Angrok Art Club : SUB JEDHOR
Rabu 15 November 2017
Halaman Masjid Gedhe Mataram, Kotagede
24.00 WIB – Selesai
“Laela asalam salamun ngalaik ngala eka ya lain jaenal lain anbe anbe yae asalam yola salamun ngalik, lais ngala ngala eka ya lais yo jaenal yo jaenal anbe-anbe yae sholawat yola salamun ngalik, lais ngala abi bakrim, mobil dil ja yola solikina, ya ro yarodio hok miun ala ho an.” (Sholawat Nabi pembuka Jedhoran)
Sub Jedhor merupakan tafsiran ulang dari Angrok atas kesenian Jedhoran yang berarti tabuhan atau bedug. Kesenian yang memadukan tetabuhan Jawa pra-Islam dengan syair Barzanji ini merupakan wujud kesenian tertua dari akulturasi Jawa dan Islam. Dengan latar belakang kondisi politik yang berkubu antara kekuasaan yang mempertahankan diri dengan agama Siwa-Bhairawa versus masyarakat pesisir yang mulai menyerap gagasan Islam di era runtuhnya Majapahit, kesenian seperti Jedhoran adalah sarana yang dianggap oleh Walisongo mampu memediasikan konflik Jawa versus Islam.
Semula, karya Sub Jedhor adalah salah satu dari sembilan rangkaian panel instalasi berjudul Babad Paling Keramat yang pernah dipresentasikan oleh Angrok saat Jogja Artweeks, 2015 silam. Secara garis besar Babad Paling Keramat sendiri memapar pembabakan stategi kebudayaan Jawa dalam hubungannya dengan nilai-nilai di luar “Kejawaan”, mulai dari era Hindu, Buddha, Islam, kolonial dan pasca kolonial. Melihat kondisi terkini ketika tensi politik identitas, agama dan ideologi terus meninggi, Angrok menganggap strategi kebudayaan Jawa yang progresif menjadi penting untuk dipikir ulang dan dimanifestasikan.
Dalam rangkaian Parallel Events dari Biennale Jogja kali ini, Angrok mengalih-wujudkan Sub Jedhor dari karya instalasi menjadi sebuah pertunjukan audio visual, yang akan dilangsungkan di halaman Masjid Gedhe Mataram, Kotagede dengan pertimbangan sejarah perjalanan akulturasi Islam yang menemukan puncaknya pada era Mataram Islam.