Eko Prawoto: YOGYAKARTA DAN IMAJINASI BUDAYA WARGA YANG BERDAYA
Pewawancara:
Biennale Jogja selama 10 tahun ini telah berkontribusi terhadap gagasan dan tawaran relasi kuasa dalam konteks internasionalisme seni, terutama dengan keputusan untuk bekerja dengan kawasan khatulistiwa sebagai tema dan visi jangka panjang. Tentu ide untuk bekerja dengan wilayah geopolitik tertentu ini merupakan hasil diskusi panjang yang cermat atas berbagai fenomena seni kontemporer, termasuk berbasis pada ketimpangan terpaan pada negara-negara Barat dan Timur, Utara- Selatan. Bagaimana gagasan khatulistiwa pada awalnya diformulasikan? Apakah sejak awal ada kesadaran pasca kolonial yang membawa para pendiri Yayasan Biennale Yogyakarta untuk membangun konsep biennale yang berbeda dengan yang lain?
Kalau kita ingin melacak lagi sejarahnya, sebenarnya, Biennale Jogja seri khatulistiwa ini berangkat dari meneruskan yang sudah ada. Beberapa kali sudah berlangsung Biennale Jogja lalu ini perlu dikemas seperti apa untuk supaya bisa jadi peristiwa seni internasional, karena pada saat itu seperti ada keinginan agar Jogja juga memainkan peran untuk menjadi bagian dari dinamika seni global. Nah tentu dipikirkan berdasarkan potensi dan keunikan yang dimiliki. Waktu itu ada kesadaran untuk tidak mengambil format seperti negara-negara maju. Jadi (tidak jelas) biennale yang sudah lebih mapan seperti itu. Tapi sebetulnya tidak sekadar membuat BJ menjadi internasional tapi juga ada manfaat yang dipikirkan untuk kegiatan berkesenian dan juga dampak pada seniman-seniman di Jogja atau di Indonesia begitu. Waktu itu terlintas untuk mengaitkan dengan pembangunan infrastruktur dalam kesenian di Jogja khususnya dan juga membuat “branding” kotanya, dalam konteks ini Jogja sebagai kota budaya. Sebagai kota kebudayaan itu perlu ada sesuatu yang bisa mengingatkan dan memposisikan kotanya dalam setting yang lebih luas.
Nah sesudah itu, bersama-sama kami semua mencari keunikan kotanya dan bagaimana ketika BJ akan diwujudkan sebagai event yang internasional? Bukan sekedar kemudian ada peserta-peserta yang datang dari luar tapi gagasan dasarnya itu yang menjadi lebih penting. Nah keunikan kita adalah pada posisi geografis kita sebagai negara yang terletak di garis khatulistiwa dan waktu itu dicoba bagaimana kita bisa menggandeng negara-negara yang di seputar khatulistiwa? Jadi khatulistiwa dianggap tema kerja begitu dan dilihat posisi geografisnya begitu. Tapi terlalu kecil kalau seputar tropical belt lalu diperluas menjadi wilayah di tropic cancer dan tropic capricorn. Nah ini sebuah belt yang lebih lebar lagi, 23° LU dan LS, lalu itu ada banyak negara. Tapi kemudian kita menyadari bahwa negara-negara itu memiliki kesamaan dan perbedaan. Pada waktu itu terlintas semangat bukan melawan tapi memberikan alternatif pada istilah dialog antara utara dan selatan. Akan tetapi, kita tidak mengikuti goepolitik utara-selatan justru memilih bekerja pada wilayah yang lebih horizontal. Ya gagasannya seperti itu awalnya.
Pewawancara :
Apakah ketika kita membatasi untuk bekerja dengan equatorial belt itu sebenarnya kita juga menyaran pada bentuk2 seni tertentu ya pak? Bentuk kebudayaan tertentu juga yang itu berbeda misalnya dengan utara gitu kalau kita bicara utara-selatan? Dalam kata lain, apakah pilihan geopolitis ini juga kemudian menjadi pilihan visi estetika?
