Tapa Ngepit
Erson Paapiran, FJ Kunthing, Rolli “LoveHateLove”
Performing Art
Jalanan Yogyakarta
Plengkung Wijilan adalah satu dari plengkung yang masih berdiri kokoh di Yogyakarta. Dikisahkan nama Plengkung Wijilan diambil karena memang berada di daerah Wijilan, sebelumnya masyarakat menyebutnya dengan Plengkung Taranasura. Plengkung ini menjadi menjadi pintu gerbang istana putra mahkota atau Kadipaten yang berada di di sebelah timur Alun-alun Utara dan menjadi jalur utama lalu-lintas kendaraan yang padat dan sesak.
Berbeda cerita jika kita melewati Plengkung Wijilan pada dini hari, malam itu pukul tiga dini hari empat orang bersepeda menuju Plengkung Wijilan, mereka membunyikan lagu gending jawa yang dinyanyikan oleh sinden yang keluar dari speaker salah satu anggota, satu orang membawa ember seng yang diputar-putar naik turun yang mengeluarkan bau tak sedap seperti bau plastik dibakar, lalu orang yang bersepeda modifikasi setinggi dua meter membawa speaker yang mengeluarkan suara seperti gerobak mi ayam, yang terakhir membawa bunga sajen untuk ritual. Mereka melakukan ritual ini di Plengkung Wijilan, sesajen mereka letakkan di pojokan Plengkung dan di baah penanda jalan. Ritual mereka laksanakan tanpa mengeluarkan suara sepatah katapun, hanya bebunyian yang mereka bawa yang memecah hening malam.
Kelompok ini menyebut dirinya sebagai Tapa Ngepit. Pada umumnya tapa adalah aktivitas spiritual yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan tertentu, atau mengasingkan diri dari keramaian dunia dengan menahan hawa nafsu (makan, minum, tidur, birahi) untuk mencari ketenangan batin, pada konteks ini, Tapa Ngepit adalah sebuah aktivitas bersepeda yang mana aktivitas ini dilakukan lewat tengah malam ketika orang sedang terlelap dengan mengitari jalanan Jogja seperti Benteng luar dan dalam, Jalan Mataram, Kotabaru, Jalan Kusumanegra sembari membawa suara-suara misterius serta wangi dupa. Tapa Ngepit mencoba kembali membawa suara-suara yang hilang tersebut berkeliling beberapa sudut kota Yogyakarta untuk mengajak mengingat suara-suara yang hilang dan berharap agar suara-suara itu kembali begitu juga kebiasaan bersepeda. Suara yang hilang yang sudah tersisih akibat perubahan zaman
“Aksi salah seorang seniman yang sedang meletakkan sajen”
Aktivitas tabur bunga dan sesaji ini, sebagai upaya mengintervensi ruang publik. Masing-masing proyek ini dinamakan Myhtical Traffic Intervention dan Intervensi Aroma. Beberapa kejadian ini, meletakan perhatiannya pada pukul 02.00 -04.00 WIB dan berlangsung selama sepekan penuh, dari 10 -17 Oktober.
Proyek Tapa Ngepit diprakarsai oleh Erson Padapiran bersama dengan seniman lain seperti Roli “LoveHateLove” dan Fajar Susanto a.k.a FJ Kunting. Respon masyarakat terhadap aktivitas Tapa Ngepit ini cukup beragam, Beberapa orang yang berada di perempatan Rotowijilan misalnya, melihat ritual ini dan bereaksi dengan saling tanya dengan temannya dan melontarkan kalimat “mambu dupa, mambu dupa!” (Prastica Malinda)