Brasil adalah salah satu negara terbesar di dunia dalam banyak aspek, yang dikarenakan berbagai faktor—khususnya jarak—tidak begitu dikenal oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Stereotip yang kerap diasosiasikan dengan Brasil adalah karnaval, sepak bola, telenovela, pantai-pantai di Rio de Janeiro, kejahatan narkoba, wanita yang cantik, dan, belakangan ini, seni bela diri kapoeira. Akan tetapi Brasil jauh lebih daripada hal-hal tersebut. Sekadar sebagai gambaran, dari segi ekonomi, Brasil menempati posisi negara dengan ekonomi terbesar nomor 9 di dunia (2016) dan merupakan anggota G-20. Brasil adalah salah satu raksasa pertanian yang mengekspor berbagai komoditas—termasuk ke Indonesia—seperti kacang kedelai, gula, dan jagung. Dari segi luas wilayah, Brasil adalah negara terbesar nomor lima di dunia. Tidak kalah menarik, dari segi jumlah penduduk, Brasil menduduki posisi terbesar kelima setelah Indonesia. Dalam bidang seni, dunia perfilman, olahraga, sastra, dan musik, Brasil juga mempunyai berbagai perwakilan yang mendapat perhatian dalam dunia internasional. Tentu saja, Brasil adalah satu negara yang kompleks, penuh dengan berbagai permasalahan sosial, politik, dan ekonomi—ciri-ciri yang masih menjadikannya sebagai bagian dari kategori emerging countries.
Artikel ini ingin mengangkat secara singkat serba-serbi karnaval sebagai salah satu aspek budaya terpenting di Brasil. Bagaimana asal-usul karnaval di Brasil? Apakah karnaval merupakan suatu pesta rakyat kesukaan seluruh warga Brasil secara mutlak? Bentuk dan corak macam apa saja yang terdapat dalam karnaval Brasil? Dan nilai-nilai apa saja yang tercermin dalam pesta karnaval itu?
Dari Mana Datangnya Karnaval
Karnaval pada umumnya mempunyai hubungan historis yang berkaitan dengan pesta-pesta dan perayaan pada zaman terdahulu seperti pesta Purim kaum Ibrani, pesta Bacchanalia di Yunani kuno, dan pesta Saturnalia pada zaman Roma kuno. Semua pesta ini diwarnai dengan musik, tari-tarian, adanya jamuan, sejenis penyamaran, dan kebebasan perilaku di antara para peserta. Khususnya pada kaum Galia, terdapat pesta musim dingin yang menandai adanya pelepasan sifat kedagingan dan dimulainya periode pantang dan puasa.
Pada zaman kekristenan, istilah karnaval merujuk kepada kata carnisvalerium, yang secara harfiah artinya meninggalkan atau berhenti mengomsumsi daging. Pengertian ini dikaitkan dengan dimulainya masa Pra-Paskah, sepanjang empat puluh hari, mulai dari hari Rabu Abu sampai hari Minggu Paskah. Liturgi menjelang penghujung masa ini memperingati tiga peristiwa penting: 1) kematian Yesus pada hari Jumat Agung; 2) penguburannya dan masa tinggalnya di dalam kubur; 3) kebangkitan-Nya dari kematian pada hari Minggu Paskah. Dalam periode Pra-Paskah ini, para penganut agama Kristen dilarang makan daging. Karnaval ditetapkan oleh Gereja Katolik pada tahun 590M menjadi suatu liturgi dalam gereja, sebagai suatu saat untuk umat merayakan hari terakhir makan daging sebelum masuk periode Pra-Paskah. Akan tetapi apa yang terjadi di lapangan adalah: tiga hari sebelum hari Rabu Abu, orang-orang mengadakan pesta secara berlebihan dan berupaya menikmati semaksimal mungkin kesukaan yang ditawarkan oleh hidup. Pesta itu disertai dengan anggur, makanan yang berlimpah, ketelanjangan, dan seks bebas. Sikap ini menjadi suatu bentuk perlawanan terhadap tuntutan yang ditetapkan oleh Gereja, yang dinilai membatasi hak manusia untuk menikmati dan mengubah kemapanan sosial, meskipun untuk sementara waktu. Sepanjang Abad Pertengahan, Gereja berusaha mengontrol dan menghukum para pelaku pesta berlebihan ini, namun karnaval itu tetap bertahan.
