Sanggar Dewata Indonesia
Pada bulan September 2017, tepatnya hari Minggu, 10 September pukul 11.30 WITA, dunia seni rupa Indonesia bahkan dunia telah kehilangan seorang seniman, maestro seni lukis modern Indonesia yakni I Nyoman Gunarsa. Menutup mata di usia 73 tahun, Nyoman Gunarsa telah menjadi guru, budayawan, inspirator, dan seniman yang sangat produktif berkarya seni. Gunarsa menjadi pelukis yang tidak pernah melewatkan berbagai peristiwa kehidupan sehari-hari. Berlatih, begitu giat bekerja, melahirkan karya, menjadi sosok yang lahir dengan identifikasi yang khas dan unik. Ia melahirkan gaya yang mampu menjadi penanda perkembangan seni rupa modern Bali, sekaligus di Yogyakarta. Gunarsa secara total menawarkan keterampilan teknik melukis ekspresif dekoratif dalam lukisan-lukisannya. Perubahan ini terjadi hanya pada tataran visual, sedangkan tema-temanya tetap, yakni kebudayaan Bali. Kemampuan dan kekuatan menggarisnya dimaksimalkan. Oleh karena itu jika dinikmati olah garis karyanya akan terasa bahwa garis Gunarsa memang memberi karakter khas. Tidak salah bila ia sering berkata, “Garis saya adalah nyanyian, warna saya adalah tarian”.
Pameran seni rupa ini diadakan oleh murid, kolega semasa menjadi dosen di FSR ISI Yogyakarta, dan para sahabat Nyoman Gunarsa yang tergabung dalam Sanggar Dewata Indonesia sebagai dedikasi penghormatan atas segala sumbangsih pemikiran, dukungan materil moril seorang Maestro I Nyoman Gunarsa atas perjalanan seni rupa Indonesia di Yogyakarta serta sebagai founding father, bapak pendiri Sanggar Dewata Indonesia (SDI). Salah satu buah pemikiran penting dari seorang perupa ‘bertangan emas’ I Nyoman Gunarsa adalah berdirinya Sanggar Dewata Indonesia (SDI) pada tahun 1970. Komunitas seni yang awalnya memposisikan diri sebagai sanggar tempat olah kreativitas calon seniman hingga saat ini berumur 47 tahun belum ada tandingannya atas kelanggengan nafas berkesenian di ruang seni rupa Indonesia serta anggota yang selalu bertumbuh setiap tahunnya dengan pencapaian kreativitas karya yang beragam. Kejeniusan dan kesigapan Nyoman Gunarsa menangkap situasi serta posisi dalam membangun identitas bersama dengan menggandeng mahasiswa-mahasiswa asal Bali di tahun 1970, SDI bernafaskan ‘lokal-universal, universal-lokal’ menjumput spirit seni tradisi Hindu Bali dengan bahasa modern akademis diantara atmosfer persaingan yang kuat antara kubu Bandung dan kubu Yogyakarta. Kelahiran SDI (Kubu Bali) inilah sumbangan pemikiran kreatif dan perjuangan yang harus diakui atas totalitas diri seorang Nyoman Gunarsa bahkan hingga rentang waktu terkini diantara seniman Bali belum ada lagi yang mampu membangun sebuah sanggar/komunitas seni dan melecutkan spirit kesanggaran dengan semangat pluralitas multikultur yang konstan.
Sanggar Dewata Indonesia telah menjadi lokomotif perkembangan seni rupa kontemporer di Bali bahkan Indonesia, sekian banyak pencapaian estetika perupanya menjadi acuan kreatif perupa muda di Bali dan Yogyakarta hingga tubuh SDI diperkaya oleh pujian dan hujatan yang makin meneguhkan eksistensinya dalam konstelasi seni rupa Indonesia. Pilihan sikap berkesenian yang disematkan Gunarsa pada generasi SDI untuk tidak primordial, selalu terbuka, dan demokratis atas berbagai macam kemungkinan dalam berkesenian persinggungan dengan budaya luar bahkan mengeksplorasi kebudayaan luar untuk memperkaya elemen tradisi senyatanya menjadi nilai lebih dari estetika SDI.