Mukhamad Aji Prasetyo merupakan seniman instalasi kinetik yang sedang menempuh studi magister seni rupa di Institut Teknologi Bandung. Sebagai seorang seniman instalasi kinetik, dia tertarik untuk mengeksplorasi keterkaitan antara manusia dan lingkungannya melalui karya seni. Dia percaya bahwa manusia harus bertanggung jawab terhadap planet yang ditinggali dan bahwa seni dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk memperjuangkan perubahan positif dalam hubungan kita dengan lingkungan.
Aji mencoba untuk membahas isu-isu ekologi yang sangat penting, seperti kultur sosial, agrikultur, perubahan iklim, dan distopia kepunahan spesies dalam karyanya. Dalam setiap karya seninya, Aji memakai metode visual deformasi, fiksi, dan mitologi. Dia menggunakan teknologi dan mekanisme kinetik untuk menciptakan karya seni yang bergerak dan bereaksi terhadap lingkungan sekitarnya. Aji menggunakan bahan-bahan daur ulang dan limbah untuk menciptakan objek seni yang mempromosikan praktik-praktik berkelanjutan.
Instalasi kinetik
Teks oleh Samuel Bonardo
Aji mencoba untuk membahas isu-isu ekologi yang sangat penting, seperti kultur sosial, agrikultur, perubahan iklim, dan distopia kepunahan spesies dalam karyanya. Dalam setiap karya seninya, Aji memakai metode visual deformasi, fiksi, dan mitologi. Dia menggunakan teknologi dan mekanisme kinetik untuk menciptakan karya seni yang bergerak dan bereaksi terhadap lingkungan sekitarnya. Aji menggunakan bahan-bahan daur ulang dan limbah untuk menciptakan objek seni yang mempromosikan praktik-praktik berkelanjutan.
Karya Aji Prasetyo yang berjudul Mutasi Kinetika adalah salah satu usaha untuk mengejawantahkan relasi alam dan teknologi. Aji membekukan pengalamannya ketika menyadari perubahan di kampung halaman dalam puluhan tahun. Dalam suatu ekosistem, capung juga menjadi bioindikator alami untuk mengetahui kebersihan air karena larvanya tidak bisa tumbuh di air yang tercemar. Gejala perubahan iklim, ancaman krisis pangan, dan kepunahan spesies adalah dampak yang bisa diamati dan dirasakan oleh siapapun yang hidup pada saat ini.
Pandangan antroposen yang memisahkan alam dengan manusia, menghasut kita untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraan. Padahal di hadapan alam; perasaan, emosi, dan kesadaran–yang diunggulkan oleh mayoritas manusia masa kini–tidak pernah lain dari eksistensi material kita yang menubuh. Begitu pula segala unsur yang organik maupun anorganik, gelombang yang kita alami dan cerap, juga tidak pernah jadi lebih tinggi maupun lebih rendah menurut hakikat alamiah itu sendiri. Satu hal yang pasti dan bisa kita amati bersama adalah, bagi alam, perubahan adalah keniscayaan.
Aldo Fernandez bergiat di Komunitas KAHE, Maumere. Bekerja dengan mural, digital painting, dan sablon untuk aneka karya seni, produk maupun merchandise. Ia juga bagian dari Cru Father Said, sebuah gerakan seni yang diinisiasi oleh musisi hip-hop di Maumere. Saat ini sedang mendalami kerja-kerja tata panggung untuk pertunjukan, instalasi, dan desain pameran.
Mural di dinding
Dalam banyak karya ilustrasi dan muralnya, Aldo kerap mengeksplorasi kura-kura, hewan yang menjadi totem dalam keluarganya. Keluarganya percaya, kura-kura adalah nenek moyang yang menopang dunia, memberi kehidupan, dan menjaga seluruh keluarga dari marabahaya. Merespons situasi Bangunjiwo yang kaya akan pertanian dan hasil bumi, Aldo tertarik menggambar lanskap dalam bentuk komikal, memadukan imaji-imaji tradisional di Flores dengan hewan-hewan purba yang akrab dalam dunia pertanian. Menariknya, sosok kura-kura yang menjadi totem dan dasar dari gambar ini, tak lagi mudah ditemui, bahkan di daerah pesisir seperti Maumere, tanah kelahirannya. Di balik karya yang sejuk dan sederhana ini, Aldo sedang menyoal dasar: masih adakah yang menopang kehidupan kita, terutama di kampung-kampung yang kerap kita imajikan sebagai lingkungan yang asri dan lestari?
Alfred W. lahir di Kupang, tinggal di Atambua. Menekuni fotografi sejak tahun 2003 saat bergabung dengan salah satu perkumpulan sosial yang fokus pada isu pengungsian Timor-Timur tahun 1999. Belajar fotografi pada komunitas fotografi di Kupang dan Jogja serta Belu. Senang memotret hal-hal yang berhubungan dengan isu sosial, budaya dan lingkungan. Kini Alfred sedang belajar tentang konsep permakultur dan bergiat sebagai petani.
Tayuko Matsumura lahir di Kupang, tumbuh dewasa di Hyôgo Jepang. Pertama kali datang ke pulau Timor pada tahun 2007 sebagai relawan sosial. Aktivitas sosial membawanya lebih jauh hingga ke Aceh pasca tsunami, gempa Padang, hingga Kashmir-Pakistan. Ia merespons isu-isu sosial di sana dengan berbagi kegiatan. Pernah tinggal dan bekerja di Jakarta sebagai tim redaksi pada media berbahasa Jepang, kemudian kembali ke Timor pada tahun 2016 lantas memilih menetap dan berkarya di Atambua. Suka menggambar dan memotret hal-hal sekitarnya.
Foto dan instalasi
Alfred dan Tayu merekam kehidupan warga kerajaan Leimean dari Timor bagian timur yang kini tinggal di Desa Sadi, wilayah Timor bagian barat. Alfred merekam upacara-upacara yang berkaitan dengan siklus hidup, seperti peristiwa kelahiran hingga kematian. Secara lebih luas, Tayu mengelola hal-hal mengenai perbatasan.
Dalam sejarahnya, Timor bagian barat dan timur punya dinamika sosial politik yang pelik. Yang paling jelas terekam oleh memori kolektif bangsa Indonesia adalah intervensi politik Indonesia ke wilayah Timor bagian timur sejak tahun 1970-an hingga referendum Timor Leste pada 1999. Timor bagian barat dan bagian timur kini jadi simbol negara dan ideologi politik yang berbeda. Perlu paspor, visa, atau lewat prosedur pas lintas batas untuk saling kunjung. Namun, dalam urusan adat tradisi, perbatasan menjadi samar, abu-abu, bahkan hilang dan melebur. Ikatan-ikatan yang tak terlihat seperti ikatan kultural terus menyimpul kuat. Tanggung jawab dalam keluarga dan kekerabatan tak mengenal “batas”. Silaturahmi tetap bisa berlangsung melalui “jalan-jalan tikus”.
Alicja Rogalska adalah seniman lintas disiplin yang berbasis di London dan Berlin. Praktiknya berbasis pada riset dan subteks politik dalam kehidupan sehari-hari. Ia terutama bekerja dengan konteks spesifik untuk membuat peristiwa, performans, video, dan instalasi dengan kolaborasi bersama pihak lain dan secara kolektif membuat ide emansipatoris untuk masa depan. Ia baru-baru ini mempresentasikan karya di National Gallery of Art (Vilnius, 2023), Scherben, Berlin Art Prize (2022, winner), Manifesta 14 (Prishtina, 2022), Temporary Gallery (Cologne, 2021-22), Kunsthalle Bratislava (2021), Kunsthalle Wien (Vienna, 2020-21), OFF Biennale (Budapest, 2020-21), Art Encounters Biennale (Timișoara, 2019), Tokyo Photographic Art Museum (2019), Biennale Warszawa (2019), Museum of Modern Art (Warsaw, 2019), Kyoto Art Centre (2019) dan Muzeum Sztuki (Łódź, 2019). Rogalska merupakan seniman penerima DAAD Artists-inBerlin program (2020-21) dan sekarang menempuh Ph.D berbasis praktik di Goldsmiths College, London.
Instalasi video satu saluran, warna/suara, 9 menit/Single-channel video installation, colour/sound, 9min.
Atas perkenan Seniman/Courtesy of the artist
Lahir di Polandia dan dibesarkan di sebuah desa kecil di timur laut negara itu dalam keluarga petani multi-generasi yang terlibat dalam gerakan koperasi lokal, Alicja melanjutkan studi di Warsawa, Stockholm dan London untuk kemudian pindah dan bermarkas di Berlin. Praktik Alicja didasarkan pada penelitian yang bersifat interdisipliner dan berfokus pada struktur sosial dan nuansa politik sehari-hari.
Alicja Rogalska bersama Katalin Erdődi, Réka Annus dan Paduan Suara Wanita Kartal, adalah seniman interdisipliner kelahiran Polandia yang tinggal di Berlin dan bekerja secara internasional. Praktiknya didasarkan pada penelitian dan berfokus pada struktur sosial dan nuansa politik sehari-hari. Dia banyak bekerja dalam konteks tertentu, seperti membuat situasi, pertunjukan, video, dan instalasi yang bekerja sama dengan orang lain untuk mencari ide-ide emansipatoris untuk masa depan secara kolektif. Dia berkolaborasi dengan spesialis lokal, mulai dari penyanyi folk dan penggemar board game, musisi jalanan, hingga petani, pengacara, feminis, dan aktivis queer.
Pada tahun 2011 ia membuat karya video Broniów Song dengan grup folk Polandia Broniowianki: sebuah lagu rakyat “kontemporer” yang membahas tentang pengangguran di pedesaan Polandia setelah memasuki UE. Menggunakan pendekatan serupa dan berangkat dari konteks kekayaan tradisi budaya rakyat dan nyanyian di Hongaria, News Medley merupakan kolaborasi antara seniman, kurator Katalin Erdődi, penyanyi folk Réka Annus dan Paduan Suara Perempuan Kartal, sebuah desa dekat Budapest di Hongaria bagian timur. Video tersebut bercerita tentang kehidupan di pedesaan, seperti yang dialami perempuan dari berbagai generasi. Ini menceritakan perubahan di dalam sistem politik dan gaya hidup, dan realitas kerja keras dalam kehidupan sehari-hari, dikomentari dengan humor dan kecerdasan yang tajam oleh anggota paduan suara. Sebuah medley yang terdiri dari lima lagu yang dipilih dari repertoar paduan suara dan ditulis ulang secara kolektif, dengan cara menyatukan kisah-kisah pribadi dengan keprihatinan kolektif tentang kehidupan masyarakat dan masa depan desa.
Alyen Foning tinggal di desa leluhurnya, Kalimpong– tempat komunitas Lepcha, dengan gunung-gunung dan sungai sakral, di kaki timur Gunung Himalaya. Terinspirasi oleh akar budaya dan refleksi hidupnya, Alyen menggunakan karya dan teknik bercerita sebagai media untuk menolong orang-orang lain menyambung kembali relasi dengan lingkungan. Menggunakan kain, warna, musik, dan desain, karyanya menjadi jembatan antara seni dan penelitian, serta antara masa lalu nenek moyang dan generasi masa depan.
Alyen belajar Textile and Apparel design di NID, Ahmedabad. Karyanya diinspirasi oleh alam dan kebudayaan masyarakat indigenos. Ia menciptakan The Story of Munn yang dipamerkan di So Many Feminisms! dan diselenggarakan oleh Godrej India Culture Lab berkolaborasi dengan Zubaan Books pada 2019. Alyen juga punya label desain ALYEN FONING yang percaya pada kekuatan Ibu pertiwi; komunitas, penggunaan ulang dan keterampilan pengrajin lokal dalam menarasikan cerita melaio seni, kata, musik dan sebagainya. Penciptaan seni lokal diinspirasi oleh akar budaya, sejarah lisan, dan perjalanan dalam diri batin kita label desainnya merepresentasikan orang-orang yang serupa yang bekerja bersama untuk menciptakan, berkolaborasi, merayakan memberdayakan dan meningkatkan kesadaran tentang warisan alam sembari mengingat dan merayakan hubungan dengan Ibu Bumi dan biodiversitasnya untuk menghormati dan melindunginya. Dia juga sering mengajar di banyak sekolah desain di India.
Matrahita merupakan sebuah kolektif seni yang beranggotakan Kemala Hayati, Hafizh Hanani, dan Shidqi Al Harris. Berdiri pada tahun 2019 di kota Yogyakarta, Matrahita pada awalnya merupakan sebuah brand merchandise yang menjual beberapa barang seperti Graphic T-shirt dan thrifting. Matrahita secara resmi menjadi kolektif pada tahun 2022.
Matrahita berasal dari dua kata bahasa Sanskerta, yaitu Matra yang berarti doa dan Hita yang berarti kebaikan. Oleh karena itu, Matrahita dapat berarti sebuah doa untuk kebaikan. Dengan mengusung gagasan tersebut, kami berharap dapat menjadi wadah atau tempat yang ramah untuk dapat belajar dan bereksplorasi dalam berkesenian tidak hanya kepada para anggotanya namun juga kepada masyarakat secara umum. Misi kami yaitu dapat mengedukasi dan bermanfaat lewat penciptaan karya seni dan lokakarya. Pada saat ini kami berfokus menggunakan media yang ramah lingkungan (eco friendly) dengan memanfaatkan kembali limbah kain yang ada disekitar kita.
Instalasi tesktil daur ulang
Bagi Foning yang berasal dari komunitas Lepcha, Gunung Kangchenjunga di timur Himalaya memiliki makna spiritual sebagai lokus cerita asal muasalnya. Sungai Teesta yang merupakan aliran dari es yang mencair di gunung Kanchenjunga dan juga rumah dari naga air bernama Oong Sader, merupkan representasi dari memori, cerita, dan kedekatan hubungan masyarakat Lepcha dengan sungainya. Secara paralel, di kaki gunung Merapi di Jawa, juga hidup Api Naga Raja yang kehadirannya mencegah tanah longsor. Karya-karya tekstil daur ulang ini menjalin narasi dan menyajikan representasi visual dari hubungan yang melintasi gunung, roh, dan spesies.
Anang Saptoto, A.Md., S.Sn., adalah seorang seniman, desainer, dan aktivis yang tinggal di Yogyakarta, Indonesia. Ia menyelesaikan pendidikannya di Jurusan Desain Komunikasi Visual, Akademi Desain Visi Yogyakarta (2000-2005), Jurusan Televisi, Fakultas Seni Media Rekam, Institut Seni Indonesia Yogyakarta (2002-2009), Magister Seni Video Institut Seni Indonesia Yogyakarta (2023-sekarang). Praktik kolaboratifnya berfokus pada ekologi dan perubahan sosial, serta menggunakan seni sebagai alat untuk mempertanyakan dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru. Ia sering mendukung gerakan lingkungan hidup, hak asasi manusia dan menciptakan kolaborasi dengan anak-anak, sekolah, komunitas penyandang disabilitas, dan organisasi sosial. Berinteraksi, bersolidaritas, dan berkolaborasi merupakan cara yang ia anggap sangat penting dalam karyanya. Mulai tahun 2020, ia menjadi direktur kolektif MES 56 dan juga pendiri proyek seni dan pertanian Panen apa hari ini (Pari).
Tim Kerja/Collaborator:
1. Kelompok Wanita Tani (KWT) Mawar 4, Ngentak, Bangunjiwo
2. Ahli Tani Pepaya Pak Sadhir
3. Warga RT.04, Ngentak, Bangunjiwo
4. Forum Arsitektur Kampung Kolaboratif (FAKK) Yogyakarta (Angkatan 2)
- Pembimbing: Endah Tisnawati
- Tim desain: Sugiarni Aprilia, Ulil Oktaviana, Nurul Aprilia Wahdania, Wahyu Widayat Jati
- Tim Volunteer: Jovan Kurnia Pradana Mahavira, Muhammad Salim Assaidi, Martino Yuandri Setu Raja
10 kincir angin dengan figur manusia dan alam. Pengecatan pada instalasi angin, polywood, kaleng, media campuran
80x100 cm, 10 bagian
3 set instalasi panel surya untuk mesin irigasi, gubuk, tampungan air, spanduk Pari Perkebunan Pepaya Pak Sadhir
Instalasi gubuk, tandon air, raizbelt, pagar, spanduk Pari di taman KWT Mawar 4, Ngentak, Bangunjiwo
Pajangan kumpulan artefak desain arsitektur dan spanduk Pari di warung KWT Mawar 4
Aktivasi wisata desa bersama KWT Mawar 4 dan Forum Arsitektur Kampung Kolaboratif (FAKK) Yogyakarta
Ana Hoffner ex-Prvulovic* adalah seniman, peneliti dan penulis. Ia tertarik pada budaya queer, aksi pamer kapitalisme global, kolonialisme dan sejarah (Eropa) Timur, bentuk pelarian, psikoanalisis tahap awal, juga politik ingatan atas perang. Hoffner bekerja dengan video, fotografi, instalasi, dan pertunjukan. Dia* menggunakan cara-cara apropriasi seperti menata ulang foto-foto, wawancara, dan laporan, serta mencari cara untuk melakukan desinkronisasi antara bagian-bagian normatif antara tubuh dan bunyi, serta suara dan gambar. Dia* bekerja secara eksplisit untuk melawan dominasi corporate aesthetics saat ini, gambaran rasa jijik dan horor, serta kelompok sayap kanan dengan menekankan pada analisis, kontekstualisasi, dan refleksi.
Pameran tunggalnya terbaru berlangsung di Kunstverein Braunschweig (Active Intolerance), 2023 dan di Kunsthalle Wien, 2021. Ia menerbitkan katalog Contemporary/ Unconscious berbasis pada pamerannya di Kunsthalle Wien, dengan penerbit Sternberg Press in 2023. Ana sekarang menjadi Professor for Artistic Research di Mozarteum University, Salzburg.
*di peralihan dari orang yang lahir tahun 1980 di Paraćin (Yugoslavia), kemudian berpindah pada tahun 1989 dan menerima kewarganegaraan kapitalis (Austria) dengan nama baru pada tahun 2002.
Instalasi video saluran tunggal. warna/suara, 45 menit
Spanduk dicetak pada tekstil
Atas perkenan Seniman
Spiritual Decolonization adalah judul dari karya video ini (yang diambil dari publikasi Pride and Obligation-Galeri Seni Josep Broz Tito dari Gerakan Non Blok, 1984) dan berpusat dari kuliah Perempuan, Pembangunan, dan Gerakan Non Blok yang dibawakan oleh partisipan dari Yugoslavia, politisi, dan feminis Vida Tomšič di New Delhi pada 1985. Film ini merefleksikan pertemanan antara Tomšič dan Vina Mazumdar, seorang aktivis feminis akar rumput dan pionir dari studi perempuan. Set dari kuliah itu bertempat di Galeri Seni Negara-Negara Non Blok di Podgorica (dulu disebut Titograd), yang sudah dipertahankan sejak tahun 1980 oleh empat pekerja seni yang luar biasa. Pertemuan bersejarah antara Vida Tomšič dan Vina Mazumdar terjalin melalui pengetahuan mereka tentang koleksi serta warisan politik budaya non-blok. Video tersebut disertai dengan tekstil yang termasuk spanduk peristiwa fiksi, konferensi, dan pameran yang tidak pernah terjadi, namun mengajak kita membayangkan seperti apa sejarah seni feminis transnasional.
Anca Benera dan Arnold Estefán telah bekerja secara kolaboratif sejak 2012. Mereka menekankan praktik berbasis riset dan lintas disiplin yang didedikasikan untuk narasi sejarah, sosial, dan geopolitik, serta struktur kuasa di belakangnya. Karya-karya mereka menjelajahi cara militer membentuk lanskap, iklim, komunitas dan bagaimana satu sama lain terikat dengan pemerasan bumi sebagai komoditas ekonomi.
Terentang dalam beragam media, termasuk instalasi, video dan performans, karya mereka telah dipamerkan di n.b.k Berlin (2023-solo), Laboral Centro de Arte, Gijon, Spain (2023), Whitechapel London (2022), Museum Tinguely, Basel (2022), Migros Museum, Zurich (2021), 39th EVA International-Ireland’s Biennial (2020), MUCEM, Marseille (2019), Frac des Pays de la Loire, Nantes (2018), MUMOK, Vienna (2017), ZKM, Karlsruhe (2016), The Jewish Museum, New York (2016), Vienna Biennale, MAK, Vienna (2015), MAK Centre for Art and Architecture, Los Angeles (2016), The School of Kyiv-The Biennale, Kyiv (2015), Off Biennale, Budapest (2017, 2015), Kunsthalle Wien (2014), 13th Istanbul Biennial (2013), La Triennale, Palais de Tokyo (2012).
Instalasi (jerami padi) berkolaborasi dengan Dwi Anggoro Mandiri
5 objek
Dimensi Variabel
Karya Perpetual Harvest pertama kali dibuat untuk pameran Chronic Desire di Timișoara 2023 European Capital of Culture di Romania. Dalam situasi perang Rusia-Ukraina, karya ini memperlihatkan pangan dan agrikultur dipersenjatai, bagaimana pelarangan ekspor pangan menjadi lebih berbahaya dari serangan bom atau misil. Untuk Biennale Jogja 17, 'balistik primitif' dibuat dari tangkai beras bersama dua artisan lokal sebagai cara mengkontekstualisasikan politik produksi dan komersialisasi beras menggunakan material dan kekriyaan lokal.
Anca Bucur (lahir 1989) adalah seniman visual dan penulis, berbasis di Bucharest, Rumania. Ia menyelesaikan pendidikan di University of Bucharest, dengan latar belakang sastra dan kajian budaya. Karyanya merupakan hasil dari riset panjang yang ditransformasi dalam berbagai media; objek, video, suara dan teks. Belakangan, ia berfokus pada penelitian tentang materialitas tubuh dan tanah dalam relasinya dengan ruang-ruang dan sejarah lokal. Ia tertarik pada aspek politis dan epistemologis karya seni. Anca Bucur menjadi penulis dari beberapa buku antologi dan editor di frACTalia press.
Instalasi tekstil
Instalasi suara berkolaborasi dengan Chlorys dan Sofia Zadar
Variabel Dimensi
Atas perkenan Seniman
Bagian dari bahan tekstil yang dibuat di Rumania dan digunakan dalam instalasi adalah milik: Victoria Bucur, Elena Bucur, Stelica Săvulescu, Stanca Săvulescu, Ana Cocorăscu, Mioara Ciorîcă, Loria Bucur. Selama masa residensi jangka pendeknya di Yogyakarta, Anca mencoba meneliti hubungan sosial, politik, dan ekonomi antara tanah dan perempuan. Oleh karena itu, ia bertemu dengan anggota Solidaritas Perempuan Kinasih dan anggota Kelompok Wanita Tani di Ngentak, Bangungjiwo. Sebuah karya tekstil baru, yang menyertai proses penelitian situasional dari A labor of love, telah dihasilkan dari interaksi ini.
Terima kasih secara khusus kepada: Valentina Ionescu, Ibu Martini.
Anusapati lahir di Solo, Indonesia, dan sekarang tinggal di Yogyakarta. Dia menyelesaikan pendidikan di ASRI, Yogyakarta, dan kemudian melanjutkan gelar master dalam disiplin patung di Pratt Institute, Brooklyn, New York. Sejak 1985 Anusapati sudah mengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, dan menyelesaikan tugasnya sebagai profesor pada 2022. Ia disebut sebagai salah satu pematung yang berpengaruh dalam sejarah seni di Indonesia, dan menjadi Ketua Asosiasi Pematung Indonesia. Dia telah berpartisipasi dalam beberapa Pameran internasional seperti The Biennale IX Jakarta (1993), India Triennalle VII (New Delhi,1993), Johannesburg Biennale (1994), Asia-Pacific Triennale of Contemporary Art (Brisbane,1996), Venice Biennale (1997), Indonesia Art Summit (Jakarta 2003) dan Asian Potential (Nagoya 2005). Anusapati memenangkan The Best Work Award dalam Biennale IX Jakarta (1993) dan The Best Work dalam Indonesia Sculpture Triennale (1996). Karyanya telah dikoleksi beberapa museum seperti; Indonesia National Gallery, Queensland Art Gallery dan Singapore Art Museum. Instalasi publiknya terpajang di Bandung, Bengkulu dan Bali.
Anyaman Bambu
Anusapati adalah pematung yang banyak bekerja dengan material-material alam untuk melihat perubahan fisik keterhubungan manusia dan non manusia yang saling memberi makna baru. Karyanya untuk Biennale Jogja 17 adalah sebuah instalasi skala besar di luar ruang yang mencoba menggali kembali keterampilan pertukangan dan penggalian ornamen keseharian yang dalam beberapa dekade belakangan telah diterima sebagai hal yang terberi, sehingga kehilangan maknanya. Bersama para penganyam bambu dari kawasan Bangunjiwo, Anusapati membuat struktur arsitektural yang merespons lanskap sekitar dengan filsafat dan sejarah lisan yang terkandung dalam benda keseharian.
Dalam anyaman tersebut terdapat motif sudamala yang dalam kepercayaan Hindu (Bali) diartikan sebagai motif tolak bala untuk menjauhkan manusia dari situasi buruk. Sudamala juga mengandung pertemuan simbol lelaki dan perempuan, atau melebur batas dari hal-hal yang biner. Motif sudamala turut hadir dalam perlengkapan upacara Bali sebagai bentuk doa untuk memohon berkah serta dijauhkan dari hal negatif. Anusapati mengisi struktur tersebut dengan aneka tanaman penyembuh atau sering menjadi bahan pembuatan jamu, obat alami dalam tradisi Nusantara.
Lahir di Solo, Arum Dayu memulai karir kreatifnya sebagai jurnalis foto untuk harian Kompas. Ia lulus dari Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (2002-2007) dan diploma dalam foto jurnalisme dari Ateneo de Manila University pada 2012. Selanjutnya ia mendapatkan gelar master seni visual dari Institut Teknologi bandung. Ia menginisiasi kelompok Kami Punya Cerita di Tobucil and Klabs, Bandung, dan sekarang menjadi bagian dari Omnikolektif di kota yang sama. Ia juga masuk ke dalam skena musik melalui aktivitasnya bersama Tetangga Pak Gesang dan Syarikat Idola Remaja.
Arum telah berpartisipasi dalam banyak pameran, baik nasional atau internasional, di antaranya: UNDRR exhibition Disasters Are Not Natural di New York 2023, Bandung Photography Triennale 2022, Julius Baer Next Generation Finalis Exhibition 2021, Ballarat International Photo Festival 2021, Future Cosmogonies of Resistance, Galeri Lorong 2021, Flux de Mémoire/Arus Memori 2020, #Perempuan (Space 28 VCA Melbourne), dan Identity Crisis: Reflection on Public and Private Life in Contemporary Javanese Photography (Johnson Museum of Art, Cornell University, New York, 2017). Ia juga pernah melakukan residensi bersama program Village Video Festival di Jatiwangi Art Factory, dan di Cemeti-Institute for Art and Society, Yogyakarta.
Video dan Lagu
Karya lagu dan video senam ini berangkat dari kesadaran akan pentingnya ruang untuk perempuan. Terdapat empat buah lagu yang liriknya dibuat bersama dengan ibu-ibu Kring Ngentak, Bangunjiwo. Lagu-lagu tersebut menceritakan tentang keseharian dan beberapa aktivitas ibu-ibu di Bangunjiwo. Lagu Sayuk Rukun bercerita tentang bagaimana mereka hidup rukun bersama warga. Lagu Ibu Sing Ora Lali bercerita tentang peran ibu dalam keluarga dan mengasuh anak. Lagu Asolola bercerita tentang senam sebagai salah satu ruang untuk ibu-ibu mengekspresikan kreativitas mereka melalui gerakan. Dan lagu Nguri-uri Lemah bercerita tentang kegiatan kelompok ibu-ibu dalam merawat bumi dengan mengolah lahan dengan menanam sayuran. Semua lagu dinyanyikan perwakilan dari ibu-ibu dari Kring Ngentak. Lagunya diremix oleh kolektif musik asal Yogyakarta, Prontaxan
Lagu-lagu ini menjadi pengiring untuk senam kreasi yang sedang digandrungi ibu-ibu di wilayah ini. Senam kreasi adalah jenis senam yang menggabungkan gerakan-gerakan fisik dengan elemen-elemen kreatif, seperti gerakan tarian, musik, dan ekspresi diri. Senam ini tidak hanya memberikan manfaat fisik, tetapi juga manfaat psikologis dan sosial. Senam seringkali dilakukan dalam kelompok, sehingga dapat menjadi kesempatan bagi ibu-ibu untuk bertemu dengan orang-orang baru dan memperluas jaringan sosial mereka.
Betty Adii adalah seniman yang berasal dari Papua, dan sedang menempuh pendidikan di Fakultas Seni dan Bahasa, Universitas Negeri Yogyakarta. Pencariannya akan makna hidup dan perjuangan mendorongnya untuk mempertanyakan posisi dan identitas Perempuan Papua yang bersinggungan dengan konteks sosial, politik dan budaya. Ia menggabungkan kerja-kerja aktivisme, terutama yang berfokus pada upaya untuk menyuarakan isu-isu perempuan dalam kaitannya dengan trauma kekerasan akibat militerisme dan kolonialisme, termasuk konteks neo-kolonialisme Orde Baru dan setelahnya di Papua. Karya-karyanya dimaknai sebagai ruang temu pengetahuan dan pengalaman antar perempuan sehingga ia kerap mengomunikasikan bentuk visual yang banyak menggunakan simbol-simbol ketubuhan sebagai pembacaan atas kompleksitas ruang hidup itu sendiri.
Melalui jejaring kerja dengan kelompok aktivis dan seniman, Betty mempresentasikan suara dan gugatan dari mereka yang terlupakan, sehingga mendapatkan perhatian dan empati dari publik yang lebih luas. Melalui gambar, lukisan dan karya instalasi, Betty menggugah narasi perlawanan dan semangat solidaritas terhadap persoalan yang dialami oleh perempuan Papua. Betty menjadi bagian dari kolektif Udeido, dan bersama mereka telah berpameran di Museum MACAN, Jakarta, serta baru-baru ini di Museum of Contemporary Art Ljubljana Slovenia.
Lukisan, Pewarna Alami di atas Kanvas
Dalam karya ini Betty bereksperimen dengan bahan-bahan pewarna alami yang bisa diperoleh dari alam. Baginya eksperimen ini amat penting, karena praktiknya sendiri dekat dengan isu-isu ekologis dan perempuan. Dalam eksperimen materialnya ini, Betty memutuskan untuk menggambar sosok-sosok perempuan yang ia kenal temui karena kerja-kerja aktivisme mereka. Baginya, sosok-sosok ini penting, karena mereka secara jujur dan tegas memperjuangkan hak-hak perempuan dan lebih jauh dari pada itu, koeksistensi dan keutuhan ciptaan. Melalui karya ini Betty ingin menggarisbawahi komitmen dan perlawanannya atas bentuk-bentuk pelecehan terhadap tubuh, perampasan ruang hidup, dan eksploitasi terhadap sumber daya-sumber daya alam yang mengancam kehidupan bersama.
Patung
Karya patung ini adalah eksplorasi Betty dengan material tanah liat. Betty ingin menggambarkan relasi perempuan dengan tanah. Dalam banyak kebudayaan, tanah dipandang sebagai ibu, sebagai rahim yang memberi kesuburan juga kehidupan. Modernisme dan cara padang positivistiknya kerap mengobjektivikasi tanah untuk dikeruk habis-habisan demi kepentingan manusia. Dalam kasus yang lain, objektivikasi terhadap tubuh perempuan terus berlangsung, lewat media maupun kasus-kasus kekerasan di ruang-ruang paling personal seperti rumah tangga. Hari-hari ini, rasanya perspektif tentang tanah perlu diselidiki kembali, salah satunya dengan mengembalikan aksi pemaknaan atas tubuh dan tanah kepada perempuan, yang merawat dan yang menumbuhkan.
Bidhyaman Tamang adalah seniman grafis asal Nepal yang lulus Lalitkala Campus dengan fokus pada seni grafis untuk gelar masternya. Ia menerima Australian Himalayan Award pada 2020 and penghargaan nasional pada 2021. Tamang berpartisipasi pada Kathmandu Triennale 2077 B.S. dan the Kochi-Muziris Biennale pada 2023. Sekarang ia mengajar di Kathmandu University. Karyanya telah dipamerkan di berbagai negara.
Tamang lahir pada 1994 di Ramechhap, Nepal. Ia secara mendalam merefleksikan dampak dari migrasi dan urbanisasi pada kehidupan rural. Karyanya secara sangat indah menggambarkan esensi serangga, kehidupan pertanian, dan ekosistem, menjadi pengingat bahwa kita harus menjaga hubungan dengan alam. Melalui seri Memories of the soil, Tamang bertujuan untuk membangun kembali hubungan dengan asalnya dan menciptakan ruang untuk elemen-elemen yang hilang dalam pembangunan urban yang didominasi oleh hunian mewah. Karir seninya membawa pesan mendalam tentang pentingnya melindungi lingkungan alam dari gempuran pembangunan urban.
Atas perkenan Seniman
Karya Tamang membicarakan secara tajam tentang memori nostalgia dari kehidupan di desanya, waktunya dihabiskan untuk terpukau dengan dunia serangga di ladang terbuka, dikelilingi oleh capung, kupu-kupu, semut, lalat, kunang-kunang, lebah, tawon, dan ngengat. Sekarang kita menghadapi realita menyakitkan bahwa populasi serangga semakin menurun dan dampak ketidakhadiran mereka dalam ekosistem kita. Karya grafis ini menawarkan sepotong dunia yang terasa familiar namun juga jauh—dunia arthropoda dan rerumputan, tanaman liar dan ekosistem, dari tanah dan memori yang berjuang mencari tempat di tengah lahan perkotaan yang menggila.
Chet Kumari Chitakar (usia 63) merupakan satu dari perempuan yang meneruskan praktik membuat print blok kayu yang menjadi tradisi di kawasan lembah Kathmandu, bagian dari Newar, masyarakat adat di daerah itu. Jenis seni ini sangat tua tetapi sering terabaikan. Chet Kumari menikah dengan lelaki suku Newar dan sejak itu ia mempelajari tradisi cetak blok kayu ini dari ibu mertuanya. Para keluarga dari Newar memang sangat dikenal sebagai pencipta seni dan kriya, yang menjadi bagian dari agama dan budaya yang penting dalam kehidupan di Nepal. Tradisi ini dimulai pada Abad 17, dan sampai sekarang poster-poster dan cetak gambar Dewa dan Dewi masih sering ditemukan jika masa festival agama tiba. Bagaimanapun, kerja yang detail dan menyita waktu dari jenis karya ini perlahan mulai digantikan oleh cetak mesin dan cetak digital. Meskipun teknologi telah mengurangi keuntungan ekonomi dari penciptaan model lama, seniman seperti Chet Kumari masih terus melanjutkan tradisi keluarganya sebagai dedikasi terhadap bentuk seni itu sendiri dan komitmen untuk terus merawat keterampilan kriya ini.
Warna pigmen pada kertas Lokta
Atas perkenan seniman dan Artee Nepal
Chet Kumari Chitrakar adalah salah satu dari sedikit seniman yang terus memproduksi cetakan lukisan tangan. Meskipun tradisi seni Newa yang terstruktur dan formal dipelajari secara ekstensif, seperti halnya lukisan Paubha, bentuk seni vernakular dan yang dapat diakses sering kali diremehkan. Dia melanjutkan tradisi unik di Lembah Kathmandu, di mana balok kayu, atau yang dikenal dengan sebutan thāsā, secara umum dipakai oleh perempuan di komunitas Chitrakar untuk membuat cetakan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan artistik di berbagai festival desa.
Saat ini, cetakan offset Dewa dan Dewi yang diimpor telah sepenuhnya mengambil alih pasar, sehingga meruntuhkan nilai komersial dan prestise dari gambar cetakan blok lama dan gambar yang dilukis dengan tangan. Dengan menurunnya keuntungan, meningkatnya modernisasi, dan berkurangnya pengabdian, banyak bentuk warisan tak benda, seperti cetak blok, hilang secara bertahap. Chitrakar mengaku kini bekerja semata-mata demi menjaga tradisi cetak blok agar tetap hidup.
Dan Vezentan menjelajahi semesta budaya tanam dan teknik pemeliharaan hewan, menampilkannya secara subjektif, untuk memasuki ingatan masa kecilnya. Karyakaryanya terentang dari desain alat rumah tangga, sistem pakan hewan atau sistem pengairan, dan bagaimana teknik penyimpanan makanan, menginvestigasi produksi pangan, limbah biologis dan dampak ekologisnya. Ia tumbuh dalam konteks lingkungan yang sangat dekat dengan budaya tani di Maramureș, Romania Utara, dikelilingi oleh mesin pengolah pangan, manual teknik rumahan dan buku-buku anatomi hewan.
Tongkat dan keranjang bambu
450x470 cm
Dan Vezentan mengeksplorasi dunia zooteknik dan pertanian, menyajikannya secara subyektif, sambil mengenang masa kecilnya. Karya-karyanya berasal dari desain rumah tangga, sistem pemberian makan dan minum hewan, atau dari sistem penyimpanan makanan, menyelidiki produksi makanan, surplus, limbah biologis dan ekologi. Ia dibesarkan dalam konteks lingkungan berbasis pertanian di Maramureș, Rumania Utara, dikelilingi oleh mesin pakan, manual teknis peternakan, dan buku anatomi hewan.
