Diskusi Kelompok Pertama Yogyakarta Biennale 19 Desember 2018
Akhir tahun lalu, Yayasan Biennale Yogyakarta mengadakan sebuah diskusi kelompok tertutup dengan mengundang beberapa narasumber dengan latar belakang bidang akademis dan pekerja seni, berlokasi di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Asia Tenggara menjadi fokus utama yang diangkat oleh biennale pada tahun 2019 ini. Sejalan dengan itu, pada diskusi kali ini, kami ingin mencoba melihat dan mencari gagasan alternatif dari Asia Tenggara. Alia Swastika, sebagai Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, memantik diskusi dengan tawaran pertanyaan; bagaimana melihat Asia Tenggara tidak lagi berangkat dari wacana pusat, tetapi melihatnya melalui pinggiran?
Saat berbicara mengenai Asia Tenggara, berdasarkan kawasan yang terkait dengan negara-negara yang tergabung di dalamnya rujukan kita akan selalu kepada kota-kota besar, misalnya; Thailand dengan Bangkok, Malaysia denga Kuala Lumpur, Vietnam dengan Hanoi, dan FIlipina dengan Manila. Pinggiran yang ditawarkan dalam diskusi ini adalah melihat bukan melalui wilayah utamanya. Juga, wilayah utama dapat diartikan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Hadir pada hari itu, Bambang Purwanto, dosen sejarah Universitas Gadjah Mada, mencoba memahami konteks Asia Tenggara melalui orang-orang Austronesia, yang ia sebut sebagai pengarung atau penjelajah khatulistiwa. Bagi Bambang, orang-orang Austronesia saat ini tidak dianggap dan menjadi minoritas dalam konteks Asia Tenggara. Padahal secara posisi politik, orang-orang Austronesia memiliki pemahaman yang dalam mengenai darat dan laut. Seiring terjadinya perubahan, orang-orang Austronesia mengalami transformasi menjadi Melayu. Sayangnya, Bambang mengatakan bahwa Melayu yang sekarang telah mengalami proses eksklusifitas, yang kemudian meliyankan posisi orang-orang Austronesia di dalamnya.
Sudut pandang lain dalam melihat Asia Tenggara melalui pemahaman mengenai batas, juga disampaikan oleh Farabi, dosen jurusan sejarah di Universitas Gadjah Mada. Pada awal penciptaan Asia Tenggara bagi Farabi merupakan proses yang sangat politis, yang merupakan hasil bentukkan dari geopolitik yang dilakukan oleh Inggris. Juga, ditambahkan oleh Profesor Laksono dari jurusan antropologi Universitas Gadjah Mada, bahwa bayangan mengenai Asia Tenggara itu terkait dengan posisi Amerika Serikat di Perang Dunia Kedua. Memang, pada akhirnya dalam melihat kawasan akan terlihat bagaimana kepentingan politik bermain, siapa yang menciptakan definisi, dialah yang memiliki kekuasaan lebih. Maka kemudian penting untuk membongkar lagi batas-batas yang diciptakan oleh negara ataupun oleh mereka yang berkuasa dalam wilayah Asia Tenggara.
Diskusi kemudian berlanjut membahas mengenai diaspora. Tentu, saat membicarakan Asia Tenggara tidak akan lepas dari diaspora atau pergerakan manusianya. Sehingga melalui diaspora kita dapat menciptakan definisi kita sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Alia, daripada mencari asal-usul mengenai keaslian dari satu masyarakat atau wilayah, lebih baik menggalinya melalui sejarah, untuk dapat keluar dari ciptaan definisi yang sudah mapan. Proses diaspora sendiri, menurut Profesor Laksono dapat menjadi cara untuk masyarakat saling berinteraksi, di mana juga menjadi salah satu proses persebaran seni.
Sehubungan dengan persebaran seni di Asia Tenggara, hadir Gintani Swastika dan Sita Magfira, sebagai perwakilan dari program Arisan Tenggara. Arisan Tenggara sendiri hadir sebagai satu pelatar bagi kolektif-kolektif seni di Asia Tenggara bertemu, berbagi, dan bekerja bersama untuk menciptakan suatu jaringan yang berkelanjutan. Melalui pengalaman Arisan Tenggara, mereka berfokus pada pertukaran dan penyebaran pengetahuan akan praktek kerja dari tiap partisipan. Dalam mengenal praktek kerja, tidak hanya pada lingkup seni saja tapi juga bagaimana konteks wilayah di mana mereka tinggal dan bekerja.
Melalui diskusi kelompok yang pertama ini, timbul harapan dan masukan kedepannya untuk penyelenggaraan biennale tahun ini. Disampaikan oleh Tri Subagya, pengajar di Universitas Sanata Dharma, agar nantinya biennale tidak lagi berangkat dari titik yang bersifat rigid dan sistematis. Pandangan ini dianggap oleh Tri nantinya akan menciptakan kategorisasi dalam melihat permasalahan, yang akan mengarah pada esensialisme. Sehingga, penting untuk menciptakan pemikiran yang reflektif, sebagaimana diungkapkan juga oleh Profesor Laksono, kerja seni sebaiknya bermuara kepada refleksi untuk dapat lanjut ke tahap proses redefinisi. Proses kedepannya, penting untuk terus mengingat bagaimana kacamata pinggiran ini dapat menjadi wacana baru dalam melihat Asia Tenggara dan terus mengingat mengenai persebaran pengetahuannya yang bisa menggapai berbagai kalangan. Juga, dalam penciptaan wacana baru ini, apakah mungkin kemudian menciptakan “jiwa” yang baru pula dari Asia Tenggara?