Masuknya Karnaval di Brasil
Kebiasaan pesta karnaval masuk di Brasil pertama-tama melalui para penjajah, orang Portugis, kemungkinan besar pada abad XVI, melalui pesta yang dinamakan sebagai entrudo (Pinto, 2013). Kata entrudo sendiri artinya pintu masuk atau akses. Pada awalnya, para budaklah yang mengadakan pesta itu beberapa hari menjelang masa Pra-Paskah. Mereka keluar ke jalan raya dengan muka dicat, sambil melemparkan tepung dan balon air sabun. Pesta ini dianggap kasar dan jahat meskipun disukai oleh rakyat. Karena tuduhan keras itu, keluarga-keluarga yang kaya tidak ikut serta dalam pesta bersama budak-budak dari kalangan bawah yang dianggap rendah. Keluarga-keluarga yang kaya biasanya tinggal di dalam rumah mereka dan keikutsertaan mereka pada entrudo dibatasi pada saat penyiraman air atas para peserta pesta yang sedang melintas di depan rumah mereka saja. Boleh dikatakan bahwa pada periode ini pesta karnaval itu sifatnya tersegregasi dan terkotak-kotak. Tidak semua masyarakat memberikan dukungan dan keterlibatan. Hal ini mencerminkan struktur hierarkis yang berlaku di Brasil pada saat itu.
Sekitar pertengahan abad XIX, di Rio de Janeiro (ibu kota dan pusat kerajaan Brasil waktu itu), praktik entrudo dikriminalisasi. Kepolisian menindas peserta pesta itu di jalan, sementara itu kaum elite kerajaan mulai menciptakan pesta tarian karnaval yang diselenggarakan di dalam klub dan teater. Berbeda dengan entrudo yang tidak memakai musik, tarian karnaval itu mulai menggunakan musik untuk mengiringi pestanya. Pertama-tama jenis musik yang digunakan adalah polka. Kaum elite juga mulai membentuk asosiasi atau persatuan tarian karnaval untuk mengadakan pawai atau pameran di jalan. Pada periode ini, dapat dikatakan bahwa karnaval di Brasil menggambarkan kehidupan masyarakat yang terbalik dalam kaitannya dengan kebebasan di jalan: kaum bawah yang setiap hari melintas di jalan malah ditindas saat merayakan entrudo, sedangkan kaum elite yang sering terkurung dalam hidup mewah mereka di rumah-rumah turun ke jalan dan bebas berpesta ria.
Bentuk dan Corak Karnaval di Brasil
Meskipun terjadi kriminalisasi terhadap praktik pesta entrudo di Brasil, masyarakat populer tidak berhenti mencari jalan dan alternatif untuk merayakan karnaval mereka. Rupanya ini akan menjadi suatu ciri orang Brasil, yang meskipun susah dan menderita, akan senantiasa mencari kesempatan untuk menikmati keindahan hidup di negaranya. Sebagai hasil dari upaya tersebut, mulailah bermunculan berbagai jenis corak karnaval (Pinto, 2013):
Karnaval Tali (Cordões), Karnaval Kandang (Rancho), dan Mars
Karnaval tali dan kandang muncul pada akhir abad 19. Karnaval tali memakai estetika upacara keagamaan dicampur dengan perwujudan budaya populer seperti kapoeira dan Zé-pereiras. Karnaval ini diikuti oleh satu atau beberapa kelompok peserta yang memainkan tambur dan pawai, disertai kisah misteri tentang seorang bernama Zé Pereira. Ketika malam tiba, suasananya berubah menakutkan karena dikisahkan terjadi peristiwa yang terkait dengan maut.
Karnaval kandang merupakan perayaan sekelompok orang di daerah pertanian. Karnaval mars sendiri muncul pada abad 19. Sementara itu, samba—yang kini jadi tarian identik dalam karnaval di Brasil—baru muncul pada sekitar tahun 1910, lalu berangsur-angsur menjadi perwakilan irama musik sejati dari karnaval Brasil.
Afoxés, Frevo, dan Corsos
Corak karnaval khusus pada negara bagian Bahia, afoxés, adalah campuran musik dan tarian keturunan budak Afrika yang muncul pada pergantian abad XIX ke abad XX dengan tujuan mengingat kembali tradisi budaya dan irama musik Afrika. Pada periode yang sama di Recife, negara bagian Pernambuco, daerah tenggara Brasil, muncul frevo dan maracatu. Frevo adalah tarian dalam irama ganda dan pergerakan cepat. Para penarinya memegang payung penuh hiasan dan membuat gerakan pribadi, yang ditandai dengan pergerakan kaki yang terlipat dan terulur secara cepat dan terus-menerus. Maracatu sendiri adalah musik dan tarian yang menggunakan peralatan musik perkusi dari Afrika, dengan irama yang intens dan terus-menerus, yang dahulu biasa dipakai pada upacara penahbisan raja dari bangsa Afrika).
Sepanjang abad XX, karnaval semakin populer di Brasil dan masyarakat, baik kelas yang dominan maupun kelas bawah, mengenal berbagai jenis cara untuk merayakannya. Pada tahun 1910 di Rio de Janeiro muncul corso. Ciri utamanya adalah penggunaan kendaraan dengan atap terbuka yang membawa kaum elite penduduk Rio de Janeiro untuk pawai di jalan raya pusat. Kebiasaan ini berlangsung sampai tahun 1930.
Sekolah Samba, Trio Elétrico, dan Pawai Karnaval
Di antara kelas masyarakat populer pada tahun 1920 muncul sekolah-sekolah samba. Sekolah samba ini merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari jenis karnaval tali dan kandang. Kemudian dibuatlah kejuaraan pawai antarsekolah samba ini pada tahun 1929. Setiap sekolah samba harus memperagakan berbagai unsur seperti musik, pakaian, tarian, yang akan dinilai oleh juri. Kegiatan ini akhirnya mendapatkan intervensi politik. Warga diharuskan mengikuti peraturan yang ditetapkan pemerintahan Presiden Vargas. Setiap sekolah samba diharuskan mempunyai perizinan.
Pada tahun 1950 muncul salah satu bentuk kendaraan khas karnaval negara bagian Bahia, yakni Trio Elétrico. Sebuah truk besar dengan musik dan pengeras suara yang sekaligus menjadi panggung berjalan bagi penyanyi terkenal dengan tujuan menuntun massa yang mengikutinya sambil menari dan berpesta ria keliling kota. Pada tahun 1979, trio elétrico diubah dan menjadi panggung afoxés juga. Sejak saat itu, trio elétrico tersebar ke seluruh pelosok Brasil.
Sekolah samba dan karnaval di kota Rio de Janeiro menjadi suatu kegiatan ekonomi yang sangat berarti sejak tahun 1960. Kalangan pengusaha lotre gelap dan kegiatan bisnis resmi lainnya mulai berinvestasi pada bidang kebudayaan. Pemerintah kota Rio de Janeiro juga mulai memasang tempat duduk khusus seperti di stadion sepak bola di sepanjang jalan utama kota dan menagih karcis untuk para penonton kontes pawai sekolah samba terbaik. Sama halnya di kota São Paulo, bentuk atau model karnaval berdasarkan pawai antarsekolah samba juga dikembangkan pada periode tersebut. Pada tahun 1984 pemerintah Rio de Janeiro mendirikan tempat pawai khusus bagi kontes antarsekolah samba yang dinamakan sebagai Sambódromo, tempat khusus untuk samba. Tempat ini menjadi simbol utama Karnaval Brasil.
Karnaval, selain semakin kokoh menjadi suatu tradisi kebudayaan Brasil dengan warna dan coraknya yang majemuk secara tersendiri (berbeda dengan Eropa), kini menjadi suatu kegiatan bisnis dalam bidang parawisata dan hiburan yang sangat menguntungkan. Jutaan wisatawan datang ke Brasil pada masa perayaan pesta ini dan bermiliar-miliar reais digerakkan baik untuk memproduksi maupun mengomsumsi produk budaya ini. Dan Rio de Janeiro tercatat dalam Guinness Book of World Records sebagai karnaval terbesar di dunia dengan sekitar dua juta orang yang setiap hari berpawai karnaval di jalan-jalan Kota Rio. Pada tahun 1995 Guinness Book menyatakan bahwa blok karnaval jalanan bernama Galo da Madrugada (Ayam Jantan Dini Hari) adalah blok karnaval terbesar di dunia.
Karnaval dalam Masyarakat Brasil
Dalam kebudayaan Brasil, karnaval jauh melebihi suatu pesta yang sederhana, atau tanggal libur di kalender untuk diisi dengan kegiatan sekadarnya. Karnaval merupakan salah satu unsur yang menjadi bagian dari identitas Brasil. Identitas dalam pengertian sebagai sesuatu yang membedakannya dari yang asing. Karnaval dan samba (musik yang akhirnya menjadi irama utama, meskipun bukan satu-satunya jenis dalam mengiringi pesta ini) menjadi elemen yang membedakan Brasil dari negara-negara lain, yang menjadi tanda khusus mengenai bagaimana “menjadi orang Brasil”. Sebagaimana masyarakat Brasil itu majemuk—ada keturunan Eropa, Afrika, dan Asia, dan terjadi percampuran antar-ras dan budaya, demikian pula bentuk dan corak perayaan karnaval berbeda-beda di seluruh Brasil. Namun, tetap ada satu benang merah yang menghubungkannya dan menjadikannya tetap beridentitas Brasil: perayaan dan pesta karnaval di Brasil akan selalu erat dengan gambaran mengenai masyarakat yang girang, santai, dan sensual, di tengah situasi dan kondisi apa pun juga.
Menurut sosiolog Renato Ortiz, bukan manifestasi masyarakat secara populer itu yang memberi karnaval status sebagai simbol kebudayaan nasional, tetapi penerimaan atau pengakuan akan eksistensi intelektualitas inilah yang menetapkan karnaval sebagai identitas nasional. “Melalui mekanisme penafsiran ulang yang dilaksanakan oleh negara, melalui kaum intelektualitas yang melayaninya, negara mengambil alih praktik populer ini dan menyajikannya sebagai ekspresi dari kebudayaan nasional. Dalam hal ini candomblé[i], karnaval, reisados, dll., semuanya, dengan cara demikian, telah diapropriasi oleh diskursus negara, yang akhirnya mulai menganggapnya sebagai diskursus Brasilitas” (Ortiz, 1980). Karnaval sebagai bagian dari identitas Brasil telah menjadi pengalaman kolektif selama beberapa hari di mana terjadi suatu katarsis dan momen penegasan diri bagi orang Brasil. Dan hal ini benar, karena dalam seperempat abad ke-21 ini, Brasil sedang mengalami bangkitnya minat terhadap keikutsertaan dalam pra-karnaval (pemanasan) dan karnaval, khususnya dalam corak karnaval di jalan (dan bukan kompetisi sekolah samba). Di kota-kota besar sekalipun, seperti São Paulo, di mana nilai-nilai modernitas berbenturan dengan nilai-nilai tradisional dan sering kali mau menghancurkan dan membasmi yang lama, jumlah pendafataran izin untuk mengadakan pawai blok karnaval di jalan meningkat dengan drastis sampai membawa jutaan orang. Di Rio de Janeiro tercatat ada 465 blok dan band yang mendapatkan izin resmi untuk pawai sepanjang jalan di kota.
Meski demikian, ada satu hal yang patut dinyatakan dan diangkat di sini. Pesta karnaval tidak diterima dengan suara bulat oleh seluruh warga Brasil. Tidak semua orang Brasil suka dan bersimpati dengan karnaval. Sebuah penelitian yang diadakan pada tahun 2004 oleh Konfederasi Industri Nasional dan Institut Sensus Brasil menunjukkan bahwa 41,2% orang Brasil suka karnaval, sementara 57,4% tidak mau tahu tentang pesta ini (Estadão, 2004). Berbagai analisis muncul untuk berusaha menanggapi hasil riset ini. Pada sisi anti-karnaval, ada yang mengatakan bahwa rasa tidak simpatik terhadap karnaval dalam skala nasional itu disebabkan alasan moral. Selama hari-hari perayaan karnaval itu, ketika unsur kebebasan dan kedagingan diangkat, terjadi banyak mabuk-mabukan, pesta pora, bahkan seks bebas (seperti pada beberapa zaman peradaban kuno), sehingga eksesnya tidak bisa dihindari. Angka kejahatan dan kecelakaan lalu lintas sering kali meningkat pada periode karnaval karena menggerakan jumlah transportasi yang tinggi dan gerakan manusia yang cukup besar dari selatan ke utara serta dari timur ke barat Brasil. Alasan lain juga menyebutkan bahwa karnaval dianggap mengekspos ketelanjangan masyarakat, sehingga praktik ini mendapat perlawanan dari kaum agamawan yang lebih konservatif (Estadão, 2016). Penduduk Brasil yang tidak suka karnaval suka memanfaatkan periode karnaval untuk libur dan mencari hiburan lainnya, seperti mengadakan kemah, retret rohani di tempat yang jauh dari kepadatan penduduk yang berpesta ria, atau mengadakan perjalanan ke luar kota atau luar Brasil. Karnaval masih tetap saja membawa dampak dan manfaat bagi seluruh warga Brasil meskipun secara tidak langsung. Beberapa suara dari kaum yang pro-karnaval, dalam menanggapi riset di atas, mengatakan bahwa jumlah orang Brasil yang suka karnaval sebenarnya akan lebih tinggi jika penelitian itu diadakan di wilayah pinggiran kota-kota besar Brasil.
