Pius Sigit Kuncoro
Catatan Perjalanan di Brasil Bagian 1
15-30 November 2016
13 November 2016, saya berangkat ke Brasil, mengunjungi negara yang saya pilih sebagai mitra Biennale Jogja Equator #4. Keberangkatan ini adalah misi penugasan dalam kedudukan saya sebagai kurator Biennale Jogja, untuk melakukan observasi, memperkenalkan Biennale Jogja, dan menemukan mitra kerja sama di Brasil.
Dalam perjalanan ini saya ditemani Ibu Yustina Nugraheni. Kami berdua membawa beban yang cukup berat. Koper-koper kami penuh berisi buku-buku katalog dari perhelatan Biennale Jogja Equator terdahulu. Buku-buku tersebut kami bawa sebagai tanda mata bagi sahabat-sahabat baru yang akan kami temui di Brasil.
Brasil adalah negeri yang jauh, terjauh yang pernah disambangi dalam rangkaian Biennale Jogja Equator. Jaraknya separuh lingkar ekuator dan tidak ada penerbangan langsung ke sana. Kami harus singgah dulu di Hongkong, lalu singgah lagi di London, sehingga kami harus menempuh perjalanan selama dua hari lamanya. Setelah penat dalam perjalanan, tanggal 15 pagi kami tiba di São Paulo, kota terbesar dan terpadat di Brasil. Kami tinggal di penginapan kecil di kawasan Bela Vista di pusat kota. Hari pertama kami di Brasil kami habiskan dengan beristirahat total di penginapan.
*****
Hari berikutnya kami berkunjung ke ITPC (Indonesian Trade Promotion Center), perwakilan Indonesia di São Paulo. Dari penginapan ke ITPC yang jaraknya tidak terlalu jauh, kami berjalan kaki melintasi Av Paulista, jalan utama yang sangat ramai. Sepanjang jalan saya melihat manusia beragam ras lalu-lalang di hadapan saya, mereka tampak baik dengan cara berpakaian dan cara berdandan yang menawan.
Sepanjang jalan kami tidak melihat papan reklame (belakangan kami tahu bahwa ada satu aturan yang melarang papan reklame di ruang publik). Absennya papan reklame di jalan-jalan membuat kami dapat menikmati pameran seni arsitektur yang menarik. Bangunan-bangunan tinggi terlihat intim, saling berdekatan satu sama lain, tidak dipisahkan oleh lapangan parkir seperti bangunan-bangunan tinggi di Jakarta. Saya melihat efektivitas penggunaan ruang, efisiensi waktu untuk bekerja, karena hanya dengan berjalan kaki sepanjang 2 km saja, saya telah melewati sekian banyak perkantoran dan pertokoan besar.
Di ITPC kami diterima oleh Pak Toni selaku kepala ITPC. Setelah menjelaskan maksud dan tujuan kami berkunjung, kami mendapat arahan sederhana tentang hal-hal yang perlu diperhatikan selama tinggal di São Paulo. Kami diberitahu tentang tingginya tingkat kriminalitas di Brasil, sehingga kami diingatkan untuk tidak menunjukkan barang-barang berharga di depan umum, termasuk telepon genggam dan kamera. Kami juga diminta menghindari lingkungan-lingkungan tertentu, seperti lingkungan di bawah jembatan layang yang dihuni para gelandangan.
Setelah belanja beberapa barang kebutuhan dasar seperti alat mandi dan nomor telepon lokal, kami kembali ke penginapan. Sepanjang jalan saya perhatikan memang banyak gelandangan terselip di keramaian. Saya juga memperhatikan pagar-pagar rumah yang tinggi, dengan sistem keamanan yang terbilang canggih.
*****
Videobrasil adalah tujuan kami di hari berikutnya. Kali ini kami mencoba transportasi publik, naik di halte bus terdekat dari penginapan. Bus silih berganti menjemput penumpang, kuantitasnya terbilang sering. Ini menunjukkan bahwa transportasi publik di kota São Paulo berjalan dengan baik. Tidak seperti yang kami bayangkan sebelumnya, São Paulo tidak sama dengan Jakarta.
Videobrasil adalah ruang seni, ruang arsip, dan penyelenggara festival video tahunan. Pada saat itu Videobrasil sedang memamerkan karya-karya video dari seniman Lebanon bernama Akram Zaatari.
