Pernahkah Anda mencari tahu bahwa sesungguhnya ada cara menghentikan penyebaran demam berdarah dengan merekayasa DNA nyamuk agar mandul? Pun saya baru tahu, gegara Simposium Khatulistiwa yang berlangsung pada tanggal 29-30 Oktober 2016. Tidak hanya membahas soal kemandulan nyamuk dan kesehatan masyarakat, simposium ini juga berbincang soal memanggil ikan dengan membakar rumput, sampai mengajar matematika lewat seni rupa dan seni tari. Berlangsung selama dua hari, Simposium Khatulistiwa menghadirkan tiga sesi pagi-siang-sore dan tiga pilihan kelas yang berlangsung per sesi pada saat yang bersamaan. Himpunan “Visi Alternatif dari Khatulistiwa” ini mengelilingi Beringin Soekarno di Prodi Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Materinya dibawakan oleh ahli nuklir, kepala kampung, sejarawan, kurator, guru, hingga mahasiswi baru lulus seperti saya, yang berkesempatan menjadi narasumber termuda di simposium ini.
Pertukaran pengetahuan ini pun tidak hanya berlangsung dalam kelas, yang tentu dengan keterbatasan waktu tidak bisa mengakomodasi diskusi yang lebih intens dan mendalam. Rehat kopi dan duduk-duduk di bawah rindangnya Beringin Soekarno memicu ulasan mengenai forum terakhir yang diikuti atau forum yang tidak diikuti (karena waktu yang berbarengan), berkenalan dengan orang baru atau bahkan orang yang sudah lama saya ketahui dari media cetak, media sosial, ataupun lewat obrolan tongkrongan di Jakarta.
Misalnya, selepas kelas Dilema Kajian Gender dalam Konteks Pascakolonial oleh Katrin Bandel yang saya ikuti, sembari berbagi korek api dengan kawan yang baru saya kenal ini, dia menyayangkan pembahasan gender masih berkisar di kutub perempuan vs laki-laki dan tidak menyentuh spektrum gender lain seperti transgender dan transeksual. Saya paham bahwa kata ‘gender’ sendiri tidak dimaknai tunggal secara universal, namun saya jadi belajar hal baru; baik dari Katrin maupun teman saya ini—keduanya memberikan perspektif baru dalam pemahaman saya tentang gender. Dari Katrin: pemaparan bagaimana wacana feminisme sering menjadi kendaraan pembenar bagi kolonialisme jenis baru, bahwa perempuan-perempuan di negara-negara bekas penjajah kerap menganggap perempuan di negara khatulistiwa sebagai “adik kecil yang tertinggal dan perlu dibantu” karena tidak sesuai dengan standar “kemajuan” yang mereka miliki. Sebab masih mempertahankan budaya lama mereka. Misal, mengenakan burka atau ikut serta dalam sati, tradisi di India ketika sang janda ikut membakar diri bersama jenazah suami. Katrin pun menandai bagaimana suara sang perempuan sering hilang dalam pertarungan si penjajah yang mengganggap bahwa tradisi tersebut harus dihapus karena tidak berperikemanusiaan, versus para pria yang mengamini tradisi tersebut sebagai bentuk kesetiaan sang istri. Namun bagaimana dengan suara sang istri yang rela mati terbakar bersama dengan suaminya? Bisingnya suara perempuan Barat dalam memekikkan kesetaraan versi kolonial ternyata malah membungkam suara perempuan yang dijajah.
