Zaman terus beralih dengan segala jenis pembaruannya, tetapi krisis tetap silih berganti. Ia berganti rupa atau semakin tebal lapisannya. Ia kian meminggirkan banyak kelompok. Mulai dari krisis lingkungan, ekonomi, hingga kekerasan terhadap suatu kelompok etnis dan kelompok rentan. Apalagi, krisis tersebut seringkali hadir sebagai dampak dari kepemilikan dan campur tangan kelompok elit melalui industri multinasional, kebijakan negara yang bertumpu pada logika dan sistem ekonomi pasar bebas, serta kekerasan pengetahuan yang telah diwariskan sejak masa penjajahan. Menjadi tidak mengherankan jika risiko dari krisis-krisis tersebut menciptakan berbagai kondisi kerentanan fisik, sosial, dan psikologis. Oleh sebab itu, kerja-kerja perawatan dalam dimensi kesenian dan kebudayaan dapat menjadi cara alternatif dari untuk mewujudkan solidaritas. Tujuannya untuk mengurai bentuk-bentuk kerentanan dan merefleksikan ulang relasi antara manusia dengan lingkungan sekitarnya.
Perawatan dalam pengetahuan kultural di kepulauan Indonesia, dipandang sebagai kata kerja sekaligus kata sifat. Watak, gestur, dan imaji perawatan itu sangat melekat dalam berbagai personifikasi “Ibu Bumi” (Mother Earth). Beberapa di antaranya adalah Nyai Pohaci Sanghyang Asri dalam masyarakat Sunda, Dewi Sri dalam masyarakat Jawa, Sanghyang Serri dalam masyarakat Bugis, Puti Silansari dalam masyarakat Minang, hingga kepercayaan Alifuru Ina di Maluku. Beberapa catatan dan serat menunjukan bahwa personifikasi “Ibu Bumi” itu selalu mengupayakan perawatan — bahkan pada saat krisis dan peperangan yang menghasilkan kerentanan.
Pada ajang Simposium Khatulistiwa tahun 2024, Yayasan Biennale Yogyakarta ingin mengajak publik untuk merenungkan kembali kerja-kerja perawatan yang dapat dijahit bersama warga. Memilih satu istilah dalam bahasa Sanskerta, yaitu mupakara kami menjadikannya sebagai judul sekaligus pijakan. Dalam beberapa teks lama, istilah ini hadir sebagai kata kerja dan terkadang juga sebagai kata sifat. Mupakara bisa diartikan merawat dan menjaga. Lebih dari urusan peristilahan semata, mupakara bisa jadi sebuah metode pembacaan alternatif terhadap kerja perawatan melalui pengetahuan kultural — tentu, agar tidak sekedar menempatkannya sebagai yang-arkais atau aksi “melap-lap kebudayaan lama sampai mengkilap”. Sebagai kata sifat, mupakara melekat dalam sosok Dewi Sri yang dipercaya sebagai simbol kesuburan oleh masyarakat Jawa.
Mupakara kemudian menjadi konsep dalam keseluruhan kerja perawatan Dewi Sri — perawatan sebagai tindakan sehari-hari dalam krisis, duka, dan kerentanan. Tak sekedar perawatan dalam makna normatif, tetapi sebuah upaya bersolidaritas dan saling bergandengan tangan untuk berbagi hidup. Dalam dunia yang dilanda lapisan krisis, mupakara merupakan pijakan untuk direfleksikan dan diartikulasikan. Terlebih untuk menjalani solidaritas yang melintas sekat-sekat ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya.
Mupakara sebagai judul sekaligus visi dari Simposium Khatulistiwa tahun ini merupakan upaya untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan tentang kerja perawatan dan kerentanan sebagai cara melanjutkan solidaritas. Eksplorasi tidak terbatas pada percakapan akademik di dalam ruang formal. Akan tetapi, turut mendorong aktivasi ruang sehari-hari yang berada di sekitar Yogyakarta sebagai arena percakapan. Sedari ruang pedesaan, perkotaan, dan juga kampung-kota. Eksplorasi tersebut dapat dimaknai dalam dua konteks: perluasan percakapan dan pelibatan berbagai pihak. Kedua konteks merupakan cara agar percakapan di dalam Simposium Khatulistiwa dapat direfleksikan secara lebih terbuka dan dialogis.
Simposium Khatulistiwa akan diselenggarakan pada 2-4 Oktober 2024. Rangkaian presentsi dan diskusi akan dihelat di Universitas Negeri Yogyakarta, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dan Kampoeng Mataraman. Selain panel-panel presentasi dan diskusi oleh keynote speaker, Simposium Khatulistiwa juga akan menghadirkan program Roundtable.
Berangkat dari tema kerja perawatan sebagai pijakan, Simposium Khatulistiwa tidak membatasi Kerja-kerja perawatan pada model kerja profesional, berupah, atau sosial. Akan tetapi, kerja perawatan yang dimaksud dipahami sebagai bentuk perhatian, pelibatan, perbincangan, pembagian sumber daya, kehadiran, keintiman, afeksi dan sebagainya.
Maka, dalam simposium tersebut nantinya akan menghadirkan berbagai topik mulai dari solidaritas global selatan, keadilan gender, ekologi, pedesaan, isu urbanisme, pengarsipan, hingga gender minoritas.