Saat bertemu Solange Farkas (direktur Videobrasil) dan Gabriel Bogossian (kurator), kami memperkenalkan Biennale Jogja. Mereka pun menanggapi dengan sangat antusias karena ada banyak hal tentang Indonesia yang sangat sedikit mereka ketahui. Kami pun dipersilakan melihat-lihat arsip video yang mereka miliki. Banyak karya menarik yang memberikan gambaran muram tentang kehidupan di Brasil, berkebalikan dengan suasana glamor yang saya lihat di sepanjang jalan Av Paulista. Apakah memang demikian adanya Brasil? Menyembunyikan kemuraman di balik keglamoran?
*****
Dalam perjalanan ke Brasil kali ini kami merasa cukup beruntung karena perhelatan São Paulo Biennial sedang berlangsung. São Paulo Biennial adalah salah satu bienial seni rupa tertua di dunia dan telah melibatkan perupa dari berbagai penjuru dunia, termasuk di antaranya Affandi, sang maestro seni lukis Indonesia.
“Ketidakpastian Hidup” adalah tema yang diangkat pada perhelatan São Paulo Biennial. Ada beragam karya yang ditampilkan; karya-karya instalasi mendominasi perhelatan ini. Semua karya ditampilkan dalam satu gedung besar berlantai tiga dengan alur dramatik acak yang sungguh memberikan kesan tentang ketidakpastian hidup.
Saya melihat rombongan-rombongan anak sekolah yang dipandu untuk mengapresiasi setiap karya yang ditampilkan. Pemandu pameran tidak hadir sebagai penjaga pameran yang menjaga benda-benda mati, melainkan hadir sebagai penonton ahli yang membagikan informasi tentang karya.
*****
Komunitas seni yang kami kunjungi adalah Atelier Fidalga dan Casa do Povo.
Atelier Fidalga adalah studio kolektif yang dikelola oleh sekumpulan perupa. Mereka berbagi ruang, berbagi gagasan, dan secara rutin melakukan diskusi intern untuk pengembangan karya-karya mereka. Ding, Luiz, Fernando, Sandra, dan Albano adalah perupa-perupa yang kami jumpai di Atelier Fidalga. Kami menyempatkan melihat-lihat karya mereka dan berdiskusi tentang perkembangan seni rupa di Brasil.
Casa do Povo adalah bangunan tua multiguna milik komunitas Yahudi yang saat ini dikelola komunitas seniman. Bangunan ini terdiri dari tiga lantai ruang pertemuan, ruang basemen untuk pertunjukan dan beberapa ruang kamar di lantai atap.
Casa do Povo adalah bangunan tua yang menyimpan sejarah lisan. Bangunan ini selalu menjadi rumah bagi orang-orang yang sedang kesulitan. Benjamin sebagai pengelola Casa do Povo menceritakan bahwa bangunan tersebut pernah menjadi rumah bagi para pengungsi, pernah menjadi sekolah dan tempat pelayanan kesehatan, pernah menjadi tempat belajar teater, dan kini menjadi tempat bagi beragam aktivitas seni, termasuk workshop seni dan memberi ruang tinggal bagi seniman asing yang ingin menetap dan berkarya sementara waktu.
*****
Ada tiga museum yang kami kunjungi. Yang pertama adalah museum seni modern (MAM-Museu de Arte Moderna de São Paulo) di lingkungan Taman Ibarapuera, kemudian MASP (Museu de Arte de São Paulo) di Av Paulista, dan yang ketiga adalah museum sepak bola (Museu de Futebol) di Estadio Municipal Paulo Machado de Carvalho, Pacaembu.
Di MAM, saya melihat pameran temporer yang mengangkat tema tubuh. Ada beragam karya dua dimensi dan karya video yang dihadirkan. Melalui pameran ini saya mendapat cukup gambaran tentang pencarian identitas dan persoalan kejiwaan yang dihadapi orang Brasil. Gambaran kesakitan dalam nuansa hitam putih terpapar gamblang dalam pameran tersebut.
Di MASP, saya melihat pameran temporer yang mengangkat sejarah kolonial di Brasil. Memamerkan artefak arkeologis seperti mesin produksi pertanian, beragam alat masak, beberapa lemari bergaya Eropa klasik yang dihiasi lukisan bertema religi, patung-patung kayu Indian Brasil, dan lukisan-lukisan yang menceritakan masa perbudakan. Secara umum pameran tersebut memberikan gambaran identitas Brasil yang tersusun dari pertemuan antara Eropa-Indian-Afrika.