Narasumber :
Ya benar karena situasi geografis pasti akan mempengaruhi karakteristik kebudayaan. Ya ada banyak lapisan kalau kita lihat. Apakah kesamaan geografisnya, kesamaan iklim juga, juga kesamaan ini pernah dijajah dst jadi pernah jadi negara2 kolonial, sejarah sosialnya juga, dan sangat beragam. Ada yang dikategorikan sebagai maju atau sedang berkembang, juga ada negara2 pulau, benua, ada yang kepulauan atau yang lebih maritim. Nah kekayaan ini yang dilihat mungkin sangat potensil untuk jadi tema kerja nantinya. Saya juga baru menyadari ternyata kesenjangannya sangat lebar di antara negara khatulistiwa sendiri. Dan sejarah relasi kekuasaannya pun sangat kompleks. Ternyata ketika berbicara kesenian kan bukan pada produk dan objek, tapi sebuah upaya untuk menggunakan kesenian sebagai alat analisis dan kemudian bermain dalam wacana. Jadi bagaimana kesenian diterapkan secra lebih utuh, kesenian sebagai alat untuk melihat kehidupan dalam dimensi yang lebih luas. Jadi bukan kesenian yang diisolasi dan dipajang pada dirinya sendiri tapi bagaimana kesenian ini dipakai untuk membentuk perspektif dan sikap kritis untuk melihat kehidupan di dalamnya begitu. Dan ini ini temuan yang yang sangat penting menurut saya. Sehingga karya-karya yang terakumulasi itu bisa jadi bahan kajian yang hampir tidak habisnya.
Pewawancara:
Bagaimana menurut Anda kita bisa membawa persoalan yang kita bicarakan ini agar bisa menjadi bagian dari pengalaman yang kita tawarkan kepada publik? Termasuk misalnya jika kita bicara pengampu kebijakan lebih luas, bagaimana kita bisa menunjukkan nilai penting dari Biennale Jogja Khatulistiwa? Bagaimana membangun dialog dengan banyak pihak sehingga tawaran BJE bisa menjadi urgensi bersama atau bahkan bisa menjadi bagian dari strategi kebudayaan?
Jangka waktunya panjang sekali. Ini sebuah investasi kultural menurut saya. Juga menjadi ruang di mana mekanisme-mekanisme kerja yang konvensional juga dipertanyakan. Ada juga keinginan untuk memperluas pendekatan menjadi pendekatan yang inter atau transdisipliner. Kita juga mempertanyakan peran kampus; kampusnya tidak hanya kampus ISI misalnya, tapi juga kampus yang lain.
Pewawancara:
Kita bekerja dengan konteks politik yang berbeda, meskipun mempunyai banyak kesamaan berkaitan dengan pengalaman kolonialisme. Lalu juga pasca Perang Dunia, menjadi negara demokrasi, lalu terjadi Perang Dingin. Nah beberapa kali kemudian kita bekerja dengan negara seperti Nigeria atau Brazil yang pengalaman demokrasinya menjadi chaos seperti kita. Setiap kali penyelenggaraan Biennale, kita seperti punya ruang untuk becermin, melihat kenyataan kita melalui fenomena liyan. Nah, menurut Anda, apakah kesenian itu bisa mempunyai peran untuk memberi alternatif lain dari jalan-jalan politik arus utama?
Narasumber :
Dunia seni sendiri itu menurut saya ini bisa jadi metode kerja atau alat yang sangat kuat. Disiplin ilmu lain hampir tidak memiliki kapasitas sebagaimana seni. Kalau kita bicara tentang situasi dunia yang sangat terfragmentasi dan kesenjangan sosial yang sangat kasat mata, maka ilmu-ilmu yang kita pakai justru punya potensi untuk memperparah keadaan atau memecah belah, misalnya. Hanya dua disiplin yang menurut saya yang punya potensi untuk merangkul, untuk mengikat, satunya adalah kesenian. Jadi kesenian itu punya kapasitas untuk berbicara secara lebih inklusif. Yang satunya lagi environment. Tapi disiplin ilmu lain cenderung kemudian membuat jarak atau memilah, seperti itu. Nah kita bisa menggunakan kesenian ini karena kesenian ini multi interpretasi dan multi layer dan sehingga sangat cair sekali, sangat powerful, dan bisa sangat halus atau bisa kemudian sangat kasar, fisiknya kelihatan, bisa sangat kecil, bisa sangat besar, dan sebetulnya orang bisa mengakpresiasinya mulai dari yang paling fisik sampai kemudian yang paling intelektual. Nah potensi itu ada. Tapi lewat ini kesenian dan lingkungan menjadi platform yang sangat inklusif menurut saya.
