Artist Talk
“On The Lighter Note”
Seniman: Rudy “Atjeh” Dharmawan, Lintang Raditya dan Sambunghambar.
Ark Galerie,
Jalan Suryodiningratan 36A, Suryodiningratan, Mantrijeron, Yogyakarta
15 November, Ark Galerie pukul 17.15 berlangsung artist talk bersama Rudy “Atjeh” Dharmawan, Lintang Raditya, dan Sambunghambar. Bincang-bincang ini merupakan bagian dari pameran ‘On A Lighter Note’ di Ark Galerie. Pameran On The Lighter Note menampilkan karya yang bersifat performatif dan interaktif. Barangkali inilah bentuk konkrit dari yang tertulis dalam catatan kuratorial, bahwa seni merupakan amplifikasi dari isu politik. Sekaligus refleksi, menjadi ruang percakapan untuk membuka kemungkinan menerabas gagasan yang sulit dinarasikan, terutama dalam konteks yang cukup sensitif.
Rudy “Atjeh” Dharmawan membuka diskusi. Atjeh bercerita mengenai kegelisahannya terhadap agama dan politik. Dikatakan bahwa ketika agama menjadi kendaraan politik, maka hilanglah esensi bahwa agama adalah kisah personal antara diri dengan Tuhan. Dalam pameran ini, dia menampilkan 2 karya. Pertama adalah tentang pengalamannya residensi ke Vietnam pada 2014. Singkat cerita, dia menemukan ada kedekatan antara kerajaan Champa (yang dulu menguasai seluruh wilayah Vietnam) dengan kerajaan Jeumpa di Aceh. Atjeh menampilkan ukiran pada kertas yang dibentuk sedemikian rupa hingga tersusun huruf hijaiyah terbaca Jeumpa. Kemudian karya kedua terinspirasi dari tarian sufi Jalaludin Rumi. Karya performatif ini menuntut interaksi pengunjung. Terdapat gitar berbentuk senjata api, yang jika dibunyikan, secara otomatis akan membuat 5 manekin berbusana sufi menari berputar. Dia bercerita bahwa karya ini sangat merepresentasikan kelindan antara agama dan politik, saling tumpang tindih kepentingan sehingga menghilangkan esensi interaksi antara manusia dengan Tuhan.
Sambung Hambar melanjutkan, seniman yang terdiri dari dua orang perempuan ini menampilkan karya berupa membuat Kartu Identitas Palsu untuk Sambung Hambar Republik. Karya inipun bersifat interaktif. Pengunjung diperkenankan membuat kartu identitas untuk republik imajinernya ini. Terdapat pula 3 panel video tentang antrian pembuatan kartu tanda penduduk (KTP) berkacamata kuda. Apa yang ingin dinarasikan adalah pertanyaan mengenai urgensi menulis agama di KTP. Narasi ini berangkat dari pengalaman kebahasaan yang sangat banyak menyadur dari bahasa asing. Bahasa yang merupakan salah satu pilar pembentuk identitas. Dalam konteks luas akan menyangkut persoalan agama, menjadi lebih kompleks ketika harus dituliskan sebagai identitas di KTP, Maka dari itu, KTP ala SambungHambar mengganti kolom “agama” dengan “ketaatan”.
Terakhir Lintang Raditya bercerita cukup panjang tentang perjalannya menemukan gagasan karya kali ini. Dia menggantung replika awan yang berubah-ubah warna, di bawahnya ada setumpuk rumput dan tanah basah. Karya ini menuntut interaksi dari pengunjung untuk tidur di atas rumput sambil memandang replika awan. Inspirasi karya ini adalah temuannya akan frekuensi elektromagnetis dalam kosmos, dan manusia memiliki life tuning tersendiri untuk mencapai ketenangan hidupnya. Dalam persoalan manusia kini yang semakin kompleks, lahir kecemasan berlebihan, berakibat menurunnya kualitas manusia untuk hidup lebih tenang. Presentasi karya ini tidak hanya visual, tetapi juga audio. Diperdengarkan gelombang suara antara 2-20.000 Hertz agar manusia dapat mencapai frekuensi idealnya. Manusia perlu menemukan life tuning agar hidupnya bisa lebih rileks. Sebagai penutup Lintang menceritakan bahwa karyanya ingin merepresentasikan hubungan antara bumi, manusia, dan langit sealami mungkin. (Hardiwan Prayoga)