LINTANG RADITTYA | RUDY ‘ATJEH’ DHARMAWAN | SAMBUNGHAMBAR
Curated by: Mira Asriningtyas
Parallel Event Biennale Jogja XIV “Age of Hope”
Pembukaan:
Kamis, 9 November 2017
Pk 19.00 WIB
Ark Galerie
Jl. Suryodiningratan 36A, Yogyakarta
Performance: Lintang Radittya berkolaborasi dengan Elyandra Widharta dan Disonant
Perpecahan merupakan resiko yang mungkin terjadi ketika politik identitas dan agama digunakan untuk mencapaikekuasaan. Salah satu manifestasi atas perilaku yang fanatik adalah mudahnya mobilisasi massa dilakukan dengan menggunakan jargon identitas sebagai bahan bakar untuk perlahan-lahan memancing perpecahan dan tindak kekerasan terhadap mereka yang memiliki identitas berbeda. Namun sebelum hal itu terjadi, perlahan-lahan nilai persatuan dan toleransi pun terancam. Filsuf Karl R.Popper mempercayai sebuah paradoks bahwa untuk menjaga toleransi dibutuhkan perilaku tegas untuk tidak mentolerir mereka yang tidak bersikap toleran.
Ia percayabahwa memberikan panggung terbuka bagi mereka yang tidak toleran bisa mengancam toleransi itu sendiri. Namun di sisi lain yang lebih ringan, di dalam pameran ini, para seniman mencoba untuk membicarakan isu toleransi dengan cara masing-masing sebagai upaya untuk membahas isu sosial melalui karya seni. Rudy “Atjeh” memilih untuk menelusuri jejak persebaran kebudayaan dan agama melalui perdagangan yang berujung pada persilangan bahasa. Ia kemudian mempertanyakan hubungan antara kerajaan Champa di Vietnam dan Jeumpa di Aceh.
Kelompok Sambung Hambar juga membicarakan hal serupa dengan mencari kata-kata serapan dalam bahasa Indonesia dan mempertanyakan relevansi kolom agama dalam KTP dengan alih-alih menyajikan kuis ketaatan yang lebih tidak kasat mata namun langsung berhubungan dengan Tuhan. Lintang Raditya memilih membicarakan fluktuasi perubahan perilaku manusia yang disebabkan oleh perubahan Schumann Resonance (SR) yang merupakan kekuatan tidak kasat mata berupa medan elektromagnetis yang fluktuasi getarannya mengganggu keseimbangan garpu tala kehidupan sehingga menimbulkan kegelisahan. Di sisi lain, Rudy “Atjeh” menggambarkan tarian Sufi yang diciptakan oleh Jalaluddin Rumi sebagai perputaran yang berulang menuju titik kesempurnaan menuju hubungan meditatif antara seorang manusia dengan Tuhannya. Seluruhnya dipanggungkan bersama sebagai pemantik percakapan atas identitas dan toleransi dalam kehidupan sehari-hari.