Dalam semangat antikolonialisme yang sama, Charles Esche membuka forum bertajuk ‘Kawasan dalam Perspektif Seni Rupa’ dengan bercerita tentang Eropa yang kerap mengadopsi berbagai “penemuan” penggerak peradaban dari negara khatulistiwa, namun kemudian melenggang arogan dengan mengklaim bahwa merekalah pionirnya. “Europe looked in the mirror and saw the world,” demikian penggalan teksnya. Kawasan sebagai kerangka kuratorial menjadi salah satu pilihannya; serta dari pengalaman sebagai direktur Van Abbemuseum, ia menginisiasi beberapa proyek membuat museum keliling—“membuat” ulang koleksi mereka dengan benda-benda yang ada di kampung tempat museum keliling ini. Proyek ini memukau saya secara artistik dan gagasan, namun saya selalu dihantui perasaan skeptis apabila melihat kunjungan seorang Eropa di negara khatulistiwa untuk melakukan sesuatu. Proyek ini salah satunya. Menentukan sejauh apa hubungan internasional dalam bidang seni bisa menjauh dari kesan “penjajahan jenis baru” atau kesan mengeksploitasi pengetahuan itu bagaikan berjalan di tepi silet. Harus sangat berhati-hati untuk bisa menyadari sejauh apa proyek kita bisa bergenit ria kepada dua sisi, menghindari eksotisme dan tetap mutakhir secara artistik. Wok the Rock dalam sesi ini juga menyampaikan dilema-dilema dalam kerja kesenian internasional, yakni gengsi si seniman undangan. Tidak semua seniman internasional bisa memegang teguh semangat KAA. Eropa tetaplah standar pencapaian buat mereka, maka buat apa ikut berpentas di sesama negara “berkembang”? Miris, tapi inilah kenyataannya.
Seperti yang saya ceritakan di paragraf pertama, banyak juga forum yang menghadirkan gagasan-gagasan lokal yang menunjukkan kelincahan dalam mengatasi berbagai masalah di sini: membuat perjalanan naik haji sendiri di Makassar (oleh Irfan Palippui), membaca gentrifikasi sinema dari tren pilihan penonton Indonesia (Adrian Jonathan), bagaimana iklan obat kuat menunjukkan dominasi politik di tiap masa di Indonesia (Malcolm Smith), perdebatan apakah sosial media bisa menggantikan peran galeri (Leonhard Bartolomeus dan Arham Rahman), membaca peta jaringan sosial seniman dari arsip foto Dr. Melani Setiawan (Adhisuryo), dan bagaimana dongeng-dongeng anak kerap mengajarkan tentang pentingnya menjaga lingkungan (China de Vera).
Topik-topik yang dihadirkan di SK kali ini sepertinya cukup menjadi amunisi dalam menghadapi apa pun yang terjadi setelah tahun tersebut. Atau, jika untuk mengaitkan dengan dilema yang disampaikan Wok the Rock, topik-topik ini cukup membuat gengsi saya bertambah melihat kekayaan produk intelektual dari sini. Satu temuan yang saya sayangkan adalah kurangnya forum isu mengenai teknologi informasi, misalnya soal mahadata (big data). Saya membayangkan dalam usaha membangun dunia kembali—yang merupakan tema tahun ini—serta bagaimana masifnya negara-negara khatulistiwa menggunakan fitur-fitur teknologi informasi, ada kebutuhan untuk membongkar hal ini. Penting pula ditelusuri pihak mana yang mengembangkan teknologi informasi yang digunakan ini. Ajuan pribadi ini terpantik setelah semangat dekolonialisasi pasca-SK ini terbawa dan tanpa sadar menjadi alat saya dalam berpikir, misal, keingintahuan mengapa jasa ojek daring bisa sangatlah murah—ternyata pendapatan mereka sesungguhnya adalah dari menjual data (dan kepada siapakah?). Mungkin juga, dalam ledekan antargenerasi, keresahan saya ini sangatlah khas millennial.
