Biennale Jogja Equator kini sudah mengakhiri 10 tahun perjalanannya bersama dengan seniman dari negara-negara kolaborasi seperti India, Arab, Nigeria, Brazil, Asia Tenggara dan Oceania. Perhelatan dua tahunan Biennale Jogja akan memasuki Biennale Equator kedua yang akan dilangsungkan tahun 2023.
Selama penyelenggaraan putaran pertama terdapat banyak perubahan signifikan dari segi teknis hingga budaya kerja. Pembuatan film dokumenter ini dihadirkan untuk kembali ingatan orang-orang yang berada di balik layar kesuksesan pameran. Para panitia yang juga terdiri dari volunteer dan magang ini dihadirkan dengan metode wawancara dan pengolahan material arsip. Screening film juga sekaligus memperkenalkan kerja-kerja Biennale Jogja seri ekuator yang telah melibatkan banyak pihak dan harapan dapat membuka wacana baru untuk kerja-kerja selanjutnya tentang pendidikan seni dan wadah kaum muda.
Film dokumenter yang merupakan seri lanjutan dari film sebelumnya ini disutradarai oleh Putri Harbie. Putri merupakan lulusan Sinematografi Universitas Multimedia Nusantara, pernah menjadi asisten manajer pameran Biennale Jogja XV Equator #5 2019, ko-kurator Asana Bina Seni 2020 dan Asisten Kurator Biennale Jogja XVI #6 2021. Film dokumenter ini terdiri dari dua judul yaitu “Biennale Jogja-Pendidikan dan Apresiasi Seni” dan “Biennale Jogja-Wahana Kaum Muda.” Pada Senin 5 Desember 2022 yang lalu, film dokumenter berjudul “Biennale-Wahana Kaum Muda” dengan disertai diskusi telah sukses diselenggarakan di Ruang Sidang, Gedung D, Departemen Antropologi, Universitas Diponegoro, Semarang. Acara ini dihadiri oleh 40 peserta yang terdiri dari civitas academica Departemen Antropologi, peserta umum dan tim dari Biennale Jogja.
Film berdurasi 30 menit ini bercerita tentang wawancara Putri dengan para volunteer dan magang yang pernah terlibat dalam pameran Biennale Jogja seri equator disertai dengan arsip-arsip video dan foto. Cast film ini antara lain Alia Swastika, Jundan Aries, Robertus Panggah, Anggita Feby, Vattaya Zahra, Fuji Riang Prastowo dan Ladija Triana Dewi. Narasumber ditanya mengenai pengalaman mereka menjadi bagian dari keluarga besar Biennale Jogja dan kembali mengingat memori-memori selama pernah bekerjasama. Setelah menonton, acara dilanjutkan dengan diskusi bersama narasumber Putri Harbie (Sutradara), Adin Hysteria (co-founder Hysteria), Izmy Khumairoh (Dosen Antropologi Sosial Universitas Diponegoro), dengan dimoderatori oleh Nabila (Mahasiswa Antropologi).
Selama sesi diskusi, Adin kembali menceritakan tentang pengalamannya saat menjadi manajer pameran di Biennale Jogja tahun 2011. Ia berkali-kali mengucapkan apresiasi tinggi atas kepercayaan Biennale Jogja untuk anak muda yang belum memiliki pengalaman untuk ikut andil dalam acara besar, bahkan langsung diminta untuk mengambil posisi yang penting saat itu. Menurut Adin, volunteer yang dulunya bekerja bersama dengannya sudah menjadi tokoh penting di Jogja, sebut saja seperti penulis, dosen, pekerja seni dan seniman. Begitu juga dengan salah satu program Biennale yaitu Asana Bina Seni yang menurutnya hari ini menjadi tempat tumbuh subur kolektif-kolektif di Jogja. Merangkul anak muda untuk bergabung membuat Biennale Jogja tidak kekurangan sumber daya personal maupun komunal. Pernyataan ini diperkuat oleh tanggapan Putri atas pertanyaan moderator mengenai alasan Biennale menerima mahasiswa sebagai magang dan volunteer, yaitu ingin terus regenerasi dan beradaptasi dengan dialog-dialog anak muda hari ini.
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Adin, Izmy menanggapi Biennale Jogja tidak hanya wadah pengalaman bagi anak muda hari ini. Mahasiswa tidak melulu harus magang di BUMN atau kantor, Biennale Jogja bisa menjadi alternatif lain bagi anak Antropologi untuk mempraktikkan teori-teori yang telah mereka pelajari di kelas, apalagi bagi yang menyukai seni. Izmy juga mengungkapkan rasa penasarannya dengan kesamaan-kesamaan apa yang telah didapatkan oleh Biennale Jogja selama 10 tahun penyelenggaraan seri ekuator bersama seniman dari negara kolaborator.
Kesenian amat lekat dengan dunia antropologi terlebih merupakan salah satu dari 7 unsur-unsur kebudayaan. Begitu juga dengan pola-pola perilaku manusia yang menjadi objek penelitian setiap antropolog. Izmy berpendapat, perilaku pengunjung saat sedang berada di ruang pameran menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Ia juga ikut mengapresiasi salah satu pernyataan gallery sitter dalam satu scene film dokumenter yang menyatakan bahwa “Kami ini bukan satpam tapi edukator, kami mengedukasi setiap tamu yang datang untuk menghargai karya seni” menurutnya pernyataan ini sangat antropologis sekali.
Adin, Izmy dan Putri turut membahas topik seputar residensi dan kaitannya dengan teori antropologi. Menurut Adin yang juga merupakan dosen luar biasa di Departemen Antropologi UNDIP, hasil penelitian yang mahasiswa kerjakan dan kembalikan ke masyarakat belum tentu menjadi penting, dan bisa saja kelompok bersangkutan tidak paham atas apa yang telah mahasiswa lakukan. Melalui seni, abstraksi dari data yang diperoleh lebih memudahkan untuk dikembalikan ke masyarakat, bisa dalam dalam bentuk art project, performance atau video yang sangat akrab dengan keseharian mereka. Sepakat dengan pernyataan Adin, Izmy menambahkan pentingnya duduk bersama dan setara, melibatkan diri pada setiap kegiatan, tidak menjadi eksploitator saat berada di tengah kelompok yang ingin diteliti, baik untuk mahasiswa atau seniman yang ingin residensi.
Menanggapi hal tersebut, Putri menjelaskan bahwa residensi Biennale Jogja selama ini memang menghindari eksploitasi dan eksotisasi daerah yang dikunjungi oleh seniman, maka dari itu sejauh berlangsungnya residensi tersebut seniman harus membuat forum diskusi publik. Selain itu, akan ada seniman dari daerah yang bersangkutan juga ikut residensi ke Jogja, tujuannya jelas agar dua-duanya terdamping dan kontrasnya yang terlihat.
Biennale Jogja mengucapkan terima kasih kepada Departemen Antropologi Universitas Diponegoro yang telah menerima kami untuk dapat melangsungkan screening film dokumenter ini dengan sukses, semoga akan ada kerja kreatif dan proyek bersama lainnya di masa depan.
***
Berikut adalah beberapa potret dokumentasi acara Screening Film Dokumenter “Biennale Jogja-Wahana Kaum Muda” di Universitas Diponegoro: