Tentang

Warga Sebagai Seniman, Bukan Penonton: Sebuah Catatan Penting dari Press Conference Biennale Jogja 17

Biennale Jogja, Translokalitas, Transhistorisitas, Warga, Peristiwa Seni

Jika sebuah peristiwa seni terjadi di desa, di manakah posisi dan suara warga?

Pertanyaan itu dijawab tuntas dalam Press Conference Biennale Jogja 17 yang diadakan pada 4 Oktober 2023.

Pada pukul satu siang, ketika sinar matahari sedang terik-teriknya memanasi aspal jalanan, berbagai orang berkunjung ke Ruang Seminar Taman Budaya Yogyakarta (TBY). Terlihat beberapa dari mereka memakai rompi bertuliskan PERS atau mengalungkan kamera di leher mereka. Mereka adalah awak media lokal maupun internasional yang diundang oleh Biennale Jogja 17 untuk menghadiri Press Conference sebelum memulai rangkaian peristiwa seni dalam Biennale Jogja. 

Press Conference diisi dengan sesi bincang para seniman dan kurator. Mereka membicarakan proses pemilihan tema dan judul Biennale tahun ini. Kemudian, berlanjut soal pengalaman para seniman, khususnya ketika membangun peristiwa seni bersama warga. 

Semua percakapan itu terjadi di Ruang Seminar, bersama Alia Swastika (Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta), para kurator, dan seniman yaitu: Adelina Luft, Hit Man Gurung, Sheelasha Rajbhandari, Eka Putra Nggalu, Dan Vezentan, Alyen Foning, dan Monica Hapsari. Biennale Jogja mengundang 38 media dan seorang akademisi kajian budaya bernama Prof. Melani Budianta, M.A, Ph.D.   

 

Pengetahuan Lokal sebagai Pijakan 

Alia Swastika mengawali perbincangan mengenai tema baru yang ditawarkan, yaitu translokalitas dan transhistorisitas. Untuk mewujudkan dua konsep tersebut, titen dipilih sebagai sebuah judul dan metode dalam melakukan praksis seni kontemporer.

Titen merupakan sebuah kata dari bahasa Jawa yang memiliki arti mengamati. Titen juga berkaitan dengan sebuah ilmu dari masyarakat lokal yang mengamati tanda-tanda alam untuk merespon suatu kejadian atau melakukan strategi resistensi terhadap suatu peristiwa. Maka, dapat dikatakan Biennale Jogja ingin mengangkat pengetahuan lokal dalam praksis seni kontemporer kali ini.

Pengambilan kata dari bahasa Jawa juga menandakan lokus penciptaan peristiwa seni yang ada di wilayah Jawa, khususnya pada desa-desa di mana pengetahuan lokal bertumbuh dan menubuh dalam masyarakat. Melalui pemilihan judul dapat dilihat keinginan kuat Biennale Jogja untuk menjadikan desa dan pengetahuan lokal yang tertanam di dalamnya sebagai pijakan dalam berkarya.

 

Translokalitas dari Kalimpong ke Bangunjiwo 

Pada Biennale kali ini, desa yang dipilih sebagai lokus penciptaan karya-karya seni adalah desa Panggungharjo dan Bangunjiwo. Seniman yang hidup dalam nadi kehidupan warga desa-desa tersebut menghidupkan translokalitas melalui cerita dan gagasan-gagasan yang dibagi, lalu dikontekstualisasikan ke dalam suatu karya. 

Ada sebuah contoh pengalaman seorang seniman dari Kalimpong, India yang bernama Alyen Foning. Ia menemukan ada kemiripan ritual dan folklor yang beredar di kaki gunung Himalaya dan Merapi. Salah satunya, keyakinan masyarakat di sekitar kedua kaki gunung itu, bahwa gunung memberikan sumber kekuatan spiritual. Kemiripan itu menunjukkan ketersambungan antara Alyen dengan warga di kaki gunung Merapi. Ketersambungan itu berusaha ia rayakan dengan instalasi yang dibuatnya.

Transhistorisitas juga terjadi dalam karya seniman dari Serbia yang dikuratori oleh Adelina Luft. Seorang seniman dari Serbia berkolaborasi dengan mahasiswa arsitektur di Jogja untuk mempertemukan pengetahuan dari masing-masing negara mengenai metode pemugaran bangunan-bangunan tua. Menurut seniman itu, orang-orang di sekitar tempat tinggalnya cenderung menggunakan tanah di sekitar bangunan historis untuk memugarnya kembali. Sementara, orang-orang di sekitar Bangunjiwo cenderung menggunakan bambu atau kayu untuk memugar suatu bangunan. 

Seniman Serbia bekerja sama dengan mahasiswa dari Jogja untuk memadukan material yang biasa digunakan orang Serbia dan Bangunjiwo. Kerja sama itu dilakukan untuk memugar suatu rumah tua di Desa Jipangan. Pada momen itulah tercipta peristiwa transhistorisitas di mana pengetahuan lokal dari dua negara yang beribu mil jauhnya mampu mempertemukan pengetahuan lokal mereka untuk membuat sesuatu yang berbeda.

Pengalaman kedua seniman di atas merupakan secuil dari perayaan Biennale Jogja 17 tahun ini. Dalam perayaan seni yang partisipatif ini, desa jelas dilihat sebagai lokus penciptaan seni. Oleh karena itu, Melani Budianta  menyampaikan, peristiwa seni internasional yang tersebar di desa-desa mengusik elitisme kesenian internasional.  

Pada akhirnya, perjumpaan para seniman dengan warga di desa tak semakin meminggirkan mereka. Akan tetapi, melibatkan mereka untuk menenun peristiwa seni bersama-sama. Jelas, bahwa peristiwa seni yang dibangun Biennale kali ini memandang warga sebagai seniman — bukan sebagai penonton saja.