Site Loader

Forum Group Discussion Yayasan Biennale Yogyakarta: Sesi 1 “Diskusi Pengelola Ruang Seni di Jogja Bersama Yayasan Biennale Yogyakarta”

Tahun 2023 akan menjadi penyelenggaraan Biennale Jogja seri ekuator kedua yang akan berbeda. Pada Kamis 5 Januari 2023 yang lalu, Biennale Jogja bersama 17 perwakilan komunitas seni di Jogja telah melangsungkan acara diskusi bertajuk Pengelola Ruang Seni di Jogja Bersama Yayasan Biennale Jogja. Peserta yang hadir antara lain; Nanang Wijaya (NN Art Space), Gunawan Bonaventura (GPrints, Making Art Studio), Nurasif (Coffee WAE Art Space), Gunadi (Pendopo Art Space dan Studio Setiyaji), Syahrizal Pahlevi (Miracle Art Prints), Ekwan (Ruang Kembang Jati Art House), Kreasimu (Archive Art Space), Chandra (Drawing Home Studio), Binti (LAV Gallery), Sukma (Crack Studio), Galih (Survive Garage), Rangga (Ruang MES 56), Dedy Baskoro (Kumpeni Art Space), Arham (Galeri Lorong), Linda (Cemeti), Aurel (Ruang Raspati), Duls (Soboman 129).

Selama acara diskusi berlangsung, peserta diskusi memperkenalkan komunitas dan galeri mereka lalu dilanjutkan dengan menonton video singkat tentang Biennale Jogja. Video ini diputar kembali untuk menyegarkan ingatan perjalanan 10 tahun Biennale Jogja dengan negara kolaborator, sekaligus memberi pengantar tentang tema Biennale Jogja 2023 yang akan mendatang. Alia Swastika, Direktur Yayasan Biennale Jogja sekaligus moderator pada diskusi ini menyampaikan rencana mengangkat tema lokalitas dan ruang imajinasi yang baru, begitu juga dengan rencana menjadikan JNM tidak lagi sebagai ruang terpusat acara pameran besar Biennale Jogja. Selain itu Biennale juga akan menghadirkan ruang pameran di desa-desa di Yogyakarta, desa merupakan tempat bertahan dari perubahan yang urgen, banyak nilai filsafat lokal, gerakan-gerakan dan memungkinkan menjadi sebuah prototype.

Sejak tahun 2011, Biennale Jogja memiliki paralel event seperti festival equator. Festival ini bersamaan dengan berbagai acara di kabupaten lain dengan sifatnya yang open call untuk komunitas dan kolektif interdisipliner dalam merespon tema besar Biennale Jogja. Namun untuk tahun ini, akan ada seleksi 34 Art Space untuk diajak berkolaborasi.

Diskusi ini ditanggapi oleh beberapa peserta, antara lain Syahrizal Pahlevi dari Miracle Art Prints, menurutnya Biennale Jogja harus melepas tema ekuator dan membuat perubahan agar berbeda dengan perhelatan seni besar lainnya di Jogja. Dunadi mengungkapkan rasa ketertarikan akan kolaborasi ini, apalagi dengan memanfaatkan kekayaan wisata di Jogja. Sigit dari Krack Studio kembali menjelaskan sejarah asal mula Biennale Jogja terbentuk. Menurutnya, background setiap art space yang berbeda-beda memang perlu didiskusikan lebih lanjut. Akan lebih baik jika sesama komunitas dan pemilik art space membangun jejaring horizontal dan tidak menganggap hal ini menjadi kompetisi demi visi yang sama. Dedy Baskoro sebagai pengelola Kumpeni Art Space juga berbagi pengalamannya sebagai
venue pemerannya yang tanpa dipungut biaya. Menurutnya, pengelola terjebak pada industri, seniman kembali mempertanyakan siapa pengunjung yang akan hadir, dan pembeli karya mereka, hal ini menjadi dilema para pengelola.

Arham (Galeri Lorong) turut menyampaikan pendapatnya tentang Biennale Jogja yang akan keluar dari JNM, Biennale Jogja punya banyak ruang menarik, baru dan masih belum ditangkap radar. Program ini ada dan dilebur dalam Asana Bina Seni. Format paralel event dan festival equator bisa dilihat ulang, seperti mereka menjangkau di luar kawasan perkotaan dan seni berbasis peristiwa, hal ini sudah pernah dikerjakan Biennale dengan negara-negara kolaborasi hanya tinggal dimatangkan saja formatnya. Linda dari Cemeti juga berpendapat yang sama, dengan rumusan terbaru trans lokal trans history, ini menjadi eksperimen besar untuk menjawab tantangan seri ekuator kemarin, bagaimana menghubungkan praktek artistik wilayah lain dengan konteks kita. Ini PR besar, karena melibatkan banyak orang, visi artistik, misi kelembagaan yang lumayan beragam. Linda optimis ekuator menjadi pusat kajian seni khatulistiwa, bukan memilih negara yang politis tentang diskursus ekuator.

Diskusi dengan komunitas dan pengelola Art Space diakhiri dengan Kesepakatan membuat satu pertemuan lagi yang berfokus pada rencana ke depan di akhir Februari Minggu ke-4. Biennale Jogja mengucapkan terima kasih kepada komunitas dan pengelola yang telah hadir, berbagi kegelisahan, pandangan pada tata kelola seni Jogja yang lebih luas.


Selayang pandang potret acara FGD Yayasan Biennale Yogyakarta Sesi 1: “Diskusi Pengelola Ruang Seni di Jogja Bersama Yayasan Biennale Yogyakarta” di Kedai Kebun Forum :