah khatulistiwa?
Bagaimana budaya khatulistiwa bersilang dengan situasi-situasi kolonial? Sebagai wilayah yang didaku mempunyai kekayaan alam karena iklim dan tanah yang subur, rempah dan hasil bumi dari wilayah khatulistiwa telah mengawali sejarah kolonialisme yang kemudian mengubah banyak hal dalam sejarah peradaban manusia.
Selain membicarakan bagaimana bentang alam mempengaruhi sejarah, dalam konteks ini tercakup pula diskusi-diskusi mengenai spiritualitas, sistem kekerabatan dan komunitas, hukum adat, dan pranata sosial lain yang berbeda dengan gagasan institusi modern.
Penggalian atau pengkategorian beragam kebudayaan dalam konteks khatulistiwa ini tidak dimaksudkan untuk mencari “esensi” atau sesuatu yang bisa disebut sebagai identitas khusus dari khatulistiwa, tetapi lebih jauh sebagai upaya untuk memahami kembali pengetahuan dan sejarah lokal dalam kacamata dan cara pandang warga khatulistiwa sendiri. Dalam pranata pengetahuan dan pendidikan selama ratusan tahun, pengetahuan diseragamkan dalam sistem dan cara pandang yang asing dari warganya, sehingga justru terbentang jarak antara pengetahuan dan pengalaman hidup. Membaca kembali budaya khatulistiwa dalam konteks ini lebih bersifat mengenali identitas dan pengetahuan setempat yang relevan dengan kehidupan masa kini, ketimbang membangun kembali gagasan identitas yang berbasis pada esensialisme.
2. Khatulistiwa dan Konteks Sosial Politik Global
Seperti acap disebut dalam berbagai pernyataan dan penerbitan, salah satu inspirasi utama dalam inisiasi Biennale Jogja Khatulistiwa adalah Konferensi Asia Afrika (KAA) yang menunjukkan pentingnya peran Indonesia dalam membangun alternatif baru bagi perkembangan dunia global. Melalui KAA, kerja-kerja diplomasi telah menunjukkan aspek kepercayaan diri untuk lepas dari ketergantungan dari kelompok imperialis, dan semangat ini menjadi salah satu pengantar bagi gerakan Non-Blok yang lebih luas.
Subtema ini akan menggali bagaimana KAA menjadi titik penting dalam linimasi pasca-kolonial, dengan melihat situasi-situasi penting yang melingkupinya pada saat itu secara lebih luas.
Kemudian, gagasan akan meluas pada peristiwa-peristiwa yang muncul setelah KAA dan bagaimana KAA memberikan kontribusi pada pemikiran dunia (yang kemudian dikenal dengan Spirit Bandung), dan terus menjaga semangat untuk membangun solidaritas dari negara yang pernah mengalami penjajahan. Pada bagian ini, akan dilihat pula bagaimana seni menjadi bagian dari strategi penting untuk pertarungan kuasa antara kelompok-kelompok geopolitik baru pasca Perang Dunia.
3. Konteks Dekolonisasi Seni
Bagian ini menjadi ruang yang cukup terfokus untuk membicarakan gagasan dekolonisasi seni yang dicita-citakan oleh Biennale Jogja Khatulistiwa. Bagaimana edisi 1 hingga edisi 5 dari Biennale Jogja Khatulistiwa menunjukkan kesinambungan gagasan dan pemikiran, sehingga bisa menunjukkan satu spirit tentang ruang seni yang tidak semata-mata meniru sistem seni Barat, melainkan menjadi upaya untuk membaca praktik dan sejarah seni yang ada dalam lingkup tempat-annya? Bagaimana kemudian seni-seni dari Kawasan global selatan memberikan kontribusi pada wacana seni global, tidak saja melalui keikutsertaan para seniman dalam pameran-pameran skala besar di ruang-ruang seni yang mapan di Amerika- Eropa, melainkan dalam bangunan pengetahuan seni itu sendiri? Apakah karya-karya dan pendekatan kuratorial yang ditunjukkan oleh mereka yang terlibat dalam Biennale Jogja bisa memunculkan spirit dekolonisasi tersebut, atau setidaknya, memunculkan pandangan kritis tentang pengetahuan dan medium seni itu sendiri?
Pada pameran tersebut, arsip yang berhubungan dengan proses kerja, kegiatan residensi ataupun produksi karya seniman, akan ditawarkan sebagai bahan untuk membentuk tafsir atas proses penciptaan yang baru.