Praktik Dan Vezentan berkisar pada bidang zooteknik dan pertanian, proses domestikasi tanaman dan hewan. Karya-karyanya berasal dari desain rumah tangga, sistem pemberian makan, pengairan atau penyimpanan hewan, mengeksplorasi perubahan teknologi di daerah pedesaan, pergeseran rasio antara panen dan limbah biologis, atau produksi pangan vs. ekonomi sirkular.
The Rice Collector adalah instalasi spesifik lokasi yang dikembangkan untuk Jogja Biennale 17 dan merupakan bagian dari rangkaian karya yang sedang berlangsung–Harvesting Structures–yang dirancang sebagai alat panen utopis dan struktur monumental yang memberikan penghormatan kepada pekerja pertanian. Struktur The Rice Collector dirakit dari bahan lokal menggunakan berbagai jenis bambu, keranjang beras lokal, dan kabel serat alami. Bertempat di tengah lahan kering, pekerjaan ini juga mengatasi masalah kekurangan beras akibat kekeringan yang disebabkan oleh perubahan musim, privatisasi lahan, dan urbanisasi yang semakin mempengaruhi daerah pedesaan Bangunjiwo dan ekosistem lokal.
(Didirikan di Kathmandu) Beberapa tahun yang lalu, Untamable Dankini mulai terbentuk sebagai sesi ventilasi kecil-kecilan dalam kelompok yang lebih kecil. Hal ini muncul dari kebutuhan terhadap ruang untuk melepaskan emosi dengan aman, mencari validasi dan dukungan, melakukan refleksi diri, dan mengambil tanggungjawab pribadi tanpa terus-menerus merasa perlu bersikap defensif di dunia yang patriarkis dan bias gender. Kami ingin memprioritaskan istirahat dalam sistem yang terus-menerus melelahkan kami. Kami percaya bahwa kepedulian kolektif dapat memutus siklus trauma. Kita berharap dapat sembuh dan bertumbuh, agar kita tidak menyakiti orang-orang di sekitar kita secara tidak sengaja. Kami berhak mendapatkan hiburan, kami akan memelihara kelangsungan hidup.
Derek Tumala (lahir 1986, Manila, Filipina) adalah seorang seniman visual yang bekerja dengan teknologi baru, gambar bergerak, bahan dan objek industri. Praktik berkeseniannya berkutat pada ranah sains dan alam, merenungkan gagasan saling terhubung antara dua ranah tersebut. Dengan membentuk sebuah ekologi dan sistem pemikiran, Tumala melihat persamaan hubungan antara manusia dan lingkungan buatan maupun dengan lingkungan alaminya. Tumala mengkaji dan memahami bagaimana dunia bekerja lewat penelusuran mendalam terhadap kenyataan sebagai materi untuk karyanya. Karya seni Tumala telah dipresentasikan di Art Basel Hong Kong, Museum of Contemporary Art and Design-Manila, Formosa Art Fair Taiwan, Georgetown Festival, Malaysia, FLAME HK Video Art Fair, Asia Art Awards Tokyo, ASEAN Exhibition, Korea Selatan. Dia juga telah memamerkan karyanya di Cultural Center of the Philippines, UP Vargas Museum, dan Art Fair Philippines. Dia pernah menjadi Seniman Residensi di Observatorium Manila, Delfina Foundation di London, Inggris, Fellowship Apexart di New York City, Amerika Serikat, Seminar Global Salzburg di Austria, Residensi Beyond Time di Polandia, dan Residensi Flash di Bellas Artes Projects, Filipina. Dia mendapatkan penghargaan untuk karyanya Sacred Geometry di Ateneo Art Awards 2015 di Manila, Filipina. Dia juga bagian dari STEAM/Projects, sebuah kolektif seniman yang bekerja lewat pertemuan seni dan sains.
Karya-karya Derek Tumala dalam Biennale Jogja 17 merupakan reformulasi dan penajaman dari proyek yang telah cukup lama ia kerjakan, terutama selama masa pandemi, yang menelisik bagaimana perubahan bumi dan iklim memberi pengaruh besar dalam konteks anatomi tumbuhan pangan dan mendorong redefinisi industri pertanian secara luas. Proyek Tropical Climate Forensic dari Derek Tumala secara mendalam mengamati data-data yang berkaitan dengan atmosfer dan situasi bumi, untuk memberikan pemahaman bagaimana krisis iklim berkembang dan alam berubah. Apalagi Filipina berada dalam garis khatulistiwa dan dilintasi cincin api, dengan banyaknya gunung api dan aktivitas seismik karena letaknya yang dekat dengan Samudra Pasifik.
Dalam konteks Filipina sendiri, atau Asia Tenggara secara khusus, kebijakan intensifikasi beras sebagai pangan pokok menjadi bagian dari politik ekonomi kapitalistik yang melihat beras semata-mata sebagai komoditas. Di Filipina didirikan pusat penelitian dan pengembangan beras yang skala besar, yang pada 1980-an menandai kerja sama pertanian regional yang memiliki peran penting. Selama residensinya di Manila Observatory, Derek fokus pada bagaimana perubahan iklim mempengaruhi proses prediksi cuaca dan cara membaca tanda alam, yang di masa lalu sangat penting bagi para petani.
Foto-foto yang dikumpulkan oleh Derek Tumala merupakan arsip dari narasi yang saling terkait antara iklim, perubahan lanskap dan politik pangan, khususnya beras. Dengan melihat lintasan sejarah, pengunjung (terutama di sekitar Kawasan Lohjinawi) diundang untuk memanggil memori kolektif tentang proses pengolahan lahan dan bagaimana cara membaca cuaca menjadi pijakan penting bagi teknologi tani dan pangan.
Dipak Lama adalah seniman visual dan pendiri Aakar Kalaghar yang berbasis di Kathmandu. Ia lulus dari Kathmandu University School of Arts, Center for Art and Design. Praktik seninya mencakup lukisan, patung, instalasi dan penjelajahannya atas patung dan material sangatlah luas. Karakter khas dari karyanya adalah ukuran yang besar dengan keseimbangan atas bentuk dan ruang. Ia mendapat anugerah khusus dalam Contemporary Sculpture in National Exhibition 2019 yang diselenggarakan oleh Nepal Academy of Fine Arts. Ia telah berpartisipasi dalam banyak pameran, lokakarya, proyek seni, festival, di antaranya Kathmandu International Photo Festival edition 2015, 2016 and 2018 sebagai koordinator produksi. Baru-baru ini menjadi Direktur Produksi Kathmandu Triennale 2077, Festival Seni Internasional di Kathmandu. Sekarang tengah menjalani program residensi untuk Waste to Art Project phase-II di Sagarmatha Next Centre yang diorganisir oleh Saraf Foundation. Selain praktik seni, ia juga bekerja sebagai konsultan produksi
untuk beberapa proyek berkaitan dengan seni.
Shreeti Prajapati adalah seniman visual yang tinggal di Kathmandu. Perjalanan seninya dimulai dengan menangkap objek-objek keseharian dan menemukan
ruang dalam catatannya. Seiring tumbuhnya minat seni, ia menemukan keterhubungan antara orang dan ruang, yang menginspirasinya untuk menciptakan narasi visual dan seni yang bisa menembus batas. Shreeti bekerja dengan beragam medium, membuatnya dengan mudah menciptakan karya di mana pun, baik di atas meja, di atas tikar atau bahkan dibawanya ke dalam tas. Karyanya bertujuan untuk menceritakan kisah dari beragam lanskap identitas dan eksistensi, menumbuhkan relasi dan emosi personal pada penonton. Ia mengeksplorasi hubungan yang rumit antara ruang, masyarakat, dan narasi yang merekatkan mereka.
Atas perkenan Seniman
Kedua seniman ini memanfaatkan hubungan keluarga mereka dengan pertanian untuk mengeksplorasi dinamika antara produksi pangan dan hubungan masyarakat. Pengetahuan masyarakat adat mengenai pertanian sering kali diturunkan melalui proses pedagogi yang diwujudkan di mana seseorang perlu merasakan dan mengenali tanaman sepanjang siklus hidupnya agar dapat memahami apa yang harus dilakukan; secara bersamaan, sosok ibu di dalam keluarga memainkan peran penting dalam proses pedagogi tersebut. Pertanian dengan demikian merupakan kegiatan yang mempertemukan manusia melalui kegembiraan, nyanyian, tarian, dan pesta. Pengunjung diajak berinteraksi dengan butiran beras terakota, menyentuh, menyebarkan, dan membentuk pola; dan dengan melakukan hal tersebut, mereka mengeksplorasi pemahaman mereka mengenai tradisi yang membentuk apa yang kita konsumsi.
Dwi Putra Mulyono Jati, atau biasa disapa dengan panggilan Pak Wi. Lahir di Yogyakarta pada 10 Oktober 1963. Saat kelas 3 Sekolah Dasar, Pak Wi kecil mengalami hambatan pendengaran. Karenanya proses belajar menjadi terganggu. Ia tidak naik kelas dan harus mengulang. Ternyata di tahun berikutnya, ia tidak naik kelas lagi. Pihak sekolah menyarankan agar Pak Wi berpindah ke Sekolah Luar Biasa (SLB) khusus tuli.
Pak Wi, dengan segala kondisi yang menyertai, bukan tak bisa apa-apa. Dia mulai berkarya sejak 36 tahun usianya. Ratusan karya telah dibuatnya sejak tahun 2000 dengan menggunakan cat warna, kanvas, dan berbagai media digunakan sebagai bahan melukisnya. Sedari batu arang, tanah liat yang dibentuk dan ditempel pada papan dan diwarnai, juga kertas dengan berbagai bahan pewarna lain.
Dwi Putro Mulyono atau akrab disapa dengan Pak Wi memulai kerja visualnya sebagai bagian dari upaya merawat dirinya sebagai seorang difabel mental. Pak Wi menuangkan energinya untuk menggambarkan fantasi-fantasi bawah sadar yang terlintas sekejap, serta merekam ingatan visual yang dimaknai dengan caranya sendiri. Ia memberi perhatian pada anatomi objek-objek, yang digambarnya secara intensif, yang sering mencapai ratusan tiap jenisnya.
Sepanjang 2023, Pak Wi memulai seri menggambar wayang, misalnya gambar wayang cina yang menjadi cara khas asimilasi budaya dari pendatang di Nusantara. Untuk Biennale Jogja 17, Pak Wi menggambarkan tokoh-tokoh wayang perempuan, dimulai dari Cangik dan Limbuk, dua tokoh yang sering dianggap sebagai representasi pelayan tetapi perannya cukup sentral dalam cerita wayang Jawa. Dari sini, Pak Wi juga menggambar tokoh perempuan wayang yang lain, mulai Drupadi, Srikandi, dan sebagainya. Pak wi menafsir kekuatan para perempuan ini melalui goresan dan gradasi warna, menyampaikan apa yang terpendam dalam pikirannya yang mengembara.
Eduard Constantin adalah seorang seniman dan desainer yang berbasis di Bucharest, Romania. Ia bekerja dengan berbagai media, dan banyak proyeknya memiliki karakter yang fokus pada prosesi, berkembang sebagai seri dalam periode waktu yang berbeda. Beberapa proyek terbarunya termasuk: 8 million (2022-in progress), karya jangka panjang yang merenungkan jumlah kuda yang mati selama Perang Dunia I; All Inclusive (2021-in progress), serangkaian lukisan cat air yang menggambarkan adegan dari kota-kota di mana realitas berbeda hidup berdampingan; Passers-by with no Shadow (2020-in progress), serangkaian lukisan cat air yang direalisasikan selama keadaan darurat yang disebabkan oleh pandemi virus corona; The Last (2019-in progress), serangkaian gambar spesies yang punah, dicatat sejak tahun 1977, tahun kelahirannya; Resurfaced (2020-in progress), kembali melihat spesies yang punah tetapi muncul kembali, dan The First (2015-in progress), menampilkan orang, objek, atau situasi dalam proses membuat monumen setempat dan yang dianggap penting bagi kehidupan dan praktik berkeseniannya. Dia adalah anggota-pendiri, sejak tahun 2021, dari Experimental Station for Research on Art and Life, proyek kolektif yang terletak di desa di dekat Bucharest. Dia adalah anggota Association of Artists of Malmaison Studios. Sejak didirikan pada tahun 2012, ia telah bekerja sebagai desainer grafis dan pameran dengan tranzit.ro Association. Pada tahun 2003, ia adalah salah satu pendiri e-cart.ro, media situs web seni kontemporer.
Konstruksi bambu
Berkolaborasi dengan Hutomo Syaputra
Eduard Constantin adalah seorang seniman dan desainer. Ia bekerja dengan berbagai media dan banyak proyeknya yang bersifat prosesual, berkembang sebagai rangkaian pada periode waktu yang berbeda. Ia juga merupakan anggota aktif dalam membangun dan mengembangkan The Experimental Station for Research di Siliștea Snagovului di dekat Bucharest. Selama singgah di Bangungjiwo, ia mendalami material lokal dan mengamati aktivitas sehari-hari masyarakat desa setempat. Pelindung. Shelter from the Sun merupakan konstruksi bergerak yang terbuat dari bahan ringan, yang dapat menemani pekerja di lapangan, trekker di hutan, atau seniman yang bekerja di alam terbuka. Dapat diwujudkan dari bahan lokal, mudah dicari, ditekuk dan dirakit. Ini memberikan perlindungan dari sinar matahari, tempat untuk menyandarkan tubuh yang lelah, atau titik observasi. Ini adalah tempat tidur dan bangku, payung dan gazebo. Dapat dibawa ke mana pun diperlukan, dan juga dapat memberikan keteduhan bagi anak yang sedang tidur atau kucing yang bersembunyi.
Ela Mutiara Jaya Waluya adalah koreografer dan penari asal Sukabumi, Jawa Barat. Menyelesaikan pendidikan di Pascasarjana Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Pengalaman berkesenian di antaranya residensi Shadow Light Production; penerima hibah Jagongan Wagen (2019); penari 12 jam Isola Menari ke-9; Dance of Light (Multidisciplinary art project); Seniman Mengajar 2018; asisten koreografer Festival Tiga Gunung di Lembata, NTT; Jerukwudel Art Festival; Nanaria Festival di Bondowoso; Artjog; Paradance; seniman kolaboratif gugus bagong 2020; residensi Bodies of Care Dokumentari 03 2021; pameran Bodies of Care Salihara 2021; penerima Hibah Danakitri Sukabumi Creative Hub 2021; koreografer terpilih West Java Contemporary Dance Festival 2021; kolaborator bersama Minori Sumiyoshiyama IDF 2021 Layar Terkembang; Asana Bina Seni Biennale Jogja 2022; Temu Koreografer Indonesia Bertutur (Bali) 2022 dan lain-lain.
Video dua saluran, suara, instalasi objek-jadi
Karya ini membentang kesenian Bajidoran tidak hanya sebagai media hiburan dan ekspresi artistik yang tumbuh di lingkungan rakyat kelas menengah ke bawah, tetapi juga bagaimana penari perempuan menjadi subjek yang menjalankan agensi kultural dan politik dalam menawar ketimpangan relasi gender, terutama antara penari perempuan dengan penontonnya yang mayoritas laki-laki.
Ela Mutiara membangun narasi perempuan dengan memasuki koreografi Bajidoran yang bertumpu pada gerakan pinggul dan dada untuk melihat bagaimana sensualitas justru menjadi kekuatan untuk menantang paradigma patriarkis dalam kehidupan sosial sehari-hari.
Endang Lestari menempuh pendidikan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Selain sebagai seniman dan dosen tamu, ia juga menjalankan Program ArsKala sejak 2014. Sebagian besar karyanya mengacu pada objek dan tokoh dalam berbagai konteks naratif melalui media dan teknik yang berbeda, karya dua dimensi, hingga instalasi media baru. Ketertarikannya pada pengalaman bawah sadar dan hubungannya dengan konteks alam, sejarah, dan memori membawa bentuk intertekstual pada karyanya.
Tari telah berpartisipasi dalam beberapa pameran dan residensi di Indonesia dan luar negeri, serta delapan kali menyelenggarakan pameran tunggal, beberapa pamerannya: Endless: Me and Other di Liechtenstein Triennale dan lokakarya keramik Kunstschule Liechtenstein, Swiss dan Austria (2021). Pameran tunggal Electralogy, Shigaraki, Jepang (2011). Berpartisipasi dalam Jakarta Contemporary Ceramic Biennale (2009 dan 2011), dan finalis Bandung Contemporary Art Awards (2010). Menampilkan karya instalasi keramik dan video mapping pada Rainforest Fringe Festival, The Forgotten Forest, Old Court House, Kuching, Malaysia (2017). Karya-karyanya Conversation in Silence, City Lost in Words, dan Forbidden to Tread on the Grass, bagian dari ulasan penelitian dan sebagai sampul buku dalam Gendered Wars, Gendered Memories, seri buku Europe and Beyond, Ashgate, terbitan Routledge grup London dan New York (2016).
Keramik, Foto Proyektor, Tali, Pasir, dan Cermin
Variabel Dimensi
Dalam seri karya terbarunya untuk BJ-17 Tari menghadirkan Instalasi keramik yang mengangkat kisah tentang pelabuhan, mobilitasnya antara Aceh- Jogja dalam konteks Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki sejarah jalur rempah dan pengaruhnya terhadap pembentukan tatanan modern dan bagaimana nilai tradisi terus bernegosiasi dalam memberi proses pertukaran kerangka pemahaman yang terus terjadi sampai sekarang. Tari menggunakan pengait/pengikat tali kapal yang dibuat dari keramik sebagai metafor daratan dari sebuah pelayaran kapal datang dan pergi dalam bentuk instalasi yang diberi goresan dan gambar tentang rempah aceh, dan teks yang tumpang tindih pada setiap sisi keramik. Caranya berkarya banyak dipengaruhi oleh bagaimana penyair berkarya melalui bahasa rupa, dalam hal ini keramik dan multimedia sebagai pokok perhatiannya, Tari menata karyanya sebagai sebuah performativitas, mengolah objek, membuat garis, gambar, tekstur dalam tahapan dan rangkaian puisi rupa.
Tembikar/ tanah liat terakota, tanah, kayu, batu
Dimensi Variabel
Karya ini ditempatkan di sebuah Joglo di area Joning Art Space (Jomblang Kemuning) yang terletak di perbatasan kelurahan Bangunjiwo dan Pendowoharjo, tepatnya di barat daya desa wisata Kasongan, penggunaan material tanah liat terakota yang biasa digunakan masyarakat kasongan untuk membuat gerabah, dihadirkan dalam bentuk bulat beraneka rupa, dalam kondisi tidak terbakar untuk mendapatkan reaksi tanah terhadap kondisi cuaca dan alam, bahkan perilaku manusia, audiens akan diajak berinteraksi merespon dan juga membuat karyanya sendiri dan dapat diletakkan bersama karya yang sudah tertata untuk merasakan langsung tekstur tanah dan keterlibatan dalam laku format pola mandala yang disusun berpusat dan melingkar. Dan merasa pulang kembali ke tanah.
