PM Laksono memandang (Biennale Jogja) Khatulistiwa: Konstruksi Pengetahuan dan Distraksi Kolonialisme
Kalau kita menempatkan Biennale Jogja dalam konteks penawaran alternatif atas gagasan geopolitik dalam globalisme, ada banyak hal yang harus dipikirkan ulang. Kalau Biennale mau mengambil posisi tidak di utara tidak di selatan ya boleh-boleh saja. Berati biennale ini menjadi pusat, pusat pemikiran yang mudah-mudahan memberi alternatif. Maka menjadi penting melihat kembali sejauh mana anggapan membangun alternatif ini sudah dijalankan. Sayangnya karena saya tidak mengikuti dari waktu ke waktu, agak sulit menjawab pertanyaan ini. Sejauh mana eksistensi dari biennale ekuator ini sudah menjadi sebuah pusat gerakan seni, gerakan berfikir, berbudaya dan sebagainya?
Sudah banyak diskusi yang berlangsung di seputar gagasan timur-barat barat-timur, karena diskusi itu lahir dari sejarah kolonialisme. Tapi kemudian diambil alih oleh orang timur. Indonesia sering mengklaim dirinya orang timur, beda sama orang barat. Padahal dalam banyak diskusi, ada banyak persamaannya antara timur dan barat. Di tahun 1950an, setengah abad lebih awal lagi, orang sudah membayangkan ya kalau timur itu tidak rasional, orang barat pun tidak kurang – kurangnya tidak rasional. Orang timur juga sangat rasional dalam perkara utang piutang. Atau untuk sistem pertukaran, orang Timur juga sangat rasional ya. Dalam urusan budidaya pangan, sistem perladangan, pertanian, sebenarnya sistem yang berkembang itu pun sangat rasional. Jadi kolonialisme membawa sistem diskriminasi ya, cara membeda-bedakan kolompok dengan kelompok, orang dengan orang, alam juga demikian: dibeda-bedakan. Nah untuk kepentingan kolonial, perdagangan pasar dunia misalnya, perdagangan kita dijadikan pusat penghasil gula pada waktu itu misalnya dengan cultuur stelsel. Melalui sistem ini, dibuat lah jalur kereta api. Jalur kereta api ini melintasi Pulau Jawa, dari Semarang, Bandung, kemudian sampai solo, Jogja, itu kan untuk mengangkut produk tanam paksa….
Orang Jawa tidak pernah berfikir tentang khatulistiwa, ekuator dan sebagainya. Gagasan ini sebenarnya introduksi dari ilmu pengetahuan, atau ia adalah hasil dari kesadaran budaya yang berkembang dalam ilmu pengetahuan. Dunia dibelah-belah. Tanda ekuator juga di Pulau Jawa ini tidak terlihat. Yang ada di Kalimantan dijadikan wisata titik ekuator, garis ekuator dan simbolisme. Di Pontianak situ ada simbol khatulistiwa ada bangunannya, lalu dijadikan tempat yang eksotis, bahkan untuk turisme. Lalu budaya di Indonesia itu juga sangat beragam. Kalau kita berbicara bahasa daerah ribuan ya. Apakah itu karena khatulistiwa? Ya Tidak juga. Bahasanya sudah ada lebih dulu, budayanya sudah ada lebih dulu daripada khatulistiwa. Kata khatulistiwa muncul belakangan, setelah masyarakat mengalami institusi pendidikan yang disebut sekolah. Di Candi Borobudur pun tidak ada relief khatulistiwa kok, setahu saya. Babad Tanah Jawa juga tidak menyebut kata khatulistiwa.
Saya kira Biennale menggunakan diksi khatulistiwa untuk membangun relasi antara posisi seni dengan konteks sosial politik global yang berbeda. Tujuannya untuk membangun solidaritas seniman-seniman yang ada di khatulistiwa. Akan tetapi kita harus melihat bahwa hubungan antara khatulistiwa dan seni ini sudah banyak transformasinya. Kalau kita membicarakan seni visual, misalnya, bagaimana khatulistiwa atau bentang alam mempengaruhi praktik seni? Pilihan warna mungkin bisa dibayangkan karena dalam bahasa Inggris warna itu kan calor, colour, dari kata calor, calori, energi sebetulnya. Dulu ketika belum ada warna sintetik, warna alami itu berasal dari energi matahari yang diserap oleh tanaman melalui fotosintesa, klorofil tanaman diubah, ditangkap oleh manusia, dipindahkan kepada materi yang bukan klorofil. Misalnya pada kain, kita bisa menyebut indigo misalnya. Dewa matahari memberikan kita warna, memberikan energi, lalu–pada masanya–orang yang mampu mewarnai itu diperlakukan sebagai orang yang ajaib karena dia seperti bisa membuat atraksi sulap. Orang seperti ini bahkan dianggap memiliki kekuatan spiritual yang hebat karena dia seperti bisa menangkap pesan illahi yang disampaikan oleh matahari.