Sekalipun SK dan Biennale Equator memiliki buntut pada praktik seni rupa kontemporer, simposium ini dengan keberagaman topik forumnya justru menggoda saya sebagai alumna sekolah seni rupa, untuk mengikuti kelas dengan topik yang bukan benar-benar soal seni rupa. Pilihan otomatis saya ini, ketika saya analisis kembali, muncul karena ingatan akan kecenderungan seni rupa kontemporer untuk selalu bersinggungan dengan bidang-bidang lain, sehingga menghasilkan dugaan bahwa akan lebih segar untuk mengintip apa yang terjadi di bidang-bidang lain itu, untuk memberikan asupan kepada praktik si seni rupa kontemporer ini. Simposium ini saya lihat memberikan ruang yang lega bagi praktisi seni rupa untuk belajar hal-hal lain di luar bidangnya, serta bisa melepas beban untuk memberikan pengantar soal seni rupa yang mendasar, agar bisa menggodok isu-isu lain. Namun, hal ini cukup dilematis bagi saya, karena pada sisi yang lain, bisa jadi ini adalah masalah dan membuat diskursus seni rupanya sendiri stagnan, ditinggalkan. Salah satu pertanyaan yang saya dapatkan dalam forum masih mengenai mengapa suatu karya bisa dianggap seni. St. Sunardi, yang menjadi penanggap dalam forum saya ini, dengan bijak membantu menjawab dan menekankan bahwa adalah tanggung jawab kita, para akademisi dan seniman, untuk menjelaskan hal-hal seperti ini kepada yang awam, apalagi yang sudah meniatkan diri untuk hadir di sebuah perhelatan seni rupa. Pengalaman ini juga yang menjadi pelajaran semasa muda yang berharga bagi saya pasca-SK, dan membuat saya berpikir, jangan-jangan kita masih butuh forum-forum untuk membahas hal-hal yang mungkin terkesan receh, seperti formalisme, definisi dasar, atau teknis dalam seni rupa, tanpa bermaksud untuk “mundur” atau mengulang yang itu-itu saja.
Secara komposisi, pada tahun ini, saya melihat cara menyampaikan “visi alternatif dari khatulistiwa” dari dua pendekatan: spekulasi (apa yang bisa dilakukan) dan pengalaman (apa yang sudah dilakukan dan visioner). Kata “visi” tersebut juga menarik jika disambungkan dengan temuan yang mencuri perhatian saya dalam keterlibatan pertama di Simposium Khatulistiwa ini. Logonya mencantumkan “International Symposium” dan jangka tahun penyelenggaraan yang spesifik: “2012-2022”.
Mengapa selesai pada tahun 2022? Pertanyaan iseng ini saya ajukan kepada Enin Supriyanto, Pejabat Pelaksana SK. Dan dari dia, saya dapatkan bahwa rentang sepuluh tahun tersebut menjadi target untuk memicu penyelenggara agar konsisten menyelenggarakan perhelatan ini. Saya pun memahami ini sebagai bentuk disiplin dalam aktivisme kebudayaan, agar dapat terbaca dan menjadi magnet untuk mereka yang sevisi, ibarat kereta dengan rel yang sudah tetap, tinggal siapa mau turut, naiklah dengan percuma, namun lekas, karena kereta tidak berhenti lama, ada setiap dua tahun sekali. Tut tut tut.
Saya terdorong untuk melihat simposium ini sebagai sebuah usaha untuk meramal masa depan, apa saja yang akan dihadapi dan bisa persiapkan di percaturan budaya internasional dengan membayangkan jika forum-forum yang tersaji dalam kurun waktu tersebut dibaca ulang pada tahun 2022 atau setelahnya.
Ada apa di tahun 2022? Lewat sedikit googling, saya menemukan bahwa akan ada Piala Dunia dengan tuan rumah paling mengejutkan: Qatar—yang datarannya terdiri dari gurun pasir panas—mungkin menjadi penyelenggaraan paling problematis di dekade ini, dari segi politik, lingkungan, kemanusiaan (pembangunan stadion-stadionnya sudah memakan ribuan korban jiwa per tahun), dan ekonomi; mengingat dampak Piala Dunia terakhir di Brasil yang menyulut sejumlah perubahan sosial-ekonomi-politik. India akan menjadi negara dengan penduduk terpadat di dunia; serta adanya prediksi akan dimulainya perang global karena perebutan air.
Jika menghitung hingga 2022, SK 2016 adalah penyelenggaraan ketiga sebelum berakhir, dan berarti akan ada dua SK lagi dari sekarang, yang nantinya ditutup dalam Konferensi Khatulistiwa. Dengan jejaring yang berasal dari lintas disiplin dan usia yang beragam, tentu akan menyenangkan jika kita dapat membaca kembali apa yang terjadi dan apa saja yang berubah dalam enam tahun mendatang.