Diskusi
“Antrophosophy”
Pemateri: Iwan Wijono dan Ign. Krishna Dharma
Pascasarjana ISI Yogyakarta
Jl. Suryodiningratan no. 8
Jum’at, 24 November 2017, 15.00 WIB
Diskusi sore bersama Iwan Wijono dan Ign. Krishna Dharma ini adalah salah satu dari rangkaian pembukaan pameran ‘Antrophosophy’ di tempat yang sama. Kesempatan ini Iwan Wijono bercerita mengenai kerja kreatif keseniannya, sekaligus beberapa klaimnya terhadap posisi kesenian dan dampak kontekstualisasinya. Baginya, seni di Indonesia cenderung tidak membumi, dari sini dia mempertanyakan posisi seni itu sendiri. Masyarakat kita lahir dengan basis perilaku kolektif, sebaliknya dalam kondisi demikian seni justru mengalienasi dirinya sendiri. Dalam kolektifitas masyarakat memiliki posisi yang cair antara sosial dengan alamnya. Seni menurutnya harus kontekstual, maka dari itu seni harus provokatif. Seniman dapat merespon masyarakat yang selalu berada dalam transisi, antara tradisi-modern, atau global-lokal. Transisi yang tidak pernah usai ini adalah kekayaan, kekayaan ini jika tidak disadari maka bisa berbalik menjadi konflik. Kemudian timbul pertanyaan, apakah benar pameran besar di Jogja merepresentasikan masyarakat kita?. Bagi Iwan terjadi missleading, bahwa kontemporer selalu kebarat-baratan, sedangkan tradisi selalu menjadi obyek pariwisata. Seniman adalah kreator, seniman adalah media, dan dunia adalah panggungnya. Menyikapi ini seni partisipatoris berada dalam situasi mempertemukan seni dengan publik, yang dianggap berdampak signifikan secara sosial dan ekonomi. Iwan mengakhiri dengan klaim bahwa dalam kultur partisipatoris, estetika terletak pada konteksnya, bukan pada media dan teknik.
Pembicara berikutnya adalah Ign. Krishna Dharma. Dosen sosiologi UKDW ini mempresentasikan gagasan Paulo Fiere tentang eksistensial. Fiere beranggapan bahwa eksistensi manusia terlepas dari pengertian dan definisi budaya. Budaya bukanlah sesuatu yang repetitif, tetapi suatu proses dialog krtitis. Budaya yang berulang-ulang perlahan akan mematikan, agar terus berkembang maka harus timbul pertanyaan dari manusia yaitu mau jadi apa?. Poin berikutnya adalah manusia di dalamnya mau jadi seperti apa, terutama dalam konteks menghadapi dan mewujudkan masa depan. Pertanyaan-pertanyaan eksistensial selalu fokus pada perjalanan, pada proses, pada pencarian, tetapi untuk terus berkembang, bukna berulang-ulang. Krishna mengkontekstualisasikan presentasinya dengan persitiwa kesenian. Karya yang dibahas adalah lukisan Zico Albaiquni ‘Doa Ibu Sepanjang Zaman’ di Biennale Jogja XIV. Menurutnya ketika lukisan ini diajak berkeliling Jogja, maka lahirnya dialog antara seniman dan masyarakat umum merupakan proses pencarian dan perkembangan dalam elemen kebudayaan. Peristiwa ini menjadi penting karena dialog demikian tidak terjadi pada karya seni yang sudah terinstitusionalisasi. (Hardiwan Prayoga)