6 Oktober - 25 November 2023
“Titen: Pengetahuan Menubuh-Pijakan Berubah” adalah judul yang dipilih untuk mencerminkan gerakan yang beragam tetapi saling beririsan dengan praktik selatan global dan hubungan historis ke lintasan Selatan ke Selatan. Dipinjam dari bahasa Jawa, tempat desa-desa di mana pameran ini terselenggara, kata titen dipilih untuk mendekatkan peristiwa seni ini dengan masyarakat setempat. Titen atau Niteni dalam bahasa Jawa (ilmu titen), secara kepercayaan bersama, diartikan sebagai kemampuan atau kepekaan membaca tanda-tanda dari alam. Ilmu titen biasanya digunakan untuk membaca fenomena alam sebelum terjadi bencana, atau untuk memutuskan suatu tindakan yang diperlukan untuk merespon dan mengantisipasi alam. Ilmu titen didasarkan pada pola pengamatan alam yang berulang-ulang, sehingga pola ini nantinya menjadi acuan untuk menafsirkan fenomena alam dan membentuk narasi ilmiah tertentu dari kepercayaan lokal. Pemilihan kata ini telah menggarisbawahi kerangka kuratorial pada dekolonisasi produksi pengetahuan, yang belakangan ini diangkat sebagai perlawanan terhadap metodologi Barat yang dominan, dan pada saat yang sama menegaskan keberpihakan kuratorial pada metode yang berangkat dari kehidupan yang melibatkan manusia-bukan manusia serta lingkungan alam.
Melalui dua kata kunci ini, Biennale Jogja Equator Putaran Kedua berupaya untuk melanjutkan cita-cita bersama untuk menjadi bagian dari penulisan ulang sejarah seni dunia dan berkontribusi pada proyek dekolonisasi seni, terutama yang berfokus pada mempertanyakan Kembali definisi dan kerangka geopolitik dunia. Pada Biennale Jogja Equator Putaran Pertama; gagasan tentang geopolitik dan internasionalisme baru dengan jelas merujuk pada sebuah wilayah fisik dalam peta (23 derajat LU dan 23 derajat LS), dan sukses mendapatkan perhatian dari berbagai pihak terkait kritisisme yang ditawarkan dan interpretasinya atas peta dunia seni baru. Bekerja sama dengan India, Arab, Nigeria, Brazil, Asia Tenggara dan Pasifik, Biennale Jogja berhasil mempertemukan narasi-narasi sejarah yang tersembunyi, serta melihat kembali jaringan internasionalisme global selatan yang didasarkan pada banyak kesamaan lanskap, iklim, kebudayaan, spiritualitas dan dampak-dampak sejarah kolonialisme. Untuk pertama kalinya, Biennale Internasional secara khusus memberi platform pada gagasan-gagasan di luar seni rupa Barat, dan mempertemukan para pelaku seni dari Kawasan-kawasan yang selama ini tidak begitu terhubung dalam internasionalisme seni.
Jiwa Perempuan, Gerakan Tran-Nasional, Spirit Kolektif, Tradisi Dan Ekologi
Karya-karya dalam pameran di Taman Budaya Yogyakarta menunjukkan pendekatan yang beragam berangkat dari konteks-konteks lokal yang berbeda dari masing-masing lokasi di mana seniman berasal. Politik lokasi menjadi sebuah cara untuk menciptakan imajinasi kartografi baru yang bersifat trans-historis, dengan beragam pengalaman yang berbeda dan saling memperkaya. Para seniman Eropa Timur dalam ruang ini banyak menampilkan interpretasi baru sejarah yang menunjukkan pentingnya keterlibatan dan cara pandang perempuan, termasuk berkaitan dengan peristiwa sejarah dan transformasi sosial dan bagaimana dampaknya dalam kehidupan keseharian.
The Rattan
Bagaimana melihat solidaritas perempuan dalam berbagai isu keseharian yang terkonstruksi dalam struktur sosial ekonomi? Para seniman dalam ruang the Rattan menjelajahi narasi tentang kerja kolektif perempuan, perluasan jaringan kerja terutama di kawasan terpinggir dan rural. Dalam kehidupan komunal desa, kerja perempuan acap tidak terukur sebagai modal ekonomi, sehingga peran mereka tidak tampak dan dilupakan.
Sekar Mataraman
Pengetahuan Lokal, Politik Pangan, Resistensi Warga dan Ekologi, Kriya dan Seni
Sekar Mataram merupakan area badan usaha milik desa Bangunjiwo, yang berada di kawasan lahan pertanian, dengan bentangan sawah luas yang dibatasi bukit di kejauhan. Konteks ini memberi peluang untuk membicarakan politik pangan baik melalui problem yang bersifat strukturalis dan sebagai dampak industrialisasi maupun pangan sebagai hasil kerja pengetahuan dan kebudayaan. Sebagian besar seniman dalam pameran ini (para perempuan) secara khusus memberi ruang pada pengetahuan dan penciptaan domestik—resep masakan, anyaman bambu, tenun, pewarnaan alam—dari beragam narasi dan peristiwa, dari Maumere hingga Wadas.