Catatan: Argilla bahasa latin dari tanah liat.
Erub Erwer Meta (Darnley Island Arts Centre) bekerja untuk merevitalisasi kebudayaan tradisional Erube Le dan membaginya pada khalayak luas di seluruh dunia. Erub, atau dikenal sebagai Darnley Island, adalah salah satu komunitas paling terpencil di Australia, terletak di Timur Laut Cape York wilayah Queensland. Pulau indah ini dipengaruhi konteks gunung berapi, berada di tengah laut indah berwarna tosca, di area karang laut the Great Barrier, dan penghuninya hanya 400 orang saja.
Sanggar ini terutama menghasilkan karya keramik dengan teknik tungku buatan tangan, karya grafis, karya dengan kertas selain perhiasan, tekstil, sulam dan ornamen tari yang mereka ciptakan sendiri. Erub Erwer Meta juga membawa komunitasnya untuk memanfaatkan teknologi dan infrastruktur informasi untuk membuat aktivitas penyiaran, musik, performans dan sebagainya. Kerja ini sudah dimulai 20 tahun lalu ketika mereka masih bernama Ekkilau, dan sejak awal terbuka dengan berbagai bentuk seni.
Dikenal secara internasional karena karya tenun Ghost Net, para seniman di pusat ini mengambil inspirasi dari lautan dan terumbu karang di sekitarnya. Pada karya Ghost Net, keramik, sablon, potongan lino dan gambar di atas kertas disimpan dalam koleksi Internasional dan Nasional.
Fazal Rizvi (lahir 1987) adalah seniman lintas disiplin berbasis di Karachi, Pakistan. Ketertarikannya berulang di antara yang personal, sosial dan politis. Fazal menghabiskan bertahun-tahun merefleksikan ketegangan materialitas dan immaterialitas, atas laut dan batasnya. Ia juga acap kembali pada hal personal yang tampak dekat sebagai titik pijak. Fazal lulus sekolah seni National College of Arts, Lahore, pada 2010. Pada 2020-2021, ia mengikuti program residensi di Jan van Eyck Academie, Maastricht, Belanda. Ia juga berpartisipasi dalam program residensi di Arcus Studios, Japan, pada 2011 dan menerima Charles Wallace Pakistan Trust award untuk melakukan residensi di Gasworks Studios residency, London, pada 2014. Ia juga menjadi penerima Pro Helvetia New Delhi untuk melakukan residensi di Zurich, 2020. Fazal juga menjadi bagian dari The Tentative Collective. Dengan pendekatan lintas disiplin, mulai dari gambar, video, teks, dan bunyi, Fazal telah berpameran di berbagai tempat di Pakistan, juga di India, Sri Lanka, Jerman, UK, Australia, Rusia, Jepang, dan Polandia.
Cetak digital dengan bahan arsip, gambar di atas kertas
Tracing Trails, merujuk pada serangkaian peta yang dibuat pada masa Kolonial Inggris di Asia Selatan. Dalam proses bekerja dengan berbagai peta ini dan melihatnya lebih dekat, menjadi jelas bahwa penandaan dan detail daerah pegunungan yang membentang di wilayah tersebut (dari Kashmir hingga Assam), menjadi lebih rinci dan lebih terpantau dari waktu ke waktu. Bagian wilayah tersebut memiliki medan yang sulit diatur, sehingga banyak tempat, etnis, bahasa, dan budaya di wilayah tersebut yang terisolasi dan/atau memiliki akses terbatas, serta membatasi hubungan dan pergerakan mereka dengan dunia luar. Apa yang terjadi jika medan ini diukur, dicatat, dan dijiplak di atas kertas? Dapatkah menelusuri kembali langkah-langkah ini menjadi cara untuk membuat pandangan, keinginan, dan kekerasan yang melekat di dalamnya terlihat?
Fitri adalah pekerja seni dari Yogyakarta. Selain itu, ia adalah seorang perupa yang menggunakan teknik seni grafis (seperti ukiran kayu dan etsa) untuk mengutarakan kritik dan berdialog mengenai isu-isu sosial dan lingkungan. Fitri berkomitmen untuk mengedepankan isu-isu seputar perempuan melalui seni dan musik, serta secara konsisten menjadi suara perempuan yang lantang di tengah budaya yang sangat patriarkis. Fitri adalah anggota komunitas SURVIVE! Garage, kolektif seni Taring Padi, dan vokalis grup band Dendang Kampungan. Aktivismenya mencakup keterlibatan langsung dalam advokasi dan gerakan politik bersama para petani, komunitas perempuan, buruh, dan kelompok-kelompok marginal lainnya.
Fitri DK aktif terlibat dalam berbagai pameran baik di Indonesia maupun luar negeri, termasuk di antaranya Jogja Arts Festival, Pameran Nandur Srawung di Yogyakarta, Balai Seni Negara Kuala Lumpur Malaysia, Framer Framed di Amsterdam (Belanda), 16 Albermale Australia, dan lain-lain.
Instalasi kain tenun stagen, batik, keranjang bambu dan gerabah
Dimensi Varibel
Karya Fitri DK untuk Biennale Jogja 17 merupakan refleksi dari kerjanya bersama Wadon Wadas, sebuah bagian penting dari perlawanan rakyat Wadas, Purworejo, terhadap pembangunan tambang batu di wilayah mereka. Para seniman dan aktivis selama beberapa tahun mendukung perjuangan warga untuk menolak pembangunan. Perempuan menjadi garda depan perlawanan ini melalui kerja-kerja pengetahuan dan penciptaan, membawa tindak domestik sebagai aksi politik.
Selama masa resistensi terhadap aparat militer, perempuan desa Wadas menganyam keranjang bambu untuk mengamankan desa, menjaga posko perlawanan ketika orang asing datang. Dalam kerja kolektif menganyam, para perempuan membawa kriya bambu menjadi simbol perlawanan. Selain itu, Wadon Wadas juga menggunakan stagen (bagian dari tata pakaian tradisional perempuan Jawa) untuk menutup pohon-pohon agar tidak ditebang demi pembangunan tambang. Fitri meminjam simbolisme stagen sebagai penekanan terhadap bagaimana para perempuan menggunakan tubuh mereka sebagai upaya mempertahankan kelestarian lingkungan, menjaga sumber kehidupan dan melawan dampak percepatan pembangunan yang tidak berpihak kepada kemanusiaan. Menganyam kemudian memberi aspek puitik dan politik pada perlawanan warga.
Komunitas Gubuak Kopi adalah sebuah kelompok belajar seni dan media yang berbasis di Kota Solok, Sumatera Barat. Kelompok ini berdiri pada tahun 2011. Kelompok ini juga berkembangan menjadi lembaga budaya nirlaba, berfokus pada pengembangan pengetahuan seni dan media berbasis komunitas di lingkup lokal Sumatera Barat. Komunitas Gubuak Kopi memproduksi dan mendistribusikan pengetahuan literasi media melalui praktik artistik, mengorganisir kolaborasi antara profesional (seniman, penulis, dan peneliti) dan warga, mengembangkan media lokal dan sistem pengarsipan sederhana, serta membangun ruang alternatif bagi peningkatan kapasitas anak muda di Solok, Rumah Tamera.
Sejak tahun 2017, Komunitas Gubuak Kopi fokus mengembangkan platform Daur Subur, sebuah studi mengenai kebudayaan yang berkembang pada masyarakat pertanian Sumatera Barat. Studi ini menggali narasi tentang sejarah dan nilai-nilai kearifan lokal untuk melihat persoalan yang berkembang hari ini di Solok, dengan tetap sadar akan perkembangan situasi sosial, ekonomi, politik, dan dan perkembangan kekiniannya. Platform ini bekerja melibatkan partisipan dari beragam disiplin ilmu dan komunitas, serta melahirkan sejumlah proyek seni, buku, dan program-program turunan, seperti Lapuak-lapuak Dikajangi (LLD) yang berfokus pada pengembangan nilai-nilai pada medium baru yang dekat dengan warga, dan Kurun Niaga, yang berfokus pada pembacaan narasi kolonial dan sejarah perdagangan di Sumatera Barat melalui penelusuran arsip dan meresponsnya secara artistik untuk melihat persoalan hari ini.
Pada Biennale Jogja Equator 2023 ini, Pusako Tinggi Project menghadirkan sejumlah catatan penelusuran, kajian, dan rancangan pengembangan ide Pusako Tinggi, dalam merespon persoalan hari ini. Catatan tersebut dirangkum dari sejumlah penelusuran dan rangkaian diskusi terpimpin, yang dilakukan oleh Komunitas Gubuak Kopi bersama sejumlah tokoh sejak Juli 2023. Selain itu, presentasi ini juga menghadirkan draft rancangan proyek di masa mendatang, untuk diterapkan oleh Komunitas Gubuak Kopi sendiri maupun jejaring. Catatan dan draft tersebut terdiri atas catatan di atas kertas, pembesaran di atas kain, rekaman audio FGD, dan siaran petuah adat.
Güneş Terkol (1981, Ankara, Turki) lulus dari jurusan lukis di Fakultas Seni Rupa di Mimar Sinan University. Setelahnya ia menerima gelar master dalam bidang Seni dan Desain di Yıldız Technical University. Pada 2018, ia menamatkan formasi pedagogisnya di Mimar Sinan University. Menggunakan kain, teknik menjahit dan menyulam, bunyi dan gambar, Güneş mendiskusikan isu gender dalam karya-karyanya. Güneş percaya pada pentingnya kerja kolektif dan upaya bersama untuk meraih tujuan, dan karenanya ia banyak menggunakan metode kolektif melalui lokakarya di berbagai negara dan kota, berangkat dari imajinasi dan realitas dari para partisipan. Sejak 2005, Güneş selain menciptakan karya individual, juga menjadi bagian dari collective Ha Za Vu Zu, serta bermusik bersama grup GuGuOu.
Spanduk tekstil/Textile banner
300x250 cm
Berkolaborasi dengan anggota dari/In collaboration with members of Desa Prima, Panggungharjo, Bantul: Arum Kurniawati, Dian Jati, Eka Teguh Ariani, Haryanti, Heni Kurniawati, Marji Asih, Ratna Widya, Retno Kustiani, Sarjimah, Sartini, Siti Mulyani, Suciningtyas, Tri Marwati, Tumiyah, Wahyu Riskidha, Wiji Wahyuti, Yuli Supatmi
Fasilitator/Facilitators: Bening Gupita Esti and Dian Aprilianti
Dalam praktiknya, Güneş menggunakan kain, jahitan, suara, dan menggambar untuk menangani isu-isu seputar gender. Percaya akan pentingnya kolektif dan bersatu dalam tujuan yang sama, sang seniman telah menghasilkan karya kolektif dalam lokakarya di berbagai negara dan kota, serta berangkat dari realitas dan imajinasi sehari-hari para peserta sebagai inspirasi.
Spanduk tekstil Harapan Puan diproduksi secara kolaboratif dengan anggota Desa Prima (Perempuan Indonesia Maju Mandiri) dari Panggungharjo, Bantul sepanjang bulan September. Desa Prima merupakan salah satu program yang dilaksanakan di Panggungharjo sejak tahun 2019 sebagai bagian dari program nasional. Hal ini membantu perempuan mengembangkan usaha kecil mereka yang berangkat dari isu bahwa sebagian besar permasalahan gender di ruang domestik terjadi karena tantangan ekonomi. Desa Prima di Panggungharjo melibatkan sekitar 30 perempuan dan fokus pada pemberdayaan keuangan pada situasi kritis atau rentan agar perempuan dapat tampil lebih baik di panggung sosial dan politik.
Ibro Hasanović adalah seniman dan sutradara film dari Bosnia/Perancis. Ia lahir pada 1981 in Ljubovija, Yugoslavia. Ibro belajar produk desain di Academy of Fine Arts di Sarajevo dan subjek contemporary art and cinema di Le Fresnoy–Studio National des Arts Contemporains di Prancis. Karya-karyanya–film, video, fotografi dan instalasi dibentuk melalui relasi antara yang politis dan yang puitis, berbicara tentang isu sejarah, memori kolektif dan arsip personal.
Karya-karyanya telah dipamerkan di MAXXI–Museo nazionale delle arti del XXI secolo (Rome), KADIST Foundation (Paris), Kunstverein in Hamburg, ARGOS Centre for Audiovisual Arts (Brussels), MOMus– Experimental Center for the Arts (Thessaloniki), Moderna galerija MG+MSUM (Ljubljana), Museum of Modern and Contemporary Art Rijeka (Croatia), Carré d’ArtMusée d’art contemporain de Nîmes (France), Museum of Contemporary Art Zagreb (Croatia), Museum of Contemporary Art Skopje (North Macedonia), Guangdong Museum of Art (China), Casino Luxembourg–Forum d’art contemporain, Pera Museum (Istanbul), MUSA Museum Startgalerie Artothek (Vienna), Austrian Cultural Forum (New York), Munchner Stadtmuseum (Munich), Garage Museum of Contemporary Art (Moscow), Le 116 Centre d’Art Contemporain de Montreuil; National Gallery of Kosovo (Pristina), Kunsthalle Wien (Vienna), Künstlerhaus– Halle für Kunst & Medien (Graz), Villa Romana (Florence), 52nd October Salon (Belgrade), City Museum of Ljubljana, Galleria d’Arte Moderna Palazzo Forti, (Verona), Washington Project for the Arts dan lain sebagainya.
Film dan karya videonya diputar di Les Rencontres du Cinéma Documentaire à Montreuil, États généraux du film documentaire de Lussas, CineMigrante International Film Festival (Buenos Aires), DokuFest-International Documentary and Short Film Festival (Prizren), HRAFFHuman Rights Arts and Film Festival (Melbourne), Glasgow Short Film Festival, 11. Pravo Ljudski Film Festival (Sarajevo), 22nd Encounters Short Film & Animation Festival (Bristol), 29th Helsinki International Film Festival, 32nd Hamburg International Short Film Festival, Brussels Short Film Festival, Centre Georges Pompidou (Paris) dan lainnya. Sekarang ia bekerja dan tinggal di Paris.
Diproduksi bekerja sama dengan Galeri SIZ dan Program Residensi Kamov, Rijeka
Didukung oleh The City of Rijeka-Department of Culture, Primorsko-goranska County, Ministry of Culture of the Republic of Croatia
Gambar: Srđan Kovačević
Penyuntingan: Pauline Piris-Nury
Suara: Èlg
Koordinator Produksi: Nemanja Cvijanović
Asisten Produksi: Romano Perić
Info Teknis
Format pengambilan gambar: HD
Format pemutaran: HDCAM / Blu-ray
Durasi: 7 menit 30 detik
Warna: Yes
Rasio pemutaran: 16:9
FPS: 25
Suara: Stereo
Tanggal produksi: 9 December 2012
Spectre adalah meditasi tentang pembusukan dan kematian; tentang cara ingatan menghantui dan memengaruhi masa kini. Film ini diambil di Kapal Pesiar Angkatan Laut Yugoslavia Galeb yang digunakan Josip Broz Tito untuk pesta, kunjungan luar negeri, dan diplomasi. Kapal persiar yang dulunya merupakan simbol glamor sejarah Yugoslavia tersebut, kini ditinggalkan di galangan kapal.
Ilona Németh adalah seniman visual, aktivis, kurator dan profesor. Ia telah berpameran di kancah lokal dan internasional. Ia memimpin studio IN dan sepanjang 2014-2019 juga menjalankan program edukasi internasional Open Studio di Department of Intermedia, University of Bratislava di Bratislava, Slovakia. Sejak 2021, dia menjadi profesor STU Bratislava dalam lingkup Fakultas Arsitektur dan Desain. Pada 2018-2021, dia memulai kerja sebagai Direktur Artistik pada pameran internasional dan proyek riset Eastern Sugar dengan dukungan Creative Europe program. Dari riset itu ia menyelenggarakan pameran tunggal dengan judul yang sama di Kunsthalle Bratislava pada 2018 yang bekerja sama dengan Slovak National Gallery. Pada 2022, ia mempresentasikan karyanya dalam documenta fifteen di Kassel dan juga menyelenggarakan pameran tunggal di Trafo Gallery di Budapest. Karya instalasi permanennya Grandstand diresmikan di ruang publik di Hohenau, Austria pada September 2022. Pada 2023, ia berpartisipasi dalam 35th Ljubljana Biennale of Graphic Arts, Survival Kit 14 di Riga, dan Biennale Jogja di Yogyakarta, Indonesia.
Instalasi situs-spesifik, 2023
Bagian video: in cooperation with Martina Slováková-Cukru Production
Dimensi Variabel
Atas perkenan Seniman
Penelitian pabrik gula di Jawa berkolaborasi dengan Mahesti Hasanah
Videos:
Interview with Christian Laur, 2018
Anggota Dewan/Member of the Board of Eastern Sugar between 1993–2000, Bratislava
Video satu saluran dengan suara, 16 menit 38 detik/Single channel video with sound, 16’ 38”
Interview with Dušan Janíček, 2017
Direktur Hubungan Eksternal di Slovenské cukrovary, s.r.o. Sereď, AGRANA Group
2017, Sereď
Video berwarna satu saluran dengan suara 14 menit 46 detik
Video essays:
Diószeg / Sládkovičovo Sugar Factory (1867-1999), Slovakia, 2021
Video satu saluran, tanpa suara, 5 menit 7 detik
Dunajská Streda Sugar Factory (1969-2006), Slovakia, 2018
Video satu saluran, tanpa suara, 52 detik
Oroszka / Pohronský Ruskov Sugar Factory (1893-1992), Slovakia, 2018
Video satu saluran, tanpa suara, 3 menit 15 detik
Kaba Sugar Factory (1979-2006), Hungary, 2021
Video satu saluran, tanpa suara, 4 menit 10 detik/Single channel video, silent, 4’ 10”
Removal of the EASTERN SUGAR sign from the former entrance of the sugar factory from the year 2002
Unveiling of the original JUHOCUKOR sugar factory sign from the 1970s
July 7, 2020, Dunajská Streda
3 menit 17 detik
Video satu saluran, tanpa suara
Video merupakan milik penuli
Emplacemet of the JUHOCUKOR / EASTERN SUGAR memorial on the municipal building in Dunajska Streda
January 11, 2022, Dunajská Streda
2 menit 17 detik
Video satu saluran, tanpa suara
Video merupakan milik penulis
Proyek riset ekspansif Eastern Sugar (2017-masih bergulir) dimulai dari cerita sebuah penggilingan gula di Cekoslovakia, Juhocukor (1969-2006) terletak di kampung halamannya, Dunajská Streda, dan berlanjut menjadi penelusuran tiga tahun dari 15 pabrik gula di Slovakia, Republik Ciko dan Hungaria. Ditemukan oleh perusahaan Austria pengembang gula bit, di Eropa Tengah dan Eropa Timur industri gula dikembangkan oleh dua monarki Austro-Hungaria dan kemudian didukung oleh Negara di bawah Cekoslovakia yang dijajah Soviet. Kejatuhan Uni Soviet dan perpecahan antara Ceko dan Republik Slovakia, privatisasi, kepemilikan asing dan pengurangan kuota produksi gula Uni Eropa yang membuat permasalahan baru.
Eastern Sugar adalah nama yang dipilih oleh Générale Sucrière dan Tate & Lyle sebagai nama perusahaan gabungan untuk mengakuisisi pabrik gula di seluruh Eropa Tengah setelah kejatuhan komunis tahun 1989. Mereka membeli enam pabrik di Eropa Tengah dan Eropa Timur, termasuk Juhocukor di Slovakia dan Kaba di Hungaria. Pada 2006, Komite Eropa memperkenalkan regulasi untuk mengurangi jumlah produksi gula di Uni Eropa setelah World Trade Organization membuat persetujuan untuk menguntungkan Australia, Brazil dan Thailand, karena ekspor gula melebihi jumlah yang diizinkan. Perusahaan menerima kompensasi setelah menerima peraturan kuota produksi pabrik lewat alokasi dana nasional Uni Eropa.
Instalasi tempatan khusus di Food Court Pabrik Gula Maduksimo fokus pada arsip sejarah naratif dan dokumentasi dari situs pabrik, bersama dengan pilihan wawancara video dan esai foto. Ini termasuk wawancara dengan mantan anggota dewan pembina Eastern Sugar 1993-2000, dan wawancara dengan Direktur Hubungan Eksternal Grup Agrana yang menjalankan pabrik Sered. Foto esai mempresentasikan reruntuhan dari bekas pabrik di Slovakia, yang digunakan dan dimiliki oleh perusahaan Eastern Company dan lainnya.
*Mahesti Hasanah adalah dosen di Jurusan Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM). Tesis S1-nya fokus pada industri gula di Mangkunegara pada masa penjajahan kolonial tahun 1870-1930, menggunakan pendekatan ekonomi politik.
Jasmina Cibic hidup dan berkarya di London. Ia berkarya dengan film, performans dan instalasi. Ia mewakili Slovenia pada the 55th Venice Biennial dengan proyeknya For Our Economy and Culture. Pameran terbarunya mencakup pameran tunggal di: Museum der Moderne Salzburg, The Highline New York, macLyon, Museum Sztuki Łódź, Museum of Contemporary Art Ljubljana, CCA Glasgow, Phi Foundation Montreal, BALTIC Centre for Contemporary Art Gateshead, Ludwig Museum Budapest, Kunstmuseen Krefeld juga pameran kelompok di MAXXI Rome, Steirischer Herbst ‘19, MoMA di New York, Marta Herford, dan Guangdong Museum of Art China.
Film-film karya Jasmina Cibic telah diputar di Barbican London, Whitechapel Gallery, CCA Montreal, Pula Film Festival, HKW Berlin, Louvre, Les Rencontres Internationales Paris, Aesthetica, Berwick Film and Media Arts Festival, BFI London Film Festival, Dokfest Kassel and Copenhagen International Documentary Festival. Ia memenangi MAC International Ulster Bank and Charlottenborg Fonden awards (2016), the B3 Biennial of the Moving Image Award (2020) dan Film London Jarman Award (2021).
Cibic menjelajahi keterkaitan antara kuasa negara, budaya, dan konstruksi gender. Ia memeriksa mekanisme kekuatan lunak–instrumentalisasi budaya melalui kekuatan politik–selama periode krisis ideologi dan sosial yang bersejarah. Melalui penelitian arsip, Cibic mencari karya-karya, arsitektur, dan musik yang menunjukkan ketertarikan politik dan retorika kekuasaan nasional. Ia menerjemahkan penelitiannya menjadi film dan komposisi teatrikal yang imersif yang mencakup foto, performans, dan instalasi.
Beacons, 2023
Instalasi video saluran tunggal, warna/suara, 23 menit
Atas perkenan Seniman
Beacons menyajikan perjalanan sinematografi yang mengikuti delapan perempuan yang menciptakan terjemahan sonik dan koreografis dari pidato-pidato yang disampaikan pada konferensi pertama para pekerja budaya dari negara-negara Gerakan Non-Blok, yang diadakan di Titograd, Yugoslavia, pada tahun 1985. Pesertanya mencakup seniman, kurator, dan diplomasi budaya dari seluruh dunia Selatan, Timur Tengah, Asia Tenggara, dan bekas Yugoslavia. Difilmkan dengan latar belakang arsitektur terpencil yang menyatu dengan alam, yang pernah menjadi katalisator solidaritas transnasional, film ini bertujuan untuk memasukkan kembali suara perempuan yang hilang ke dalam narasi sejarah pembangunan dunia.
Sejak 2013, Jelica Jovanović menjadi mahasiswa doktoral di University of Technology in Vienna, Institute for Art History, Archaeology and Restoration. Lulus dari Fakultas Arsitektur University of Belgrade. Ia mendirikan Docomomo Serbia, dan aktif sebagai sekretaris, editor situs web, serta koordinator digitalisasi. Selain itu, Jelica juga mendirikan organisasi Grupa arhitekata. Pernah mengikuti pelatihan di Getty Conservation Institute (GCI), Cultural Heritage without Borders (CHwB), Central Institute of Conservation of Serbia, Center for Earth Architecture, Belgrade Open School. Jelica menjadi kolaborator untuk berbagai institusi perlindungan warisan budaya di Serbia. Menjadi peneliti untuk Austria’s Agency for Education and Internationalisation (ÖEAD) & World University Service (WUS), Slovak Academic Information Agency (SAIA). Berpengalaman sebagai koordinator proyek Unfinished Modernisations: Between Utopia and Pragmatism, 2010-2012, (EACEA, Culture 2007-2013), (In)appropriate Monuments. Pernah menjadi asisten kurator di Museum of Modern Art in New York (MoMA) untuk pameran Toward a Concrete Utopia: Architecture in Yugoslavia 1948–1980. Menulis buku bersama penulis lain dalam Arhiva modernizma.
Jogja Disability Arts bergerak pada bidang seni dan budaya, yang berfokus kepada disabilitas pelaku seni dengan mewujudkan partisipasi penuh dan kesamaan kesempatan disabilitas dalam bidang seni budaya di tingkat nasional dan internasional. Juga, mengupayakan keterpaduan langkah, potensi disabilitas dalam rangka peningkatan kualitas, efektifitas, efisiensi, dan relevansi atas kemitraan yang saling menguntungkan dan bermartabat.
Pranata Mangsa, 2023
Mural di dinding
Pranata Mangsa sebagai salah satu cara Jogja Disability Arts menceritakan pengetahuan 12 musim dalam kalender jawa kepada generasi yang lebih muda. Dulu petani dapat mengelola sumber daya dengan baik lewat pengetahuan lokal tentang siklus ini. Namun setelah perubahan masif gaya hidup dan iklim global, menggunakan Pranata Mangsa untuk menjawab tantangan terkait ketahanan pangan dan potensi bencana alam sering dianggap tidak secanggih penggunaan sains modern. Meski begitu, kearifan dari generasi sebelum menjadi suar penuntun yang sangat berharga bagi generasi berikutnya dalam mengarungi lautan perubahan, untuk berani bereksplorasi ranah baru, namun tetap berlandas pada sejarah, budaya dan tradisi yang terekam dalam tubuh dan memorinya
Jompet (lahir 1976) mengawali perjalanan seninya sebagai seorang pemusik amatir. Pada rentang tahun 1997-1999 ia menghasilkan beberapa karya rekaman musik indie baik secara individu maupun kelompok. Sejak tahun 1998 ia tumbuh bersama dengan kolektif Teater Garasi yang memberikan pengaruh besar pada bahasa artistiknya. Setelah menyelesaikan studinya di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada di tahun 1999, ia mendalami seni kontemporer secara otodidak, suasana awal reformasi juga memberikan dorongan yang kuat bagi Jompet untuk menyelami kenyataan yang baru melalui bahasa seni. Saat ini Jompet bekerja dengan beragam medium seni seperti instalasi, video, suara, dan pertunjukan untuk membicarakan beragam tema seputar sejarah alternatif Indonesia yang merentang dari hantuhantu kolonialisme hingga nostalgia atas kediktatoran. Jompet telah memamerkan karyanya secara luas, di antaranya: Pameran tunggal di Tropenmuseum Amsterdam, 2014, Sherman Contemporary Art Foundation, Sydney, 2016, dan MAC’s Grand Hornu, Belgia. Serta pameran kelompok di antaranya: Sun Shower, Mori Art Museum, Tokyo, 2017; Sharjah Biennale 2019; Bangkok Art Biennale 2022. Di Tahun 2014 ia memenangkan penghargaan dari Prudential–Eye Award di Singapura dalam kategori seni instalasi.
Anno Domini, 2011
Instalasi
Koleksi dari Honus Tandiono
Karya ini adalah bagian seri karya Jompet yang melihat perubahan besar dalam politik dan kebudayaan Jawa pasca perang Jawa 1830. Dimulai dari sebuah kekalahan perang fisik, Jawa berubah menjadi medan pertarungan individu melawan raksasa ekonomi. Petani berebut lahan dengan mesin-mesin pengolah tanah, anak remaja menjadi kuli pabrik gula. Hutan berubah kota. Jurang dan gunung ditembus rel kereta. Waktu berjalan lebih cepat, merubah petani merdeka menjadi kuli yang lambat dan pemalas. Seri karya Jompet ini mencoba menelusuri jejak-jejak pertarungan tersebut yang ia yakini berlangsung hingga sekarang.
Hantu penabuh tambur itu seperti sebuah lonceng waktu yang membangunkan orang-orang dari tidur untuk memulai hari dengan mengingat roh orang-orang kalah yang tak tenang.
War of Java, do you remember? #2 (Raw Footage), 2008
Video satu saluran
09.30 menit
Video karya ini menampilkan seorang lelaki yang tengah berusaha keras menemukan dan mengendalikan dirinya dalam kepung deru mesin pabrik gula. Ia mencoba untuk terus terikat pada irama suara gong dan kenong yang mengetuk samar-samar di dalam kepalanya supaya tubuhnya menjadi jathilan yang membukakan mulut bagi roh-roh masa lalu yang tak tenang, roh-roh orang-orang kalah.
Pabrik gula adalah monumen paling gigantik dari kekalahan perang Jawa. Ia juga wajah paling rupawan dari mesin penghisap bernama tanam paksa. Jathilan adalah tubuh compang-camping yang tersungkur dan bangun, mencoba terus berlari mengejar waktu, terseok digelayuti ketidaktenangan masa lalu.
Kan Nathiwutthikun lulus dari jurusan interior dan arsitektur di KMITL, di mana selama tiga tahun ini mempelajari dasar-dasar gambar, lukis, cetak, dan patung. Dia selalu ingin belajar seni tetapi tidak diizinkan keluarganya. Pada 1987 sampai 2020, dia bekerja sebagai arsitek dan desainer interior, dan berupaya untuk memasukkan elemen seni dalam karyanya. Setelah lulus Ph.D di bidang tata kota, is memfokuskan diri pada desain ruang publik dan mendapatkan banyak penghargaan untuk perannya sebagai peneliti dan penulis yang berkait dengan pengetahuan lokal komunitas dan arsitektur, termasuk CDAST AWARD 2013 untuk dosen berprestasi bidang Perencanaan Kota; Thailand Thesis award 2012 untuk desain multiguna ruang publik; The Urban Design Award untuk mendorong paradigma baru dalam Ruang Publik, 2008 and 2006. Dia juga salah satu penulis buku The Urban Wisdom of Jane Jacobs.
Setelah 2016, ia mulai memasuki praktik dalam dunia seni. Dimulai dari lukisan dan projek seni, ia mulai membuat karya komisi untuk proyek interior. Ia juga memulai karir sebagai asisten bagi seniman Mit Jai Inn selama delapan tahun. Dengan keterampilan arsitektur dan rancangan pamerannya, Kan membawa karya-karya Mitt ke level yang berbeda, terutama terkait ruang dan interaksi dengan audiens. Perubahan ini terjadi pada seri tahun 2000an, dari instalasi di atas lantai menjadi instalasi dinding, dipamerkan dalam Sunshower: Contemporary Art From Southeast Asia 1980s to Now dan Mori Art Museum, Tokyo, 2017. Kemudian para pengunjung bisa berjalan melewati lukisan-lukisan tersebut, sehingga karya seni berubah menjadi arsitektur, pada pameran Beautiful Futures di H Gallery Bangkok. Pada 2018, di area pabrik kapal raksasa di Cockatoo Island, dengan model tiga dimensi yang saling bertaut dalam beberapa grup, karya seni menjadi ruang dalam ruang, selama perhelatan 21th Biennale of Sydney, 2018.
Earthbound Mode #1, 2023
Dimens 400 x 300 x 900
Karya Dr Kan Nathi dimulai dari percobaan untuk menciptakan karya dari materialitas dan narasi yang ada di lingkungan sekitarnya. Ketertarikannya pada imaji yang abstrak serta gagasan tentang ruang dan tempat, pembacaan terhadap tradisi dan pengetahuan ekologi lokal, kemudian mendorongnya menekuni pengolahan material tekstil dengan menggunakan tie-dye. Ketika menjadi asisten Mit Jai Inn untuk mengimprovisasi instalasi 365 karya dan penulisan konsep Kalender 1000 Waktu di Aichi Triennale, serta suasana desa Arimatsu Shibori yang berusia 250 tahun dan juga kehadiran kelas Ikebana Kayoko Kondo, Kan terdorong untuk mulai melakukan karya seni yang serius. Kemunculan tie-dye dengan medium bumi dari rumah pegunungannya beserta film pendeknya merupakan hasil pengalamannya di Aichi.
Kan Nathi menekankan pentingnya pemahaman terhadap siklus alam, bagaimana makhluk hidup bermetamorfosis dari satu bentuk ke bentuk lain, memasuki fase dan tahapan hidup yang berbeda. Pengetahuan yang dibentuk oleh pengamatan terhadap pola-pola alamiah alam memberikan pijakan untuk rantai sosial dalam koeksistensi masyarakat. Karya Kan Nathi mempertemukan gagasan tentang ruang hidup, keterampilan lokal yang diwariskan, filosofi kemanusiaan dan pertanyaan tentang struktur dan persilangan. Praktik menciptakan pada masa kini adalah bagaimana setiap orang dengan beragam latar belakang mengabstraksikan pengalaman dan imajinasi, bukan tentang menjadi “seniman” dalam konteks individual yang terpisah. Dengan latar belakangnya sebagai arsitek dan desainer, Kan Nathi bekerja dalam wilayah seni sebagai upaya memaknai tetanda alam, meleburkan batas ruang dan kemungkinan.
Reveal: The experiment of natural color, 2023
Video digital satu saluran, warna, suara
Durasi: 2 min. 29 sec.
Reveal: The experiment of natural color menantang dikotomi palsu antara keprimitifan dan kehalusan. Nathi berjongkok di tanah, menggali dan menghancurkan tanah menjadi pewarna. Reveal menarik persamaan antara penghancuran bumi yang berulang-ulang hingga menjadi partikel-partikel pigmen dan pemurnian, atau penyaringan, dari pikiran manusia yang “vulgar, kasar, tidak sopan”. Akan tetapi, pewarna sulingan dan kotoran mentah terbuat dari bahan yang sama: tanah.
The Four Elements in Tie-Dye, 2023
Video digital satu saluran, warna, suara
Durasi: 2 min. 57 sec.
Dalam The Four Elements in Tie-Dye, Nathi menarik perhatian pada kekuatan pemberian makna simbolis pada objek sehari-hari. Proses tie-dye yaitu memasak pigmen, merendam, dan mengeringkan kain dapat dinarasikan sebagai perpaduan epik empat elemen mitis: tanah, air, angin, dan api. Dalam budaya Budha Thailand, kejadian-kejadian biasa dapat membawa beban spiritual. Di dunia yang penuh arti sewenang-wenang dan kuno, bagaimana kita bisa mengetahui apa yang benar?
Transformation, 2023
Video digital satu saluran, warna, suara
Durasi: 3 min. 26 sec.
Transformation membayangkan percakapan antara lalat dan capung yang dimulai dengan kata-kata pertama yang diucapkan melalui telepon baru Alexander Graham Bell. Lalat melanjutkan dengan merinci berita-berita sepele dan mendesak kepada capung, yang dengan jelas menjawab, “Saya sedang tampil.” Saat angin kencang saling bertabrakan dan menyampaikan berita tentang gejolak politik kontemporer Thailand, satu-satunya hal yang bisa diselaraskan oleh keduanya adalah topik pembicaraan sopan yang sudah lama ada: cuaca. Ini adalah “*UCKING WORST”.
Videoge mulanya ide untuk penamaan kanal dan produksi serial video mikro-dokumenter untuk mendokumentasikan keseharian kampung halaman di Labuan Bajo yang diinisiasi pada 2016. Belum sempat itu terjadi, Videoge atau dengan nama resmi Videoge Arts and Society lantas berkembang menjadi kelompok belajar lintas disiplin, kolektif seni, dan multimedia yang beranggotakan seniman, musisi, penulis dan peneliti muda, pekerja wisata, juru masak, juru mudi, ibu rumah tangga, guru sekolah, dan mahasiswa.
Sempat menggelar serangkaian kegiatan berupa inisiatif individu dan kolaborasi dalam Proyek Kolong Rumah (2010-2019), berkala mengerjakan rilisan buletin dan webzine Maigezine.net (2019 - sekarang), Pesiar: Satu Hari Satu Pulau (2019-sekarang), Videoge Bukalayar (2019 - sekarang), Videoge Live Sessions (2019- sekarang), riset dan pra-produksi seni Sapa Tetangga Hari Ini (2020 - sekarang), Semacam Pameran: Gambar Tangan dan Seni Realitas Tambahan (2021), urun meluncurkan ruang kerja bersama bernama Bawakolong pada Februari 2021 dan tercatat sebagai salah satu ruang budaya dan creative hub di Labuan Bajo dalam penelitian Cultural Cities Profile East Asia (British Council, 2021)
Urun daya dalam penelitian dan penulisan buku Ramuan di Segitiga Wallacea: Siasat Pengobatan Warga Selat Makassar, Laut Flores, hingga Teluk Cenderawasih (PraEvent Makassar Biennale 2021 Maritim: Sekapur Sirih, 2020), Paradakea: Ekshibisi Menyala Dalam Gelap (Mitra Budaya Makassar Biennale 2021-sekarang), Residensi Seniman (2021-sekarang), menginisiasi kegiatan reproduksi pengetahuan dalam konsorsium Kampung Katong (RMI-Bogor, Lakoat.Kujawas-Mollo, SimpaSio Institute-Larantuka, dan Kolektif Videoge-Labuan Bajo, serta didukung oleh Voice Global, 2022-2023), mengikuti curah gagas dan Workshop Kuratorial (Makassar Biennale dan Tanahindie, 2022), mengembangkan program usaha dan kreasi masakan DapurPecah (2022-sekarang), partisipan Temu Inisiatif Muda Nusa Nipa (2022-Sekarang), menginisiasi festival tumbuh bersama warga Pesta Kampung (2022-Sekarang), meluncurkan buku Resep Tetangga: Kumpulan Resep Masakan Warga Pesisir Labuan Bajo (Videoge, 2022), menulis dalam buku Riwayat Gunung dan Silsilah Laut: Sejarah Baru tentang Air, Perkampungan dan Migrasi di Makassar, Nabire, Labuan Bajo, Parepare, dan Pangkep (Makassar Biennale dan Tanahindie, 2023), Seniman Residensi Khatulistiwa (Jogja Biennale, 2023), serta sejumlah program internal dalam mendokumentasikan, mengarsipkan, serta alih wahana pengetahuan lokal dalam bentuk-bentuk kreatifkontekstual.
Roko Molas Poco, 2023
Instalasi, tanah, kayu, batu dan video
Dimensi Varibael
Roko Molas Poco adalah ritus memilih (roko: melamar) kayu terbaik (molas: cantik) dari hutan untuk dijadikan tiang tengah rumah gendang. Kayu yang cantik itu berasal dari tanah yang adalah ibu dan simbol kesuburan, juga merujuk pada sosok perempuan yang bertanggung jawab pada urusan rumah tangga, menjamin kehidupan seluruh anggota keluarga.
Ada ungkapan, gendang one lingkon pe’ang. Secara sosiologis-filosofis, Rumah gendang adalah pusat hidup (kampung) dan lahan atau tanah garapan warga (lingko) sebagai sumber pemenuhan kebutuhan. Filosofi ini berkembang menjadi norma sosial sebagai prasyarat mutlak legalitas adat dan kesatuan masyarakat dalam satu kampung. Jika tanah adalah sumber kehidupan, mbaru gendang (rumah) adalah tempat peristirahatan yang bersifat komunal. Ia jadi tempat anggota keluarga sebagai unit kolektif terkecil dari masyarakat adat.
Jika tanah dan rumah serta ingatan kolektif tentangnya adalah juga cara individu membentuk identitas diri, bagaimana imajinasi tentang tanah dan rumah beroperasi saat ini? Dalam konteks Labuan Bajo, bagaimana tanah dan rumah dengan segala konstruksi nilai-nilai tradisional bisa dibayangkan kembali, ketika keduanya harus berhadapan dengan desakan kapitalisme, industri pariwisata, krisis ekologi, dan budaya patriarki yang cenderung eksploitatif dan hegemonik?
Lahan Petani adalah usaha agrowisata hortikultura, memadukan pertanian dan edukasi. Lahan Petani berbasis di Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur. Lahan Petani mengelola lahan seluas dua hektar yang difokuskan pada budidaya semangka, cabai rawit, pepaya california, pisang beranga, dan sayuran. Lahan yang dipakai menggunakan sistem pertanian modern dengan irigasi tetes tepat guna. Hasil pertanian Lahan Petani telah didistribusikan untuk pedagang, pengusaha kuliner, dan konsumen rumah tangga di Kabupaten Sikka.
Lahan Petani memiliki misi membagikan pengetahuan pertanian sebagai peluang usaha masa depan kepada para pemuda. Lahan Petani ingin lebih banyak pemuda di Kabupaten Sikka menguasai teknik pertanian modern dan dengan bangga memilih pertanian sebagai pekerjaan. Dengan fasilitator orang-orang muda dari berbagai disiplin ilmu, kami menawarkan tur dan kelas pertanian yang menyenangkan.
Lahan Petani X Petani Muda Naratakwa X Sadhir
Lahan Petani mengintervensi greenhouse di Bangunjiwo dengan model irigasi tetes sederhana sebagai bahan percobaan. Irigasi tetes adalah sistem yang efektif dan efisien untuk model-model pertanian di lahan kering, yang secara spesifik dikembangkan kolektif ini. Arsip-arsip yang dipamerkan juga menggambarkan aktivitas-aktivitas edukasi dan workshop yang mereka lakukan di sekolah-sekolah untuk memperkenalkan dunia pertanian kepada generasi muda. Herman Yoseph Ferdy, salah satu anggota Lahan Petani yang tergabung dalam Maumere TV, sebuah jurnalisme warga berbasis internet memproduksi karya jurnalistik berjudul Kami Menanam Vanili dan Memanen Pencuri. Dokumenter jurnalistik ini berkontribusi membangun kesadaran petani lokal untuk mengadvokasi diri mereka hingga berbuah peraturan daerah mengenai jual beli vanili.
Laila Tifah lahir di Yogyakarta, 27 November 1971. Pendidikan Terakhir S1 Program Studi Desain Interior Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Yogyakarta, 1997. Laila Tifah lahir dari keluarga seniman, yang membawanya pada sensibilitas puitik dan artistik sejak usia yang muda. Laila Tifah memproyeksikan amatannya atas fenomena hidup sehari-hari yang tampak sederhana, atau tertimbun oleh citra visual digital yang membanjir. Karya-karya Laila menampilkan isu-isu yang relevan dengan pertanyaan hari ini tentang perubahan lanskap, politik pangan, ketegangan ruang domestik, kegelisahan individu atas esensi kemanusiaan, dan relasi intim antara satu orang dengan yang lain. Ia juga banyak menggunakan strategi rekonstruksi ruang—terutama karena latar belakang pendidikan akademiknya—untuk membangun komposisi dan narasi, yang menautkan gagasan tentang waktu dan spekulasi psikologis manusia.
Akrilik di atas kanvas
80x80 cm
Akrilik di atas kanvas
80x80 cm
Akrilik di atas kanvas
80x80 cm
Cat minyak di atas kanvas
130x180 cm
Akrilik di atas kanvas
160x160 cm
Cetakan
15 panel @30x30 cm
Kreator: Nabila Misilu Shafirila
Lembâna Artgroecosystem adalah inisiatif seni komunitas agrikultur yang dibuat dan dikelola oleh anak-anak muda di Sumenep, Madura. Inisiatif ini dibuat untuk menciptakan infrastruktur pengetahuan melalui seni dan mendorong percakapan lintas budaya dari ragam perspektif.
Tanah merupakan ikatan primordial bagi manusia Madura. Ikatan ini tidak saja berbicara mengenai ruang hidup dan aktivitas sosial yang membentuk cara berpikir orang-orang Madura, melainkan juga artikulasi atas sikap dan pernyataan politik dalam menjaga dan merawat tanah.
Bagi orang-orang Madura, tanah adalah lokus yang menghubungkan orang yang hidup dengan leluhur. Hubungan tersebut menciptakan suatu ekosistem pengetahuan lokal yang bersumber dari pengalaman dan pengamatan panjang atas fenomena alam yang membuat orang-orang Madura memiliki kemampuan membaca tanda-tanda yang kemudian diartikulasikan dalam aktivitas menanam.
Karya ini sekaligus penghormatan kepada petani Lembâna (tempat kolektif Lembâna Artgroecosystem berada) yang terus menjaga dan merawat tanah dan menolak paradigma pembangunan yang eksploitatif yang membuat banyak petani kehilangan lingkungan hidupnya.
Leyla Stevens lahir pada 1982, di Gubbi Gubbi Country, Cooroy, Queensland. Tinggal dan bekerja di Gadigal Country, Sydney. Leyla Stevens adalah seniman dan peneliti Australia berdarah Bali yang bekerja dengan fotografi dan gambar gerak yang dipengaruhi oleh perhatiannya terhadap gestur, ritual, perjumpaan ruang, trans-kultur dan sejarah tandingan. Bekerja dengan moda representasi yang berpindah antara dokumenter dan fiksi spekulatif, karyanya banyak berkaitan dengan sejarah yang terpinggir. Kemudian, ia mengangkat persoalan tersebut melalui arsip tandingan dan genealogi alternatif. Praktik Leyla Stevens merefleksikan kondisi diaspora dan representasi budaya, terutama berkaitan dengan warisan budaya Indonesianya, dan bagaimana citra hambar dan objek-objek ini ditafsir dan digerakkan ke seluruh dunia melalui pameran dan praktik koleksi. Pameran terbarunya adalah Sang Gunung Menyerahkan Jejaknya ke Laut di CushCush Gallery Denpasar, serta The National: Museum Contemporary Art, Sydney.
Video satu saluran, 28 menit
Dalam Groh Goh (2023), Leyla Stevens menciptakan ruang-ruang percakapan antara para perempuan Bali untuk membicarakan Rangda, dan bagaimana menafsirnya hari-hari ini. Rangda dalam Budaya Bali muncul terutama dalam pertunjukan lakon Calon Arang, menjadi simbol bagaimana stigma dan pelekatan stereotip terhadap para perempuan terutama yang telah lanjut dan memiliki pengetahuan, dan menunjuk mereka sebagai ‘penyihir jahat’. Sebagaimana para penulis atau aktivis perempuan yang menggugat demonisasi sosok perempuan, Leyla Stevens menawarkan aspek yang intim dan subtil dalam membalikkan citra Rangda. Berangkat dari adegan latihan menari tiga perempuan sebaya, di mana mereka menampilkan diri mereka sebagai Rangda (yang dalam tradisinya selalu dimainkan oleh penari lelaki), sosok Rangda disuarakan oleh para perempuan untuk membongkar perspektif patriarki dan menempatkan Rangda sebagai spirit untuk di mana pengetahuan dan kekuatan perempuan berkontribusi pada dunia. Adegan lainnya dibuat bekerja sama dengan musisi asal Naarm, Karina Utomo, yang menghubungkan Rangda melalui pertunjukan metal kontemporer.
Lian Gogali adalah pendiri dan ketua Institut Mosintuwu, komunitas akar rumput berbasis di Poso, Sulawesi Tengah. Sejak 2009, ia telah mengorganisir perempuan di 80 desa melalui Sekolah Perempuan Pembaharu Desa melalui Perpustakaan Sophia. Ia juga mendirikan Sekolah Pembaharu Desa yang menjadi ruang belajar bagi warga untuk menjaga solidaritas mereka pada alam dan membangun kesejahteraan berbasis sumber daya alam setempat. Sekolah ini mendorong desa untuk merancang pembangunan komunitas berkelanjutan yang dikerangkai oleh konsep mitigasi, adaptasi dan keadilan iklim. Pencapaiannya juga termasuk pendirian tim Perlindungan Perempuan dan Anak, serta radio komunitas yang dijalankan secara sukarela. Ia menginisiasi Mosintuwu Festival, festival warga di area Poso. Lian lulus dari jurusan Teologi di Universitas Kristen Duta Wacana serta meraih master Kajian Budaya Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta. Lian aktif menulis dan melakukan riset tentang isu politik dan sosial di kawasan Poso dan Sulawesi Tengah. Pada 2019, ia memimpin Ekspedisi Poso, perjalanan melihat biodiversitas Poso bersama para arkeolog, geolog, ahli biologi dan antropolog.
Bahan alam dan tanah desa Poso pada kain bar
Di bulan Mei 2022, ratusan perempuan dari 25 desa yang diorganisir Institut Mosintuwu berkumpul dalam konferensi perempuan Poso mendiskusikan gerakan perempuan untuk melindungi tanah, air, hutan yang telah mengalami kerusakan akibat kebijakan pembangunan yang eksploitatif. Mereka bersepakat dan mendeklarasikan gerakan bersama menjaga dan merawat tanah, air, hutan, serta mengekspresikannya dengan melukiskan material tanah, air, hutan yang dibawa dari desa-desa. Lukisan itu berbentuk ovarium sebagai simbol kedekatan intim hubungan perempuan dengan alam.
Lukisan Ovarium Alam edisi kali ini dibuat oleh Lian Gogali pada bulan Oktober 2023, melanjutkan rangkaian lukisan sebelumnya yang dilakukan oleh berbagai desa. Perbedaan utama antara lukisan ini dengan lukisan sebelumnya adalah kain yang dijadikan bahan pengikatnya adalah kain kulit kayu atau ranta, tradisi kulit kayu dari Lore Selatan, yang saat ini sedang diperjuangkan oleh kelompok perempuan untuk terus diwariskan.
Lintang Radittya adalah seniman dan instrument builder yang saat ini tinggal di Yogyakarta. Memiliki ketertarikan dalam analog elektronik, futurisme (lokal) Jawa dan interseksi musik eksperimental, derau dan elektroakustik. Aktif menggelar lokakarya, semiloka pameran, pertunjukan, serta membangun instrumen semenjak 2007.
Pada 2011, mendirikan Kenali Rangkai Pakai, sebuah proyek yang berfokus pada penelitian/pengembangan synthesizer mandiri. Tahun 2013 memprakarsai SynthesiaID, proyek pengarsipan budaya synthesizer Indonesia. Pada 2015, mempresentasikan Pengolah Sinyal sebuah pameran bunyi menggunakan instrumen mandiri yang dibangun semenjak 2011. Mengikuti beberapa proyek residensi di beberapa negara, serta aktif menggelar lokakarya dan semiloka, di Asia, Australia, dan Eropa. Lintang juga mengikuti beberapa pameran, di antaranya Asana Bina Seni (2020), ARTJOG (2021), IBP-NGV Australia (2014), Independent Project-Glass House Gertrude Contemporary (2015) dan FKY (2016/2020). Saat ini tengah aktif menyelesaikan buku mengenai kronik dan kartografi synthesizer di Indonesia.
Instalasi: tanah, mekanik/logam, elektronik
Dalam sistem telekomunikasi khususnya kerja frekuensi, dikenal istilah carrier wave, gelombang yang berfungsi membawa data/informasi yang lanjut dipancarkan.
Empat mesin `fonograf` yang dihadirkan sebagai presentasi ini, merupakan lanjutan dari Theorama Pedophony (2021) dan Meru Swara (2022) yang menghadirkan tiga mesin turntable tanah. Dalam presentasinya, diperoleh tangkapan informasi spekulatif yang beragam dari audiensnya, lewat bebunyian yang dihasilkan dari gesekan tanah dan mesin pemutar. Temuan ini menghadirkan sebuah pertanyaan, apakah bunyi tanah berlaku sebagai`carrier wave` yang mampu mengantarkan informasi yang tersimpan di dalamnya?
Karya ini menjadi investigasi spekulatif lanjutan dalam menilik paralelitas informasi/peristiwa yang dimiliki oleh tiap situs tempat tanah tersebut berasal. Bunyi menjadi hirarki estetika tertinggi, menjadikan telinga sebagai kanon dasar, yang diharapkan mampu mempengaruhi sensor (indera) lainya sebagai kanon lanjutan.
Lucia Hartini lahir di Temanggung tahun 1958. Ia mulai aktif melukis lewat belajar di Sekolah Seni Rupa Indonesia (SSRI) Yogyakarta. Pada 1990-an merupakan salah satu pelukis perempuan yang secara aktif telah berpameran dalam institusi nasional dan internasional. Ia banyak menggabungkan narasi surealisme yang berpijak pada ingatan masa kecilnya tentang kosmologi dan semesta, dengan konteks psikoanalisis yang mendalam dari pengalaman hidupnya. Lukisan-lukisannya yang cenderung bergaya surealisme ini menghasilkan fenomena yang ganjil tentang alam. Dengan teknik realisme yang rinci, ia sering menampilkan gerak air, awan, planet, dan objek-objek lainnya dalam aliran dan pusaran yang fantastis.
Akrilik di atas Kanvas
90x100 cm
Akrilik di atas Kanvas
100x120 cm
Akrilik di atas Kanvas
100x120 cm
Cat Minyak di atas Kanvas
200x230 cm
Dalam narasi sejarah seni rupa Indonesia, Lucia Hartini acap ditempatkan dalam kotak surealisme Yogyakarta yang tumbuh pada akhir 1980-an hingga pertengahan 1990-an, yang melihat surealisme semata-mata sebagai kerangka estetika dan praktik artistik. Pada kenyataannya, citra-citra visual yang muncul dalam karya Lucia Hartini menunjukkan tatapan yang lain atas surealisme: tidak dalam definisi surealisme Barat, melainkan sebuah pemahaman atas realitas yang tidak kasat mata. Dalam kacamata Lucia Hartini, Dunia tak kasat mata merupakan titik kumpul energi dan ruh yang membantu menavigasi kompleksitas kehidupan manusia.
Lelaku seperti niteni dalam kehidupan Lucia Hartini menjadi cara untuk mendefinisikan waktu dan periode kehidupan tertentu. Dengan berpegang pada titen, komunitas tradisi di kawasan desa dan pinggiran juga menjejalkan resistensi terhadap realitas-realitas ilmiah yang diajarkan di sekolah, tetapi menjauhkan pengetahuan tersituasi menjadi jauh dengan laku berpikir.
M. Irfan (lahir Bukittinggi, Sumatera Barat, 1972) sekarang bekerja dan tinggal di Yogyakarta. Ia belajar kriya logam di Institut Seni Indonesia Yogyakarta di mana ia menjadi salah satu pendiri Kelompok Seni Rupa Jendela. Karya pada masa awal karirnya, dari pertengahan 1990-an hingga pertengahan 2000-an, cenderung dikategorikan sebagai lukisan abstrak dan minimalisme. Irfan sendiri menyebut fase praktiknya tersebut sebagai “melukis esensi.” Tidak hanya terbatas pada lukis, ia juga bekerja dengan berbagai macam media, termasuk patung, objek, dan konstruksi. Ia juga bereksperimen dengan berbagai macam gaya lukis seperti photorealism, op art, dan cerebral formalism. Dalam beberapa tahun ke belakang, Irfan telah dikenal sebagai pelukis dengan kecenderungan gaya (foto) realistik. Nirkias: not a figure of speech adalah pameran tunggal Irfan pertama yang menawarkan bentuk karya yang sama sekali baru dari karya-karya sebelumnya. Ia mendorong dirinya untuk melampaui penciptaan gambar dan memasuki pembuatan pengalaman.
Kayu nangka, besi, lampu neon LED, roda
Dimensi Variabel
Trailer, besi, lembaran akrilik, kayu manis, merica, pala, cengkeh
Dimensi Variabel
Trailer, besi, lembaran akrilik, biji kopi sangrai, lampu neon LED
Dimensi Variabel
Manita Newa Khadgi & Mimi Mnk (Dr. Manita Newa) dari Kathmandu adalah dokter medis dan konselor psikologis serta aktivis queer. Ia merupakan pendiri organisasi pertama dan satu-satunya dari kelompok aseksual dan aromantis di Nepal, selain pendiri Meraki Chhen. Semua ruang inklusif ini berfokus pada perawatan kolektif untuk kesehatan mental dan emosional. Seni bagi mereka adalah memasukkan diri dalam karya yang dibuat untuk orang-orang yang dicintai, cinta yang tidak terdefinisi dan terlabeli. Dalam upaya merasakan percik kehidupan ia menafsir perasaannya dan menjalin narasi melalui kata, benang dan apapun yang melintas di kepala dan tangannya.
