SENIMAN PESERTA
Pergi (untuk pulang)
Oil on canvas
120 cm x 130 cm
2017
Dalam tradisi filsafat modern(barat), ada cerita tentang Sisipus yang menceritakan tentang kepedihan dan absurditas manusia setengah dewa yang dihukum Dewa Zeus. Diceritakan oleh penulisnya Albert Camus bahwa Dewa Zeus menghukum Sisipus untuk mendorong batu besar ke puncak gunung. Cerita ini kemudian menjadi kontekstual diarahkan pada kehidupan manusia urban dekaden. Dalam bahasa kekinian dikenal dengan ababil dan lebay. Manusia urban yang terus mencari tujuan yang mereka bayangkan sebagai last escort (pelabuhan terakhir), namun mereka kemudian harus kecewa karena apa yang mereka cari itu hanya kesia-siaan belaka.
Bila tradisi barat (Yunani) mempunyai Sisipus, tradisi-tradisi besar yang selain barat juga memiliki tokoh-tokoh seperti Sisipus ini. Sama seperti Sisipus, mereka berlatarbelakang keluarga aristokrasi lama dan baru. Namun perjalanan hidup (path) yang mereka lalui kemudian berbeda dengan apa yang menimpa Sisipus. Asal muasal pemantiknya sama namun kemudian keyakinan akan apa yang dituju dan dianggap tujuan yang membedakannya. Lihatlah Sidharta Gautama yang meninggalkan segala kemewahan sebagai pangeran untuk mencari apa yang dalam agama Budha dikenal sebagai nirwana. Sebuah situasi yang dianggap menawarkan kedamaian dan alam abadi.
Namun “sesuatu yang dicari” dalam tradisi-tradisi besar tersebut dikonstruksikan sebagai sesuatu yang ada nun jauh disana. Sesuatu yang berjarak dan mengatasi realitas hidup subyeknya yaitu manusia. Inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan transenden. Demi menvapainya kemudian munculah konstruksi akan konsep-konsep pengorbanan diri sang subyek lewat metafor-metafor yang dikenal dengan frasa menahan diri, mengatasi hawa nafsu. Pendeknya si subyek (manusia) demi mencari tujuan yang dicari tersebut harus “mengatasi” kediriannya. Meninggalkan apa yang kemudian dikenal dengan istilah yang imanen.
Dalam tradisi-tradisi kecil di berbagai belahan dunia, bila kita periksa cerita-cerita kepercayaan rakyat setempat, mitos Sisipus dapat ditemukan namun mempunyai perbedaan dalam konstruksi tentang hal apa yang dicari (tujuan), usaha yang dilakukan dan bagaimana mereka melihat tujuan tersebut. Tradisi-tradisi kecil inipun tidak mengenal apa yang disebut sebagai konstruksi berpikir dikotomis, disini dan disana, awal dan akhir, transenden dan imanen.
Dengan menengok kembali tradisi dan rumah tempat saya hidup dan menghidupi saya yaitu Bali, saya mencoba mengintepretasikan apa yang Sisipus ala Bali, Jawa, Dayak, Papua dan berbagai subyek dalam tradisi-tradisi kecil di berbagai belahan di dunia menangapi, berdialog dan bernegosiasi. Tapi bukan kedirian subyek yang menanggalkan kemanusiannya. Kedirian yang bisa gelisah, putus asa, melakukan hal yang sia-sia. Dengan keambiguannya itulah Sisipus dalam tradisi-tradisi kecil ini belajar semakin memanusikan dirinya.
Bagi Dewa Ngakan Made Ardana, karya-karyanya adalah usaha untuk menjawab pertanyaan yang muncul di benak dan pikirannya. Walaupun ia merasa, karya-karyanya juga bukan jawaban yang memuaskan bagi dirinya sendiri. Memilih seni rupa sebagai jalan hidupnya sejak tahun 2003, saat ini ia merasa tak punya pegangan tegas tentang konsep bekerjanya sebagai seniman di dunia seni rupa. Tumbuh di Bali dan menyelesaikan pendidikan tinggi di Seni Rupa Murni ISI Denpasar, kini Ardana hidup di dua kota. Yogyakarta dan Denpasar menjadi tempatnya bertanya dan berkarya. Dalam berkarya, Ardana mencoba keluar dari konsep seni rupa modern dengan membuat karya yang serupa dengan dokumen arsip dari masa lalu. Ardana tidak menampik keinginannya untuk “kembali” pada seni lukis tradisional Bali, walaupun ia ragu apakah itu dapat menjawab kegelisahannya.
2012 [Group Exhibition] IVAA Archive Aid, Art Jog 2012, Taman Budaya Yogyakarta
2012 [Group Exhibition] Painting@Drawing, Tonyraka Art Gallery, Ubud
2013 [Group Exhibition] Homoludens #4, Bentara Budaya Denpasar
2013 [Group Exhibition] 100 Tahun S. Sudjojono, Tonyrakat Art Gallery, Ubud
2013 [Group Exhibition] Peristiwa Sebuah Kelas, Sangkring Art Space, Yogyakarta
2014 [Group Exhibition] Memajang Boleh Saja Asal Ada Artinya, Balai Keseharian dan Pemajangan, Studio Handiwirman Saputra, Yogyakarta
2014 [Solo Exhibition] Kala, Balai Keseharian dan Pemajangan, Yogyakarta
2015 [Group Exhibition] Duh Gusti – Seni Indonesia Berkabung, PKKH UGM, Yogyakarta
2015 [Group Exhibition] Urban Spirituality, Sudakara Gallery, Sanur
2016 [Group Exhibition] SEA+ Triennale: Encounter, Galeri Nasional, Jakarta
2016 [Group Exhibition] Art Central, Hong Kong
2016 [Solo Exhibition] Hana tan Hana: Life and Death of the Unknown, REDBASE Foundation, Yogyakarta