PENUTUP
Karnaval adalah suatu elemen yang sangat penting dalam budaya dan keberadaan masyarakat Brasil. Karnaval adalah salah satu ciri khas dan identitas Brasil. Sejarah pembentukan karnaval sebagaimana yang ada sekarang ini dan yang dirayakan setiap tahun tujuh pekan sebelum jatuhnya hari Paskah dalam kalender umat Kristiani, menunjukkan adanya gerakan yang melibatkan semua lapisan masyarakat, dari kelas sosial ekonomi bawah sampai atas, dengan pertolongan dan campur tangan negara. Ekspresi karnaval khas Brasil adalah perwujudan dari sinkretisme berbagai elemen budaya dan etnis asing yang bermigrasi ke Brasil, baik dari Eropa, khususnya Portugal, dan Afrika, melalui keturunan kaum budak. Keikutsertaan jutaan orang Brasil dan wisatawan dalam pawai karnaval atau kontes sekolah samba tidak berarti bahwa permasalahan diskriminasi sosial di Brasil telah ditiadakan, ataupun ketimpangan sosial ekonomi antara yang miskin dan kaya sudah sirna. Perayaan karnaval di seluruh Brasil menjadi momen masih adanya oportunitas untuk berpesta, bersukacita, mengkhayal dan berilusi, menghibur diri, dan tanpa memandang pembedaan kelas secara bersama. Bagi mereka yang menyukainya, kesempatan ini menjadi ruang untuk melampiaskan ketegangan sosial dalam dunia modern. Karnaval juga—secara khusus melalui pakaian, musik, dan tarian yang diciptakan—adalah momentum untuk mengenal kekayaan dari kreativitas dan seni orang Brasil. Ekses kadang memang terjadi selama berlangsungnya karnaval. Namun bahkan bagi mereka yang tidak menyukainya pun, karnaval juga menjadi satu kesempatan untuk melarikan diri, entah ke luar kota atau negara, mencari kekuatan spiritualitas yang berlawanan dengan dunia yang dianggap fana, ataupun memperoleh ketuntungan dalam berbagai bentuk bisnis yang dihasilkan oleh pesta rakyat akbar ini. Karnaval dengan satu cara atau cara yang lain adalah benar-benar bagian dari kehidupan bermasyarakat di Brasil.
KEPUSTAKAAN
https://pt.wikipedia.org/wiki/Carnaval (Diakses pada 14 Februari 2017).
Estadão. Pesquisa mostra: só 41% dos brasileiros gostam de carnaval. http://brasil.estadao.com.br/noticias/geral,pesquisa-mostra-so-41-dos-brasileiros-gostam-de-carnaval,20040212p2948 (Diakses pada 14 Februari 2017).
Ortiz, Renato. Cultura brasileira e identidade nacional. São Paulo: Brasiliense, 1980. http://www.uesc.br/revistas/culturaeturismo/ano6-edicao4/2.carnaval.pdf. (Diakses pada 14 Februari 2017).
Pinto, Tales dos Santos. “História do Carnaval no Brasil”. Brasil Escola. http://brasilescola.uol.com.br/carnaval/historia-do-carnaval-no-brasil.htm. (Diakses pada 14 Februari 2017).
[i] Salah satu kepercayaan yang dianut masyarakat di Brasil (dan beberapa negara Amerika Latin lainnya). Kepercayaan ini diadopsi dari tradisi kaum budak dari Afrika, sejumlah elemen dari Katolik Roma, dan kepercayaan penduduk asli Amerika.