Pameran Tunggal bertajuk Ronce ini memuat karya – karya visual yang bersifat reflektif dari pengalaman hidup dan perjalanan karir Maslihar di dunia seni rupa. Presentasi ini merupakan strategi Maslihar di dalam memikirkan ulang secara sekaligus perihal mid-life crisis dan transisi menuju kemapanan. Dengan keyakinan dan keberaniannya Maslihar keluar dari tradisi menggambar diri dan menghadirkan imaji – imaji tentang individu, dan makhluk hidup lain, yang kerap ia lihat, temui dan rasakan kehadirannya. Melalui pemilihan komposisi warna dari khazanah budaya pop, di dalam ruang yang akrab disapa dengan seni rupa, Maslihar membaca ulang atau bila diperlukan mengeja pengalamannya “dulu, kini dan di sini”. Dari hasil pembacaan dan pengamatan Maslihar terus bekerja melakukan proses pengendapan (interiorisasi), melalui penjelajahan ke dalam wilayah pikiran dan perasaan. Beberapa di antaranya lantas diterjemahkan ke dalam narasi visual dengan pokok perupaan berupa makhluk hidup ciptaan Illahi yang digambarkan dengan penuh warna secara bebas, kreatif, namun menyebal dari logika umum.
Dua puluh karya lukis yang dipamerkan ini lahir di dalam pola proses kerja tersebut di atas. Pada intinya membincangkan tema eksistensi atau kesadaran manusia, sebagai individu atau sebagai aku, di dalam upaya memposisikan dirinya dalam hubungannya dengan Tuhan, keluarga, teman, orang lain, dan dengan keberadaan makhluk lain serta segala sesuatu di luar dirinya. Tidak dipungkiri bila di dalam pemahaman filsafat eksistensialisme, secara etre – pour – soi atau “kesadaran manusia”, imaji – imaji figuratif yang muncul dalam karya – karya Maslihar adalah subyek yang memikul beban berat sisi gelap eksistensinya.
Menurut Jean Paul Sartre, eksistensi manusia secara etre-pour-soi adalah manusia yang menggenggam kebebasan dan membentuk kebebasan miliknya. Bagi Sartre, individu yang semacam itu akan menjadi manusia sebagaimana ia menjadikan dirinya sendiri secara otonom. Sayangnya saya belum bisa melacak bagaimana dan darimana aliran filsafat eksistensialisme dan segala pemikirannya mempengaruhi cara berpikir Maslihar yang terus menggenggam kebebasannya dengan kedua tangannya dan membentuknya seturut akal dan kehendak hati. Saya tidak akan sangsi bila Maslihar akan sepakat dengan pemikiran Sartre, yang menyarankan pendekatan moderat guna mengatasi absurditas kehidupan. Hal ini menjadi jelas bagi Maslihar untuk terus bekerja secara berkelanjutan di wilayah kreatif seni rupa, dengan selalu melakukan dan menyertakan pemaknaan di setiap situasi dan kondisi yang berlainan.
Apriadi Ujiarso