Identitas Brasil sebagai pertemuan antara Eropa-Indian-Arika itu dapat kita lihat pada tim sepak bola Brasil. Taktik strategi dan disiplinnya seperti orang Eropa, tetapi kelenturan dan gerak tarinya seperti orang Afrika, dan semangat komunalnya seperti orang Indian Brasil. Sungguh menjadi satu kekuatan yang tidak bisa diremehkan begitu saja. Di museum sepak bola, saya melihat identitas Brasil yang sesungguhnya. Ketika orang Brasil disatukan dan diseragamkan untuk satu tujuan besar, mereka menjadi satu kekuatan besar yang sulit ditandingi.
*****
Padre Fernando Doren adalah seorang pastor Indonesia yang ditugaskan di Brasil. Bersama dengan 16 pastor Indonesia lainnya, ia melayani umat Katolik di Brasil. Agama Katolik adalah agama dengan umat terbanyak di Brasil, sehingga untuk memenuhi pelayanan umat, didatangkanlah pastor-pastor dari berbagai penjuru dunia.
Padre Fernando pernah tinggal dan melayani umat Katolik di lingkungan Favela di pinggiran kota São Paulo. Berdasarkan informasi yang saya dapatkan dari sahabat-sahabat baru yang saya jumpai sebelumnya, Favela adalah lingkungan permukiman padat yang dihuni keluarga Afro dan keluarga berdarah campuran, kental dengan kekerasan, menjadi pasar gelap yang mentransaksikan barang-barang ilegal, dan dikuasai pengedar narkoba. Lingkungan Favela nyaris dapat dikatakan sebagai lingkungan yang memiliki hukum sendiri. Padre Fernando menjadi tiket kami mengunjungi lingkungan Favela untuk melihat salah satu kondisi kehidupan Brasil yang sesungguhnya.
Bersama Padre Fernando, kami menelusuri Favela. Ia menjelaskan bahwa rumah-rumah di lingkungan Favela memang tampilannya sengaja tidak diselesaikan ataupun dipercantik. Tujuannya untuk menyamarkan keadaan yang sebenarnya. Saya pun diingatkan untuk tidak mengambil gambar atau merekam video di sana, karena orang-orang di lingkungan Favela sangat sensitif dengan orang asing yang mencoba merekam kehidupan mereka.
Kami baru mengerti apa yang dijelaskan Padre Fernando setelah berkunjung masuk ke dalam rumah satu keluarga yang dikenal dekat oleh Padre Fernando. Kami melihat hal yang berbeda, bagian dalam rumah terlihat bersih dan rapi, kami pun disambut dengan hangat dan penuh kekeluargaan. Apa yang tampak di luar rumah memang berbeda dengan yang tampak di dalam. Kehidupan di luar rumah sama sekali lain dari kehidupan di dalam rumah. Dari loteng rumah mereka, saya dipersilakan mengambil gambar lingkungan Favela. Karena ketika saya berdiri di dalam rumah mereka, saya tidak lagi menjadi orang asing di lingkungan Favela.
Saya bertanya pada Padre Fernando tentang apa yang diajarkan pastor-pastor kepada umat Katolik di Brasil. Padre Fernando menjelaskan bahwa teologi pembebasan dapat berkembang dan diterima Brasil karena konteks sejarah perbudakan di Brasil. Kitab Perjanjian Lama menjadi rujukan utamanya, tentang kisah-kisah budak yang keluar dari Mesir, tentang kegamangan yang muncul setelah lepas dari perbudakan, tentang budak-budak yang ingin kembali tapi ditolak, dan tentang budak-budak yang mencari ruang hidup baru namun belum menemukan. Semuanya tentu saja tentang harapan.
Saya jadi termangu menatap lingkungan Favela. Setelah semua kemuraman ini, di manakah harapan itu?
*****
30 November, kami bertolak dari São Paulo kembali ke Indonesia. Dua hari perjalanan untuk mendarat di Jakarta. Koper kami lebih ringan, tetapi beban berat kini di pikiran. Kembali ke Jogja dan siap bekerja untuk Biennale Jogja.
*****