Pewawancara:
Bagaimana kita berbicara politik kebudayaan kota dalam konteks ini? Anda sendiri sebagai seniman sering terlibat di pameran, atau proyek-proyek kebudayaan seperti Gwangju Biennale. Gwangju sebenarnya itu bukan kota-kota yang dilihat sebagai pusat kebudayaan awalnya. Gwangju juga kalah dengan Seoul atau (nama kota) dengan Amsterdam, tetapi ketika mereka mempunyai peristiwa yang penting seperti biennale atau festival di (nama kota), infrastruktur kebudayaannya pelahan mulai terbangun. Tidak hanya membicarakan dalam konteks branding, tetapi membuat seni dan budaya bisa menerjemahkan ingatan bersama atau tindakan kolektif yang tidak dimungkinkan oleh sektor-sektor yang lain. Nah bagaimana Anda melihat Biennale Jogja dan juga punya potensi tidak hanya menciptakan infrastruktur tapi yang terpenting menurut saya juga ekologinya.
Narasumber :
Kita lebih sering bicara tentang physical planning, tata kota, tentang arsitektur, atau pengembangan kota, dan juga lagi-lagi itu fisik. Tapi sangat jarang bicara tentang social planning. Lah siapa yang melakukan social planning itu? Institusi siapa yang membuat misalnya kota itu terintegrasi secara fisik, fungsional, dan aman dan nyaman dan bersih dan seterusnya itu secara fisik diatur. Tapi bagaimana secara sosial itu supaya penduduk kota itu bisa teranyam dengan harmonis? Di Yogyakarta, hal seperti itu belum ada yang merencanakan. Nah saya kira kesenian punya kapasitas itu. Karena bisa menyapa, bisa membuat platform bersama secara sosial karena bisa berkomunikasi ke banyak orang. Di negara yang sudah maju kesenian dipakai untuk itu. Membuka kemungkinan bagi penduduk kota yang tegumpal-gumpal itu untuk bisa dijembatani dan bisa bertemu. Negara maju sangat sadar dengan peran itu. Pemerintahnya kaya dan mereka taruh uang banyak sekali supaya orang mau ketemu, bersinggungan. Karena dalam kehidupan sehari-hari mereka tidak pernah ketemu, seperti itu. Nah untuk Jogja untungnya kita masih punya tradisi yang kuat dan masih punya aktivitas2 sosial yang lain yang memungkinkan itu terjadi seperti itu, ikatan2 komunikasi sosialnya. Kesenian ini akan sudah sangat diterima dan sudah sangat dikenal oleh masyarakatnya, oleh kotanya, dan ini bisa disebut keunikan juga. Makanya Jogja disebut kota budaya seperti itu. Yang saya kira ada potensi keterbukaan dan masyarakatnya yang sangat kompatibel dalam hal itu.
Pewawancara :
Dan semua pada awalnya justru digerakkan oleh komunitasnya, bukan top-down ya pak, bukan pemerintah punya program lalu dijalankan masyarakat. Sebagian besar kegiatan ini muncul dalam komunitas kreatif, inisiatif sendiri.
Narasumber :
Ini juga mungkin keunikan kotanya yang secara sosial juga menginspirasi sehingga seniman2 yang tumbuh di Jogja itu punya jaringan sosialnya sendiri atau tangggung jawab sosialnya sendiri atau peran sosialnya sendiri yang ini agak berbeda di tempat lain. Dan keterbukaan masyarakatnya dan tidak… masyarakatnya tidak kaget gitu dengan seni yang seperti apapun gitu bisa menerima. Dan ketika beberapa kali karya2 itu didisplay di ruang publik, nggak ada vandalisme. Ini yang saya kagum dengan Jogja.