Mobilisasi, migrasi, membuat komoditi, sekaligus dimungkinkan oleh komoditi juga. Jadi jangan lupa kolonialisme dimungkinkan oleh alam, komoditi yang dihasilkan oleh alam. Kepada masyarakat setempat kolonialisme dan munculnya gagasan komoditi juga membawa pengaruh yang besar sekali. Daerah yang tertinggal di Indonesia ini memang sejak jaman kolonial tidak diperhatikan. Tapi harus diingat bahwa daerah-daerah ini juga tidak dijajah karena orang-orang kolonial melihat bahwa tanah di wilayah itu tidak dapat dibudidayakan.
Kolonialisme juga berawal dari perdagangan manusia. Manusia yang diperjual belikan. Itu dihapus baru 1869, jadi abad 19 bagian tengah akhir. Ya kolonialaisme mengubah banyak sekali. Yang cilakanya itu kan kemudian orang2 di daerah jajahannya ini mengambil alih atau mengapropriasi cara berpikir, cara bertindak dan sistem-sistem dari para penjajah. Bahkan apa yang dibentuk oleh penjajah menjadi bagian dari identitasnya. Seperti kata “Timur Barat” juga merupakan hasil konstruksi pemikiran. Kemudian, kita bisa pula mendiskusikan tentang nasionalisme yang jelas merupakan sebuah proses konstruksi yang merupakan hasil ketegangan dengan kolonialisme. Nasionalisme Indonesia, misalnya, bukan sesuatu yang tumbuh asli tetapi juga bukan anti Belanda, bukan anti asing. Masuknya nasionalisme justru inspirasinya dari sejarah bangsa-bangsa di dunia setelah Perang Dunia I lalu Perang Dunia II. Kata Indonesia pun kata Indonesia itu pun bukan asli. Ini kata yang diaproriasi dari wacana yang sudah berkembang dalam konteks internasional.
Kemudian kita mimpi bahwa kita berbeda-beda tapi satu . Nah menariknya, yang mempersatukan Indonesia itu adalah administrasi kolonial. Jadi kita mewarisi garis batas kita ini dari warisan kolonial: bahwa Malaysia, Singapore itu bagian dari Inggris, Brunei, lalu yang bagian Belanda inilah yang menjadi Republik Indonesia sekarang. Jadi kita bagian dari sejarah global. Mungkin pertanyaan yang lebih menantang adalah seberapa jauh kita–orang di Indonesia ini–kemudian bisa mempengaruhi dunia. Kalau dari sisi seni barangkali sudah banyak orang dari Eropa belajar disini. Bahkan hari ini dari sisi agama, missionaris yang bekerja di Eropa, di Amerika latin, di Afrika banyak dari Indonesia.
Ya dunia berubah, kita juga berubah. Globalisasi keniscayaan dari perubahan, perjumpaan dan pertemuan. Pertanyaan lanjutan yang harus dimunculkan, seberapa mungkin kita bisa produktif dan mampu memberi inspirasi kepada dunia, dan bukan menjadi objek yang diperebutkan sebagaimana yang terjadi pada masa lalu. Kita harus menjadi inspirasi untuk membangun kemanusiaan di dunia. Di dalam sistem nilai kita mengembangkan Pancasila, yang akhir-akhir ini mulai mendapat apresiasi dari belahan dunia yang lain. Pengalaman orang Indonesia dijajah, lalu kenyataan bahwa ada sejarah sosial budaya yang berbeda-beda, konflik berbasis SARA, kemudian kita bisa membangun gagasan kebangsaan, membangun negara, membangun filosofi hidup dengan Pancasila itu juga sebuah inovasi yang barangkali akan menginspirasi dunia. Tapi kan tergantung kemudian sumber dayanya untuk bisa secara riil mempengaruhi. Kalau tidak ya hanya omong kosong. Dunia modern, dunia barat mempengaruhi kita dengan produk, dengan energi minyak bumi, lalu teknologi berbasis minyak bumi, listrik dan sebagainya. Semua pengaruh ini berbasis mineral. Mereka menguasai pasarnya.
Dalam pandangan saya, sejauh ini kan belum diolah secara mendalam apa itu ekuator, atau apa itu biennale ekuator. Baru pada permukaan-permukaan. Masih pada tahap mungkin waton bedo. Waton suloyo. Kalau maksudnya itu membangun solidaritas dari para seniman di ekuator, harus dibayangkan basisnya apa. Karena pengalaman sejarah sama-sama pernah dijajah, juga memberikan satu pandang bersama tentang “yang asing”, “yang liyan”. Jadi sebetulnya memang harus dirumuskan isu apa yang akan diselesaikan oleh biennale ekuator. Kalau kita melihat dari waktu ke waktu, bisa kadang-kadang kelihatan agak jelas, tetapi mungkin bisa tampak absurd. Perlu ada perumusan pemikiran apa saja yang sudah dilahirkan dan masih ingin dilanjutkan. Salah satu fenomena khatulistiwa misalnya laron, yang mendekati cahaya, atau kemudian ketika laronnya pergi, cahaya itu pun tetap ada. Metafor-metafor seperti ini saya kira menarik jika menjadi bagian dari imajinasi seni.