Mimi (Rimishna Manandhar) dari Kathmandu bekerja sebagai arsitek dan seniman. Ia menggunakan seni sebagai cara untuk menuangkan emosi dan memahami identitasnya. Karyanya meliputi komik, mural, ilustrasi digital, visualisasi abstrak dan lukisan.
Instalasi
Atas perkenan Seniman
Mimi dan Mnk mencoba menggambarkan versi alam semesta mereka, yang tidak memiliki batasan dan hierarki dunia normatif. Alam semesta ini memiliki elemen dan komponen dunia nyata yang bercampur dengan kekuatan tak berwujud, tidak seperti gravitasi, yang berperan dan memperkaya kehidupan mereka.
Sebuah dunia di mana tattva alam dan indra rancangan manusia berperan sementara makhluk mengeksplorasi dan mengalami hubungan serta memupuk ikatan yang meningkatkan model hubungan normatif - kekeluargaan, romantis, seksual. Alam ini tidak diatur oleh eskalator yang diikuti oleh dunia di bumi, tidak terikat oleh ikatan neurotipikal* allo*-amato*-hetero*-normatif. Ada otonomi dan keagenan antar makhluk dan tidak ada yang ditetapkan secara default, pada kenyataannya ia hidup dalam bentuk anarki yang menghormati dan menghormati setiap jenis dinamika, di mana semua ikatan tidak bersifat hierarkis bahkan yang terikat oleh darah, jenis kelamin, atau keintiman platonis.
Alam semesta ini merupakan representasi artistik bagaimana setiap makhluk di bumi merupakan alam semesta dalam diri sendiri dan utuh secara inheren tanpa hubungannya dengan makhluk lain di bumi. Tidak ada konstruksi sosial dan label gender, orientasi romantis, orientasi seksual, orientasi hubungan atau neurotipe yang memiliki kekuatan untuk membuat seseorang menjadi kurang utuh, rusak, cacat atau asing pada masanya di bumi. Tidak ada jumlah atau jumlah satu jenis makhluk dominan yang menjamin dunia untuk mengucilkan, menyembunyikan atau membatalkan keberadaan mereka yang berputar pada porosnya sendiri, kekuatan dan bidang yang berbeda; hal-hal yang tidak dapat dirasakan oleh orang lain dengan cara yang sama.
Ini adalah alam semesta yang menjadi model miliaran alam semesta magis lainnya yang ada sejajar dengan dunia ini tetapi tidak dirayakan karena kita manusia telah lama melupakan kemanusiaan kita dan keajaiban yang mengalir melalui kita.
*Neurotipikal: Otak “normal/tipikal” yang menampilkan pola pikir, perilaku yang khas seperti yang diharapkan oleh masyarakat.
*Allonormatif: Menyiratkan asumsi bahwa semua manusia mengalami ketertarikan seksual, memiliki libido dan menginginkan hubungan seksual dan mereka yang menyimpang dari hal ini akan mengalami kebingungan, sakit mental/fisik atau trauma.
*Amatonormativitas: asumsi yang tersebar luas bahwa setiap orang akan lebih beruntung jika berada dalam hubungan pasangan yang eksklusif dan romantis dalam jangka panjang, dan bahwa setiap orang mencari hubungan seperti itu.
*Heteronormativitas: Asumsi bahwa setiap orang adalah heteroseksual/heteroromantik dan merupakan ideal, lebih unggul dari orientasi seksual/romantis lainnya.
Maruto adalah seniman konseptual multidisiplin yang menggunakan barang-barang sehari-hari dan menyusunnya menjadi bentuk baru untuk membangun leksikon yang mempertanyakan sifat ontologis untuk fungsi dan pemakaian. Ia juga tertarik pada aspek estetik dari benda yang diproduksi massal, terutama berkait bagaimana manusia memperlakukan dan menerimanya. Selain itu karyanya menjadi percobaan melihat bagaimana perilaku manusia dalam memainkan perannya membentuk konsep objek di sekitarnya, juga bagaimana kemudian objek-objek ini berubah dan bermutasi dalam rutin keseharian.
Gypsum, pipa transparan, tanah, pengukuran, pigmen, air
Dimensi Variabel
Maruto Ardi mengintervensi ruang-ruang di Monumen Bibis, sebuah situs sejarah yang telah lama ditinggalkan pasca konflik politik 98. Praktik kekaryaannya menjelajahi kemungkinan seni bersilangan dengan kerja-kerja pertukangan dan dekonstruksi terhadap makna objek keseharian. Melalui penempatan instalasi yang menunjukkan spekulasi tafsir dan perspektif nir-tempatan (displacement), Maruto Ardi menantang beban konteks sejarah yang berat pada ruang-ruang di monumen, membawa pengunjung untuk menimbang rancang bangun (arsitektur) sebagai titik pijak imajinasi baru. Bagaimana kemudian sejarah berkelindan dengan memori atas ruang dan objek-objek? Bagaimana manusia menafsir konteks politik melalui kehadiran materialitas yang menghadirkan ingatan dan pengalaman keseharian yang menubuh?
Mekh Limbu (lahir 1985) adalah seniman yang tinggal di kawasan Dhankuta. Sebagai bagian dari komunitas Adivasi-Janajati Limbu, karyanya sering menunjuk pada kerapuhan geopolitis yang terentang dan membentuk makna ke-adat-an. Ia menggunakan material arsip yang berpijak pada kebutuhan untuk menjembatani bahasa antar generasi, ritual, dan memori. Karyanya juga mendokumentasikan konteks industri pekerja migran Nepal yang merupakan bagian dari kisah keluarganya, menggarisbawahi struktur keluarga tradisional yang mulai terpisah satu sama lain. Karyanya Mangdem’ma berupa video yang menampilkan proses penyembuhan spirit dan tanah, dan sudah diputar di Tate Modern. Limbu berpartisipasi dalam Kochi-Muziris Biennale 2022-23, Waley Art, Taipei (2019); Weltmusem Wien, Vienna (2019), Kathmandu Triennale (2017), Moesgaard Museum, Aarhus (2016);,dan Serendipity Arts Festival, Goa (2016). Bersama kolektifnya, Artree Nepal, ia pernah berpameran dalam Kathmandu Triennale (2022), Dhaka Art Summit (2020), dan Biennale of Sydney (2020).
Instalasi video dan tekstil
Atas perkenan Seniman
Video tiga saluran
Atas perkenan Seniman
Mit Jai Inn adalah seniman kontemporer yang berbasis di Chiang Mai, Thailand. Kerja-kerja keseniannya menghubungkan berbagai komunitas dan kelompok terpinggir, sebagai upaya untuk merespons persoalan sosial dan politik secara luas. Pada 1992, Mit Jai Inn menginisiasi Chiang Mai Social Installation yang secara signifikan mengubah arah dan visi seni kontemporer di Thailand dalam persinggungannya dengan aktivisme dan perjuangan politik. Studio Mit Jai Inn beroperasi tidak saja sebagai penghasil karya seni melainkan menjadi laboratorium sosial yang menabrak batasan-batasan seni itu sendiri. Mit Jai Inn telah mempresentasikan karya-karyanya di berbagai pameran di institusi yang penting di seluruh dunia, sembari terus membangun kerja berjejaring di tanah airnya, termasuk menginisiasi ruang alternatif, Cartel.
Projek CCCCC yang dipresentasikan dalam Biennale Jogja kali ini merupakan intervensi untuk melihat keterkaitan antara seni kontemporer dan tradisi, terutama gagasan tentang kriya yang selama ini dianggap subordinat dalam sejarah seni. Proyek CCCCC membuka kemungkinan dan spekulasi di mana karya seni kontemporer didesakralisasi dan diposisikan dalam narasi yang sejajar dengan kriya dan objek sehari-hari. Proyek CCCCC akan membawa objek-objek studio untuk direspons dengan narasi baru dari para pengrajin lokal, mempertemukan tradisi yang beragam dalam praktik seni.
Lampu kertas MAche, lampu LED, cat minyak
Dimensi Varibel
Projek CCCCC yang dipresentasikan dalam Biennale Jogja kali ini merupakan intervensi untuk melihat keterkaitan antara seni kontemporer dan tradisi, terutama gagasan tentang kriya yang selama ini dianggap subordinat dalam sejarah seni. Proyek CCCCC membuka kemungkinan dan spekulasi di mana karya seni kontemporer didesakralisasi dan diposisikan dalam narasi yang sejajar dengan kriya dan objek sehari-hari. Proyek CCCCC akan membawa objek-objek studio untuk direspons dengan narasi baru dari para pengrajin lokal, mempertemukan tradisi yang beragam dalam praktik seni.
Monica Hapsari tinggal dan bekerja di Tangerang, menekuni seni visual dan bunyi. Dia aktif juga terlibat dalam organisasi pelestarian hutan, Tree Of Heart. Monica mempelajari beragam praktik spiritual sebagai proses belajarnya untuk memahami kehidupan, kemudian menafsir dan memadukannya sebagai konteks dalam karya visual dan bunyi yang diciptakan. Dia telah tampil dalam beragam platform; Nusasonic Radio #4: Quiet Riot 2021, Thoughts and Ideas Vol. 2 Radio Show, 2021, Mutant Radio Tbilisi, Georgia, dikurasi oleh Que Sakamoto, Situated Sound IV: Eulogies oleh Array Music Toronto 2021, Resonansi bersama Muara Suara (ID)xNewToy (UK) yang didukung oleh British Council 2022, Alur Bunyi Festival di Goethe Institut Indonesien, 2022. Selain itu, memamerkan karyanya di H.A.H. Project bersama OmniSpace di Zeitraumexit, Mannheim, Germany, 2021.
Dalam konteks performans, Monica telah berpartisipasi dalam Undisclosed Territory #13–Performing Distance, kurator Melati Suryodarmo, The Lost and The Remains, kurator An Other Asian untuk Koppel Project, Holborn Viaduct, London, 2022, Popop Performance Hub-Popop Art Nijmegen didukung oleh HAN University of Applied Science Nijmegen, Netherland, 2023. Dia juga merupakan seorang kurator dari edisi pertama INTRAPLAY, acara seni pertunjukan dan musik eksperimental di Art Jakarta Garden 2023.
Instalasi di Karang Kitri:
Komposisi visual dan suara–bunyi: Monica Hapsari
Mixing dan mastering pada komposisi repetitif: Sean Hayward
Amplifikasi suara dan bunyi pada instalasi: Zustama Bona
Suara doa dan nyanyian: Mbah Suminah penjual mainan di Desa Panggungharjo
Suara nyanyian: Ibu-ibu Paguyuban Gejog Lesung Maju Lancar Miri Sawit dan Bapak Jumadi
Art Handler: Ryan Barker
Lagu Guwa Garba:
Lirik: Ibu-ibu Paguyuban Gejog Lesung Maju Lancar Miri Sawit, Bapak Jumadi, Bapak Nurochmad, Allifia Marsha Nadhira dan Monica Hapsari
Lagu: Monica Hapsari
Komposisi Sequencer: Monica Hapsari & Sean Hayward
Mixing & mastering Sequencer: Sean Hayward
Lagu Dungo Pangestu Miri Sawit Panggungharjo:
Lirik: Ibu-ibu Paguyuban Gejog Lesung Maju Lancar Miri Sawit, Bapak Jumadi dan Monica Hapsari
Lagu: Monica Hapsari
Komposisi Sequence: Monica Hapsari & Sean Hayward
Mixing & Mastering Sequencer: Sean Hayward
Media: Limbah plastik kresek, sampah korden bekas, sampah kain gombal dan sampah kerudung bekas dari pabrik olah sampah dan masyarakat sekitar Desa Panggungharjo, Sewon, Bantul, Yogyakarta, cat akrilik, spray paint, penciptaan lagu bersama Ibu-ibu Paguyuban Gejog Lesung Maju Lancar Miri Sawit dan Bapak Jumadi, suara rekaman doa dan nyanyian selama empat minggu pertemuan dengan Mbah Suminah penjual mainan Desa Panggungharjo, Leesung, amplifikasi suara doa, nyanyian dan bunyi Lesung, sekam padi kosong di lantai, instalasi lampu LED dan Neon Flex.
--
Penelusuran atas garba (rahim) ini membawanya pada banyak sisi lain; pengetahuan perempuan, kesenian lokal, kosmologi kehidupan, dan kepercayaan yang menubuh. Perempuan menjadi figur sentral yang merawat, menanam, menata, dan menumbuhkan kehidupan bersama. Selama masa residensinya di Yogyakarta, pertemuan dengan para perempuan desa Panggungharjo membawa Monica pada pengetahuan-pengetahuan baru baginya, tetapi telah lama menjadi kepercayaan lokal warga, bahkan merupakan pijakan hidup bagi mereka. Sebagai seniman yang banyak bekerja dengan suara, Monica kemudian bergabung dengan latihan gejog lesung—kesenian yang merayakan tanah, air, cuaca yang memberi kita pangan sebagai sumber kehidupan.
Instalasi Monica Hapsari merangkum narasi yang berlapis dan bersilangan antara ekologi, feminisme, spiritualitas, dan spirit komunal. Dengan menggunakan material plastik bekas yang menjadi konteks sosial dari masyarakat sekitar Dusun Sawit yang dekat dengan pusat pembuangan sampah, Monica menuliskan ulang memori kolektif para ibu dusun dan menghubungkannya dengan kosmologi bumi, serta menguatkan posisi Rahim dan garba sebagai pusat kehidupan.
Lahir pada 1958, Thapa adalah seniman otodidak. Ia berkenalan dengan bentuk seni tradisional mulai usia sangat muda. Karena sangat tertarik pada bentuk dan estetika seni tradisi, ia mempelajari gaya ini dan karenanya perjalanan seninya dalam dunia seni tradisi sudah dimulai pada 1970-an. Ia meninggalkan kota asalnya di tengah Nepal dan pindah ke Kathmandu untuk belajar pahat kayu dan kemudian melukis. Dengan dedikasi dan praktik berkelanjutan, ia mengembangkan gaya khusus yang membuat karyanya gampang dikenali. Ia telah berpameran di Bangkok dan beberapa kota di Amerika. Lukisannya telah dikoleksi beberapa museum privat dan publik di Amerika, Jerman, Italia, Australia dan banyak lagi.
Warna mineral pada kanvas katun
Atas perkenan seniman, Prem Prabhat Gurng dan Juni Gurung
Lukisan Sadakshari Lokeshvara miliknya menggambarkan sebuah proses yang membutuhkan disiplin dan aturan ketat untuk mencapai tampilan yang berbeda. Dalam penyelidikan tradisional seperti itu, Thapa sering kali mengandalkan ikonografi, komposisi potret yang berani, dan skema warna yang mengingatkan pada praktik lama dari abad ke-15 dan ke-16. Sedangkan dalam komposisi seperti Bhairav, wajah dewa digambarkan dalam aransemen yang kontemporer; ia mengacu pada konten esoteris lukisan religius yang sekaligus mengonotasikan elemen hedonistik dalam masyarakat modern. Dalam eksperimennya ia memperumit apa yang dimaksud dengan tradisi, sering kali menyamakan perspektif dan teknik lintas waktu dan wilayah untuk menampilkan suaranya yang berbeda.
Muna Bhadel adalah seniman visual yang tinggal di Kathmandu. Ia mendapatkan gelar master dari Central Department of Fine Art di Tribhuvan University. Ia mendapat kesempatan menjadi peserta KCAC’s Residency Program pada 2016 dan menjadi seniman mukim pada 2nd Taragaon open Studio Artist di The Taragaon Museum Contemporary Art Gallery pada 2019. Ia berpartisipasi dalam the Art Project WE FOR US, Enhancing Access to Justice for Women Project 2021, UN Women Nepal. Ia juga terlibat dalam berbagai pameran kelompok, lokakarya dan program residensi di dalam dan luar Nepal. Ia menerima penghargaan Sita Shree Pant Smriti pada 2016 and Himalayan Art Award (HAA) pada 2022. Ia melihat sisi kehidupan yang jarang disasar oleh kebanyakan orang, sehingga karyanya menjadi cara untuk melihat cara pandang estetis sebagai keterhubungan emosi, signifikansi psikologis, dan epos sosial.
Instalasi video performatif
Atas perkenan Seniman
Video performatif ini mencerminkan penderitaan yang dirasakan oleh perempuan dalam masyarakat Nepal yang sangat patriarkis. Pertunjukan tersebut membangkitkan perjuangan baik psikologis maupun fisik yang dialami oleh perempuan di seluruh negeri, di mana bunuh diri kini menjadi salah satu penyebab utama kematian. Seringkali norma gender diatur oleh agama, hukum, dan keluarga, sehingga hanya menyisakan sedikit ruang untuk menjalankan kewenangan atas tubuh seseorang. Di setiap bingkai, sebuah sosok terlihat semakin termakan oleh film tembus pandang; akhirnya berhasil melepaskan diri, dilambangkan dengan membiarkan rambutnya tergerai. Karya ini juga merujuk pada kehidupan Gauri Bista, seorang janda dan ibu tunggal dari perbukitan barat Nepal, yang menghadapi diskriminasi gender yang meluas. Berdasarkan pengalamannya, Gauri akhirnya menjadi pembela hak asasi manusia bagi komunitasnya dan sang seniman mengambil inspirasi dari perjalanan kegelisahan dan tekad untuk menempa jalannya sendiri.
Nadya Jiwa lahir pada tahun 1994, Braunschweig, Germany. Bekerja dan berkarya di Bandung, Indonesia. Nadya Jiwa mengangkat citra visual dan juga kesan dalam karya-karyanya. Naluri manusia untuk terus menciptakan informasi menjadi sesuatu yang digarisbawahi bersamaan dengan komposisi tertentu atas realitas melalui pergerakan tipis dan sapuan kuas yang di satu sisi berangkat dari pertimbangan kognitif, dan di sisi lain dibentuk oleh intuisi. Simbolisme saling bertaut dalam lukisan dan gambar Jiwa, dengan tujuan untuk membangun relasi subtil, pertukaran informasi, juga bagaimana ia menyerap dunia luar.