Pujasera Pabrik Gula Madukismo
Pujasera Madukismo terletak dalam satu kawasan dengan Pabrik Gula Madukismo, tepatnya di seberang area parkir lori dan pohon trembesi raksasa. Menuju ke lokasi ini pengunjung akan memasuki suasana pabrik, dengan aroma khasnya dan juga jajaran pohon tua di kanan kirinya.
Secara khusus, karya dalam area ini membicarakan sejarah pabrik gula dalam konteks Jawa dan Eropa Timur. Bagaimana industri gula tak lepas dari sejarah kolonialisme dan awal modernisasi Jawa, dan di Eropa Timur sendiri, industri gula bertumbuh dalam periode kekaisaran Austria dengan dukungan Uni Soviet. Dalam dua konteks ini, narasi sejarah juga menunjukkan bagaimana banyak pabrik gula dari masa kolonial dan monastri ditutup dan perdagangan gula memasuki era baru semenjak pertengahan 2000an.
Residensi
01
Tangga Teparo
02
Pameran Senirupa Anak “Saba Sawah”
03
Biennale Forum
04
Wicara
05
Anjangsana
06
Pilin Takarir
07
Baku Pandang
08
Bentang Silir
09
Partykelir
10
Partikel yang Bergulir
Bagaimana upaya Biennale Jogja 17 (BJ17) supaya pewacanaan kuratorial dan capaian yang diharapkan—dalam kasus ini: dekat dengan masyarakat—dapat terwujud? Nampaknya, BJ17 menyelenggarakan satu kegiatan yang ampuh untuk mengumpulkan warga, yaitu pemutaran film. Program aktivasi ini, dinamakan Partykelir. Platform ini sendiri, telah dilaksanakan selama 5 kali di berbagai tempat. Pada Partykelir
Menjembatani Gagasan Kuratorial Melalui Tur yang Asyik
Tempat pameran yang tersebar di 12 titik, jauh dari pusat kota (kecuali Taman Budaya Yogyakarta), minimnya fasilitas transportasi umum, menjadi satu dari sekian tantangan pada Biennale Jogja 17 (BJ17). Lalu, bagaimana tindakan BJ17 untuk menyiasati risiko yang telah diputuskan tersebut? Tercetuslah Anjangsana, sebuah program tur kuratorial yang secara langsung dikelola
Pameran Anak Saba Sawah: Ruang Komunikasi Inklusif Bagi Anak Untuk Memahami Seni
Jika kita bicara tentang seni di Biennale Jogja pasti tidak akan jauh dari misi dekolonisasi dan melibatkan negara-negara luar yang mengangkat hal-hal cukup berat untuk dibicarakan. Tapi apa jadinya jika pada putaran kedua Biennale Jogja melibatkan anak-anak dan membuat program khusus untuk anak? Kolaborasi apa saja dan respon seperti apa
Memandu, Mencangkok Kesadaran: Catatan dari Program Kunjungan Sekolah
“Orang-orang di Papua itu berjuangnya pake apa kak?”, seorang siswa dari SD Tumbuh 3 bertanya. Kami yang memandu tur saling lihat, kami agak bingung untuk menjawab. Ya, kami sedang menemani anak-anak kelas 3-5 SD untuk melihat karya “Ai Yo Kamae” dari Nelson Natkime. Karya patung setengah badan Tuarek Natkime membuat
Partikel yang Bergulir
Bagaimana upaya Biennale Jogja 17 (BJ17) supaya pewacanaan kuratorial dan capaian yang diharapkan—dalam kasus ini: dekat dengan masyarakat—dapat terwujud? Nampaknya, BJ17 menyelenggarakan satu kegiatan yang
Menjembatani Gagasan Kuratorial Melalui Tur yang Asyik
Tempat pameran yang tersebar di 12 titik, jauh dari pusat kota (kecuali Taman Budaya Yogyakarta), minimnya fasilitas transportasi umum, menjadi satu dari sekian tantangan pada
Pameran Anak Saba Sawah: Ruang Komunikasi Inklusif Bagi Anak Untuk Memahami Seni
Jika kita bicara tentang seni di Biennale Jogja pasti tidak akan jauh dari misi dekolonisasi dan melibatkan negara-negara luar yang mengangkat hal-hal cukup berat untuk
Memandu, Mencangkok Kesadaran: Catatan dari Program Kunjungan Sekolah
“Orang-orang di Papua itu berjuangnya pake apa kak?”, seorang siswa dari SD Tumbuh 3 bertanya. Kami yang memandu tur saling lihat, kami agak bingung untuk