Site Loader

Biennale Jogja, road to Universitas Negeri Yogyakarta. Pemutaran film ini merupakan kelanjutan dari perjalanan sebelumnya yang sudah sukses dilangsungkan di Universitas Diponegoro Semarang. Film yang disutradarai oleh Putri Harbie bertajuk “Biennale Jogja – Pendidikan & Apresiasi Seni Publik” ini menelusuri pendapat dari kalangan akademik tentang hubungan kegiatan apresiasi seni dengan kegiatan belajar mengajar. Selain itu, sutradara juga mewawancarai manajer program serta peserta kegiatan yang melibatkan sekolah. Pertanyaan utama yang diajukan dalam film ini adalah: Bagaimana perhelatan Biennale Jogja menjadi ruang pendidikan yang penting bagi sekolah atau kampus di Yogyakarta? Seperti apa dampak apresiasi seni untuk perkembangan para siswa? 

Film berdurasi 25 menit ini menampilkan cast: Alia Swastika, Ladija Triana Dewi, Karen Hardini, Irham Nur Anshari, Tien Agustina dan Vattaya Azzahra. Pemutaran film berlangsung pada Kamis, 15 Desember 2022 di Ruang Cinema, Museum Pendidikan Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta, dihadiri oleh 115 peserta yang terdiri dari Mahasiswa Pendidikan Seni Rupa UNY, Dosen dan peserta umum.  

Screening film dokumenter dilanjutkan dengan diskusi terbuka dengan tajuk Olah Arsip Biennale Jogja, Pendidikan & Apresiasi Seni Publik dengan Narasumber Putri Harbie (Sutradara Film Dokumenter Biennale Jogja), Karen Hardini (Manajer Program) dan Dr. Hajar Pamadhi, M.A., Hons. (Pakar Pendidikan Seni, Dosen dan Kurator) dimoderatori oleh Kharisma Creativani (Dosen Pendidikan Seni Rupa UNY). 

Dalam diskusi terbuka ini Putri menyampaikan bahwa film dokumenter penting untuk kerja-kerja pengarsipan Biennale Jogja yang selama ini jarang bisa dibuka ke publik, dalam kesempatan ini juga Biennale ingin menampilkannya dalam format-format terbaik. Selama proses pembuatan film, Putri mendapatkan pengalaman menarik yang selama ini tidak ia dapatkan meskipun kerap berpartisipasi dalam 3 kali penyelenggaraan Biennale Jogja. Menurutnya, ia jarang bisa ngobrol secara mendalam bersama guru-guru atau pengunjung Biennale. Melalui kesempatan ini, Putri lebih mengerti seperti apa pandangan orang luar tentang Biennale Jogja.

Karen Hardini sebagai Manajer Program Biennale Jogja berpendapat bahwa alasan mengapa arsip-arsip ini harus di highlight karena Biennale menghadirkan ruang-ruang yang berbasis edukasi dengan berbagai macam alih wahana, salah satunya  melalui  minecraft yang ia juga ikut andil di dalamnya tahun 2021 yang lalu. Saat itu, Karen merupakan salah satu dari 6 penulis yang lolos dalam program Asana Bina Seni, Ia menggarap arsip 10 tahun perjalanan kolaborasi Biennale Jogja dengan negara-negara seperti India, Arab, Nigeria, Brazil, Asia Tenggara dalam bentuk game bersama seniman Riyan Kresnandi. Karen menambahkan bahwa screening film dokumenter ini merupakan alih wahana lainnya setelah game.

Biennale Jogja dalam membuat terobosan sebagai ruang pendidikan yang penting bagi sekolah, kampus dan akademisi dunia seni sudah dilakukan sejak lama. Karen memaparkan tentang kerja-kerja edukasi bersama para guru SMA, SMK, murid SD, dan beberapa tahun sebelumnya sudah membuat kids corner untuk Pameran Biennale yang dilangsungkan di JNM. 

 

 

Acara diskusi ini juga turut direspon oleh salah satu seniman Biennale Jogja yang kini menjadi Dosen Kriya di Jurusan Pendidikan Seni Rupa UNY yaitu Angga Sukma Permana. Angga menceritakan bagaimana pengalamannya ikut berpartisipasi pada Biennale Tahun 2015 Hacking Conflict. Menurutnya, pada awal penyelenggaraan Biennale Equator, ia cukup kaget karena lahir dari Biennale tempo dulu. Ia juga menceritakan tentang karyanya yang mengangkat konflik yang terjadi di Kulon Progo yaitu Proyek Bendungan Tinalah. Sebagai seorang putra daerah yang lahir dan besar di sana, ia merasa Pameran Biennale Jogja bisa menjadi ajang klarifikasi permasalahan tersebut melalui karya cukilnya.

Acara diskusi ini menjadi lebih menarik dengan pemaparan dan slide presentasi oleh Hajar Pamadhi. Pakar seni rupa ini menjelaskan bahwa seni tidak hanya sekedar ekspresi manusia, seni terdiri dari  3 struktur yaitu  fisik, sistem dan ide. Struktur fisik yang selama ini digarap dengan konsep pembelajaran artistik di sekolah-sekolah, lalu unsur sistem seperti yang dilakukan ARTJOG dan Biennale Jogja yang termasuk ke dalam struktur ide. Menurutnya konsepsi ide ini penting sekali dan Biennale Jogja cenderung ke unsur ideologinya. 

Di akhir diskusi, Putri, Karen dan Hajar Pamadhi menyampaikan harapan mereka tentang proyeksi ke depan ruang-ruang seni sebagai sarana pendidikan. Putri berpendapat ingin membawa arsipnya Biennale bisa  dibahas di kelas pendidikan seni rupa. Karen dengan harapan Biennale dapat membawa wacana yang lebih luas tentang pendidikan seni, menjadi ruang pameran berbagai kalangan dan memperluas cakrawala. Ditutup oleh Hajar Pamadhi yang mengangkat kata-kata Ki Hajar Dewantara “Ambuka Raras Angesti Wiji”, sekaligus mempertegas seni adalah pendidikan, pendidikan adalah seni.

Biennale Jogja mengucapkan terima kasih kepada Pendidikan Seni Rupa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta yang telah menerima kami untuk dapat melangsungkan screening film dokumenter, harapan kedepannya bisa terus bekerja sama untuk seni dan pendidikan yang lebih baik di Indonesia.

 

***

 

Berikut adalah beberapa potret dokumentasi acara Screening Film Dokumenter “Biennale Jogja – Pendidikan & Apresiasi Seni Publik” di Universitas Negeri Yogyakarta: