Perjalanan Biennale Ekuator mengelilingi bola dunia kali ini telah mencapai titik henti yang keempat. Dengan memulai perjalanan menuju ke Barat, yaitu India pada 2011, Yayasan Biennale Yogyakarta terus melanjutkan perjumpaan dengan wilayah-wilayah geopolitik yang menantang pada periode selanjutnya, mulai dari kawasan Arab (2013), kawasan Afrika yaitu dengan Nigeria (2015), lalu dengan jazirah Amerika Selatan tepatnya Brazil (2017), dan kemudian kita kembali melihat kawasan terdekat dengan kita pada dua edisi mendatang, yaitu pasifik dan Asia Tenggara.
Melalui diskusi panjang, pada 2019 ini YBY mencoba melihat Asia Tenggara dan beberapa wilayah lain sebagai kemungkinan negara mitra. Memang mengadakan pameran berfokus pada Asia Tenggara terdengar sebagai gagasan klise yang sudah banyak dilakukan. Tetapi, justru ini mendorong kita melihat kemungkinan lain; bahwa Asia Tenggara mempunyai potensi-potensi yang jauh lebih kaya dan relevan dengan situasi global ketimbang hanya membayangkannya sebagai wilayah geografis yang secara politik sering disebut sebagai ASEAN, seperti yang sering menjadi pengetahuan umum selama ini.
Dalam beberapa kali pertemuanTtim YBY bersama ahli kawasan, ada kesadaran untuk melihat kembali keterhubungan antar rumpun bangsa dan sejarah terpinggir berkaitan dengan masyarakat Asia Tenggara; kompleksitas antara Sejarah jalan sutra, Indo-China, Dinamika Melayu, Religiusitas dan konflik sosial horizontal, situasi kolonialisme dan pasca-kolonial, dan sebagainya. Dengan melihat Asia Tenggara sebagai Cara Pandang dan Metode atas praktik keseharian masyarakat kontemporer yang kompleks inilah, gagasan tentang khatulistiwa menjadi relevan untuk diposisikan sebagai ruh bagi pembacaan atas situasi geopolitis di sini. Selama ini Asia Tenggara lebih dilihat sebagai konsep regional dalam konstelasi politik global, yang setelah pasca Perang terutama dilihat dalam kerangka negara bangsa, dan, kiranya, hal inilah yang sering menjadi penyebab dari pembacaan yang nyaris terberi dan stereotipikal.
Dalam perjalanannya mendatang, para kurator akan ditantang untuk melihat Asia Tenggara melampaui gagasan negara bangsa, dan karenanya justru melihat sejarah serta keterkaitannya dengan konsep kelautan dan nusantara yang akan menjadi salah satu fokus bagi studi YBY hingga 2022 mendatang. Asia Tenggara sendiri secara geografis seringkali disebut terbagi dua menjadi wilayah laut atau kepulauan, serta wilayah daratan. Dan dua hal ini juga menentukan perbedaan-perbedaan tradisi, cara hidup, filsafat, dan berbagai pranata lain. Tentu saja, dalam perjalanan hingga terbentuknya negara bangsa seperti yang kita terima sekarang, kompleksitas perang, perdagangan, perluasan wilayah, kolonialisme, hingga soal-soal seperti demokrasi pada periode yang lebih kini dan sebagainya, menjadi wacana-wacana penting yang akan menjadi titik berangkat untuk penelusuran terhadap narasi dan pembacaan atas kehidupan masyarakat Asia Tenggara.
Secara akademik, kawasan ini sangat berhutang pada cerita perjalanan dan catatan antropologis yang buat oleh para pejalan masa lalu seperti Ibnu Batuta, Tome Pires, hingga Rabindranath Tagore, yang pada masa kemudian diperdalam oleh kajian yang dilakukan oleh sarjana-sarjana Barat yang menjadi acuan mengenai studi kawasan hingga kini. Nama seperti Bennedict Anderson, Anthony Reid, dan beberapa yang lain, seperti menjadi rujukan-rujukan wajib ketika mempelajari Asia Tenggara. Memang tidak banyak sarjana yang berasal dari kawasan itu sendiri yang menjadi rujukan sejarah, dan, karenanya, peristiwa-peristiwa pertemuan semacam ini menjadi penting untuk mendorong pembacaan sejarah yang didasarkan pada pemikiran dari dalam sendiri. Dalam khazanah seni, nama-nama seperti TK. Sabapathy (Singapura) atau Patrick Flores (Filipina), misalnya, menjadi sumber penting dalam penulisan sejarah seni kawasan Asia Tenggara.
Dalam praktik seni kontemporer, kawasan Asia Tenggara sering dibaca sebagai bagian dari politik identitas berbasis kawasan sebagaimana Asia Timur, Asia Selatan, dan Asia Tengah (kawasan baru yang muncul setelah bubarnya Soviet). Dalam satu dekade terakhir, politik kawasan seperti ini tidak saja berupaya untuk mengembangkan satu jejaring kerja dan posisi politik tertentu dalam peta seni global yang lebih luas, tetapi juga menjadi bagian dari kooptasi pasar seni yang kerap menggunakan jargon-jargon seperti “target pasar baru” sebagai strategi pemasaran. Pembacaan-pembacaan yang sifatnya lebih luas, di luar soal pasar seni, masih belum banyak terdistribusi dalam wacana seni global. Praktik yang hibrid dengan pengaruh sejarah, tradisi, dan estetika yang muncul dari nenek moyang, dikombinasikan dengan kompleksitas sosial politik pasca perang dan pasca kolonial, semua menjadi bahan yang sangat menarik untuk dimunculkan sebagai perayaan bersama.
Keputusan untuk memilih Asia Tenggara ini kemudian bisa diturunkan kembali sebagai cara membangun posisi politik bagi kawasan-kawasan baru yang selama ini dilihat sebagai pinggiran atau juga wilayah perbatasan. Ketimbang membicarakan tentang praktik seni di pusat, ada dorongan melihat wilayah-wilayah lain seperti Makassar, Padang, Kinabalu, Pattani, Bagyo, Dha Nang, Dan kota-kota lain yang selama ini seperti tersembunyi dalam wacana urbanisme dan pembangunan pusat megapolitan di Asia Tenggara seperti Jakarta, Bangkok, Manila, dan seterusnya. Biennale Jogja Equator menjadi platform yang tepat untuk mengusung narasi dan wacana-wacana sejarah, identitas, ekologi, dan beragam lainnya dalam relasi antara kota-kota ‘pinggiran’ tersebut.