Jiwa mendapatkan gelar sarjana seni dari ITB. Ia pernah berpameran di Khayal | Chimeric with ROH di Liste Showtime (2021); Presentasi duo bersama Rizal N. Ramadhan, Batang Mati, Cendawan Tumbuh di Selasar Sunaryo Art Space, Bandung. Pameran kelompoknya meliputi Art Collaboration Kyoto with ROH, Kyoto, Japan (2022); S.E.A. Focus with ROH at Gillman Barracks, Singapore (2020); Jauh Tak Antara, Sepilihan Karya 20 Perupa Bandung at NuArt Sculpture Park, Bandung, Indonesia (2018); Getok Tular #2: Spacing Out (Lamunanku...) at Omni Space, Bandung, Indonesia (2018).
Minyak di atas kanvas
40x30 cm
Koleksi dari Nathan Gunawan
Minyak di atas kanvas
40x30 cm
Koleksi dari Nathan Gunawan
Minyak di atas kanvas
30x30 cm
Koleksi dari ROH
Minyak di atas kanvas
170x135 cm
Minyak di atas kanvas
50x60 cm
Koleksi dari Tumurun Museum
Karya-karya Nadya Jiwa membawa konteks-konteks niskala (ketidaktampakan) dalam pengertiannya yang luas, mulai dari konsep ruh (inner self) hingga spiritualitas yang berkait dengan dunia nir-manusia. Nadya memproyeksikan lapis-lapis realitas yang tersembunyi dari aktivitas raga, menabrakkannya dengan imajinasi tentang sebuah dunia kelana jiwa. Dalam kehidupan masyarakat seperti di Jawa, kepercayaan terhadap dunia luar diri, sering dilihat sebagai sesuatu yang berkait dengan hal ghaib, dan acap dipertentangkan dengan agama formal. Padahal kedekatan dengan kosmos merupakan bagian dari akar diri, sebuah alasan mengada, yang dibangun oleh perlindungan leluhur dalam kehidupan generasi selanjutnya.
Lukisan-lukisan Nadya Jiwa menunjukkan dualisme antara yang gelap dan yang bercahaya, yang tampak dan yang tertutup, kegamangan dan keyakinan, yang dimunculkan melalui gores-gores yang intens tapi spontan dan terbuka. Nadya mengundang pengunjung untuk memasuki pengembaraan ke ruang-ruang gelap dalam diri kita, yang acap terhindari karena konstruksi budaya atas rasionalitas, yang mengasingkan kita terhadap pengalaman-pengalaman ketubuhan yang tak selalu bisa terpahami.
Ferdinandus Watu, atau yang lebih akrab dikenal dengan Nando Watu, adalah lulusan Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero tahun 2006 dan Alumni Program Tourism Management di USA Miami Florida (2014-2015). Nando menginisiasi terbentuknya Remaja Mandiri Community (RMC) Detusoko pada tahun 2017. Komunitas ini ia proyeksikan sebagai ruang belajar bagi kaum muda dalam mengelola modal, isu, serta potensi desa dengan mengusahakan adanya pelatihan dan pendidikan informal, pertanian berkelanjutan, decotourism: pelayanan pariwisata berbasis potensi masyarakat desa Detusoko, serta kewirausahaan sosial. Sejak aktif bersama RMC, Nando kerap dipercaya sebagai fasilitator, tutor, dan penggerak dalam berbagai program pembangunan desa, pariwisata berkelanjutan, ketahanan pangan, ekologi dan masyarakat adat, dengan mitra-mitra dari pemerintah maupun NGO di tingkat nasional juga internasional, seperti Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Republik Indonesia, British Councils, Swisscontact, YSEALI dan mitra lainnya.
Sejak Desember 2017 hingga sekarang, Nando dipercaya menjadi Direktur Umum BUMDES Auwula, Desa Detusoko Barat, Kecamatan Detusoko, Kabupaten Ende. Karena dedikasinya yang tinggi terhadap pembangunan di desa, pada 2019-2023, ia terpilih sebagai Kepala Desa Detusoko Barat. Sepanjang karirnya, ia menerima beberapa penghargaan antara lain, The Winner Javara Akademi (2017), 125 Desa Brilian di Indonesia, 10 Bumdes Terbaik tingkat Nasional (2020), Juara 3 Festival Desa BInaan Bank NTT (2020), Juara 4 Anugerah Desa Wisata Indonesia (2021), dan 10 Desa Antikorupsi di Indonesia (2022).
Arsip
Arsip-arsip ini menampilkan identifikasi Nando Watu atas modal dan potensi Desa Detusoko Barat. Inisiatif Nando Watu sangat menarik, karena berusaha mendorong partisipasi kaula muda di Detusoko dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Sosoknya sebagai aktivis yang kemudian berani menjabat sebagai kepala desa atas amanat masyarakat menjadi inspirasi yang hidup bagi anak-anak muda untuk berani kembali dan berkarya di kampung, memanfaatkan modal-modal serta potensi yang berakar pada tradisi untuk melakukan inovasi-inovasi yang berguna.
Natasha Tontey adalah seniman yang berbasis di Yogyakarta, Indonesia. Praktik artistiknya terutama menjelajahi aspek fiksional dari sejarah dan mitos yang berada di sekitaran “rasa takut yang diciptakan.” Dalam praktiknya, ia mengamati kemungkinan masa depan lain yang diproyeksikan tidak dari perspektif institusi yang mapan dan dominan, tetapi dari perjuangan personal dan subtil dari makhluk hidup yang acap ditinggalkan. Ia telah berpameran secara aktif di berbagai ruang, termasuk pameran tunggal di Auto Italia, London (2022). Sejumlah pameran kelompoknya, Singapore Biennale (2022); De Stroom Den Haag (2022); GHOST;2565, Bangkok, Thailand (2022); Protozone8 Queer Trust, Zurich, Switzerland (2022); Arko Art Council, Seoul, Korea (2022), Leeum Museum of Art, Seoul, Korea (2022); Hamburger Bahnhof, Museum für Gegenwart, Berlin (2021); transmediale, Berlin (2021); Performance Space 2021, Sydney; Other Futures, Amsterdam (2021); Singapore International Film Festival (2021), Kyoto Experiment 2021; Asian Film Archive, Singapore (2021). Pada 2020, ia menerima HASH Award dari ZKM, Center for Art and Media Karlsruhe dan Akademie Schloss-Solitude. Natasha adalah fellow untuk Human Machine of the Junge Akademie di Akademie der Künste Berlin 2021-2023.
Single-channel video installation, colour/sound, 15 min
Cerita fiksi spekulatif Tontey yang berjudul Of Other Tomorrows Never Know/Makatana bercerita tentang kerja kepedulian yang bersifat kompleks dan terjalin dengan kebutuhan mendesak untuk bercakap dengan para leluhur. Mereka fokus pada roh dan cara memperbarui hubungan dengannya, baik secara spiritual, material, dan teknologi. Dalam karya ini, kepedulian selalu dikaitkan dengan kebutuhan untuk mendapatkan kembali rasa hormat terhadap prinsip, nilai, dan kepercayaan masyarakat adat. Akan tetapi, ciri-ciri bawaan kehidupan kita disusun berdasarkan sejarah inklusi, eksklusi, dan normalitas. Mengakui keberadaan dunia yang beragam memiliki risiko yang tampak tidak logis atau tidak dapat dipahami. Tontey mendorong kita untuk menerima aspek kepedulian yang tidak logis ini, yang mengungkapkan kesediaan untuk mengambil langkah lebih lanjut agar dapat melepaskan ketergantungan kita pada institusi yang sudah mapan untuk memberi tahu kita apa yang primitif, modern, irasional, dan rasional. (Nuraini Juliastuti)
Nelson Natkime berasal dari Kawasan Timika, Papua, salah satu wilayah yang menjadi titik sentral dalam sejarah panjang kekerasan di Papua yang juga mempresentasikan dominasi industri ekstraktif pada proses pembangunan di Papua. Ia menempuh studi arsitektur di Universitas Kristen Duta Wacana, Yogyakarta. Nelson merekam berbagai peristiwa penting di sekitar konflik warga dengan agen-agen kekuasaan di sekitarnya, termasuk menggali arsip dan ingatan keluarganya mengenai proses masuknya PT Freeport dalam wilayah adat mereka dan mentransformasikannya menjadi gambargambar dan beragam kolase visual. Karya-karya Nelson menggabungkan simbol dan ikon dalam kehidupan keseharian Papua yang ditabrakkan dengan refleksi realistik atas trauma, mimpi, dan imajinasi warga dalam kehidupan di masa gelap dan harapan yang dimunculkan sesudahnya. Bersama kolektif Udeido, Nelson terlibat dalam berbagai kerja aktivisme seni untuk membawa isu Papua dengan pendekatan interseksionalitas dan transnasional.
Tahun 1967, Tuarek Natkime-tokoh utama masyarakat adat Amungme-dikunjungi wakil dari perusahaan asing. Mereka datang untuk meminta izin menambang di Mulkini, yang sekarang akrab dengan nama kota Tembagapura. Dengan bujuk-rayu dan tipu daya, mereka berhasil menambang. Itu adalah awal dari segala permasalahan serta penyimpangan sosial di kawasan tersebut.
Masyarakat Amungme percaya jika gunung emas yang kokoh menjulang di balik kampung mereka adalah surga. Mereka hidup dalam harapan akan kehidupan yang lebih baik di sana, bebas dari kesusahan dan penderitaan di dunia. Namun, sejak masuknya perusahaan tambang itu, imajinasi tentang harapan dan surga makin terdistorsi oleh fakta-fakta pengalihfungsian lahan, opresi dan represi militer, pemusnahan budaya, dan segala sakit-penyakit yang diakibatkan oleh pengelolaan limbah pabrik yang serampangan.
Karya ini adalah penghormatan terhadap Tuarek Natkime dan orang-orang Amungme yang telah berani melawan serta untuk semua yang masih peduli dan terus berjuang.
Nursalim Yadi Anugerah adalah komposer yang dapat memainkan banyak instrumen, dengan fokus pada pengalaman dengar melalui praktik budaya, pengetahuan, dan kosmologi masyarakat adat serta aktivisme mereka yang berkaitan dengan isu lingkungan dan sosial budaya di Kalimantan. Dia telah tampil di International Young Composers Meeting 2018 (Belanda), Gaudeamus Muziekweek 2018 (Belanda), Asia TOPA 2020 (Melbourne, Australia), Holland Festival 2021, Amsterdam (Belanda). Pada 2021-2022, dia mendapat Prince Claus Mentorship Award for Cultural and Artists Response to Environmental Change by Prince Claus Foundation and Goethe Institut.
Instalasi kadedek, labu kuning, bambu, video kerjasama Reza Darwin, 10 menit
Lawing adalah seri karya musik yang diciptakan untuk pertunjukan pada tahun 2020. Karya ini menggunakan elemen bunyi drone yang berasal dari kadedek, alat musik tradisional dari masyarakat Kebahant dan beberapa kelompok masyarakat asli di Kalimantan. Kadedek memproduksi suara drone terus menerus yang dibuat oleh mesin udara. Udara yang diproduksi secara terus menerus memaksa lidah getar (reed) dari alat musik tersebut untuk berbunyi melampaui kemungkinan bunyi yang dapat diproduksi oleh manusia/musisi. Lanskap bunyi yang selalu berubah, tumbuh berulang, meluas tanpa batas waktu, bakal menemukan strukturnya dengan sangat personal di telinga pendengar. Di balik kompleksitas bunyi yang berulang itu, bunyi drone dari instrumen kadedek ini dapat menjadi latar belakang, latar utama (depan), landasan wujud, dan wujud itu sendiri. Drone, membebaskan peristiwa bunyi dari konvensi dan strukturnya.
Abang Bunau (62) adalah satu-satunya pembuat kadedek yang tersisa di masyarakat Kebahan, Desa Engkurai, Kalimantan Barat. Pendudukan lahan dan hutan oleh perusahaan dan perkebunan sawit merenggut kehidupan banyak sekali varietas tumbuhan di Kalimantan. Alat musik kadedek turut mengalami ancaman kepunahan itu sebab seluruh material dari alat musik tersebut berasal dari hutan-hutan Kalimantan.
Sejak pertengahan tahun 1990-an, ia telah berpartisipasi dalam banyak pameran seni internasional dan festival film dengan media film, video, instalasi, foto, dan pertunjukan. Pada tahun 2002, filmnya Shoes for Europe ditampilkan di Documenta11. Pada tahun 2003, Brăila memulai proyek unik Alte Arte di Moldova–sebuah program televisi tentang seni kontemporer, yang diproduksi oleh seniman dan ditayangkan di TV nasional Moldova. Pada tahun 2007, sebagai seniman residensi DAAD Berliner Künstlerprogramm, Pavel Brăila mempresentasikan instalasi monumentalnya Barons’ Hill di Neue Nationalgalerie di Berlin. Selama satu bulan, selama 24 jam sehari, video enam kanal miliknya memanfaatkan transparansi arsitektur Mies van der Rohe dan membuat karyanya dapat diakses secara visual dan auditif oleh pengunjung di luar bangunan. Filmnya yang berjudul Definitively Unfinished memenangkan penghargaan pada tahun 2009 di Festival Film Internasional Oberhausen. Pada tahun 2011, Braila mempresentasikan Chisinau-city difficult to pronounce, sebuah karya video berbentuk empat kanal yang ia buat untuk pameran di Galerie Art Point (Wina), yang membahas kehidupan sepanjang satu tahun di Chisinau dan memberikan impresi tentang ibu kota Moldova melewati empat musim. Pada tahun 2012, diundang oleh Technisches Museum Wien untuk membuat intervensi di museum, Pavel Brăila membuat penghormatan kepada mesin tik, Ink Ribbon Fingerprints, sebuah instalasi skala besar, proyeksi video, dan pertunjukan langsung–instalasi ini dipamerkan untuk publik hingga Maret 2013. Proyek Talking Letters yang dipresentasikan pada tahun 2013 adalah penelitian film tentang Bahasa Romani, dibuat selama dua tahun di lima negara. Pada tahun 2014, Pavel Brăila, yang terpilih sebagai seniman dalam Manifesta10, melakukan serangkaian pertunjukan di beberapa ruang publik di Saint Petersburg. Pada tahun 2015, proposal Pavel Brăila terpilih sebagai konsep artistik untuk Paviliun Moldova
pertama kali di World Expo di Milano 2015. Pada tahun 2017, Pavel Brăila untuk kedua kalinya menjadi bagian dari pameran seni besar documenta 14, karyanya dipresentasikan di Athena dan Kassel.
Instalasi video tiga saluran, warna/suara, 8 menit (tarian Hora Sărbătorii)
Atas perkenan Seniman
Didirikan pada tahun 1945, Joc adalah salah satu ansambel terpenting di Uni Soviet, dengan lebih dari 7.000 pertunjukan yang telah ditampilkan di seluruh dunia. Pada kesempatan World Expo 2015, Pavel Brăila membuat rekaman profesional pertama dari ansambel yang memainkan tarian tradisional Moldova, diedit bersama dan disajikan dalam instalasi video tiga saluran. Kesempurnaan sinkronisasi kolektif dan ledakan vitalitas ditangkap oleh kamera di panggung besar, tanpa penonton, terlepas dari kemeriahan cerita rakyat apa pun dan karenanya hampir menjelma menjadi abstraksi. Dalam tarian seperti itu, seseorang dapat mengenali gema dari balet Rusia dan perayaan Soviet di mana berbagai budaya nasional dipadukan dan ditekankan, sedangkan bebunyian tersebut merupakan satu-satunya ekspresi tradisi yang sedikit dimodifikasi, yang mengingatkan pada ritual pagan. Dalam rangkaian representasi nasional atau etnis yang absen dalam pameran di Eropa akibat nasionalisme yang semakin agresif, Pavel Brăila berhasil melakukan pembajakan simbol yang biasanya digunakan oleh retorika tradisionalis yang unik dan menjadikannya rezim kontemporer. JOC. Energy of Life adalah sebuah film dokumenter yang megah dan, pada saat yang sama, salah satu monumen sinematografi yang dibangun sang seniman untuk negaranya setelah Shoes for Europe dan Chisinau–sebuah kota yang sulit untuk diucapkan. (Teks oleh Raluca Voinea)
Pushpakanthan Pakkiyarajah lahir di 1989, Batticaloa, Sri Lanka; tinggal dan bekerja di Batticaloa, Sri Lanka. Pushpakanthan Pakkiyarajah belajar seni di jurusan seni dan desain University of Jaffna, dan menamatkan masternya dengan beasiswa Fullbright di University of Illinois, Chicago (UIC). Pushpakanthan menerima South Asia Studies Fellowship di Cornell University (NY) pada 2018, dan mendapat pengalaman sebagai Visiting Fellowship (GCRF) pada University of Essex (UK) pada 2020. Pushpakanthan baru-baru ini menjadi bagian dari Thinking Historically in the Present the 15th Sharjah Biennial yang disusun konsepnya oleh almarhum Okwui Enwezor dengan kurator Hoor Al Qasimi. Pada 2023 menggelar pameran tunggal di Brief Histories gallery di New York.
Sebagai seniman aktivis selama sepuluh tahun terakhir, ia berupaya menjadi saksi dari perang sipil Sri Lanka dan menampilkan suara yang terpinggirkan melalui karya-karyanya. Dengan pendekatan lintas disiplin yang merefleksikan warisan yang penuh kepedihan dan sering dibungkam selama masa perang sipil, ia mengombinasikannya dengan sisi dunia yang gelap akibat dampak globalisasi. Sering kali ia tak ingin berada dalam posisi yang mapan, sehingga ia terus menggali sejarah kekerasan dan warisan trauma yang dibawa masyarakat ke dalam dirinya. Dalam menggarap masa lalu yang dilenyapkan, ia bertujuan untuk bisa terlibat dalam proses penyembuhan dengan menciptakan ruang pertemuan memori bagi warga yang hidup dalam periode waktu tersebut. Ia telah berpartisipasi dalam berbagai pameran seperti di Herbert F. Johnson Museum of Art at Cornell University, New York, dan Sharjah Art Foundation, UAE.
Instalasi Video
Atas Perkenaan Seniman
Rahmadiyah Tria Gayathri, seniman lintas disiplin, produser film, peneliti, dan praktisi pengurangan resiko bencana. Salah satu pendiri kolektif Forum Sudut Pandang berbasis di Kota Palu, sejak tahun 2014 aktif menginisiasi proyek-proyek seni antar kolektif sebagai manajer, produser, dan penata artistik. Setelah menjadi penyintas bencana di Kota Palu pada tahun 2018, ia berkomitmen untuk mengintervensi proses penciptaan pengetahuan kebencanaan dan sejarah kawasan melalui praktik seni.
Video
Durasi 01:59’
Puisi naratif ini dikonstruksi sebagai upaya untuk menghadirkan suara Emiria Soenassa Wamana Poetri Al Alam Se Emma Wilhemina Parera, seseorang yang meninggalkan nama besarnya sebagai pelukis perempuan pertama, putri dari kerajaan tua, peracik dan pengembara, yang sampai hari ini tidak benar-benar dikenal di kampung halamannya. Video ini dibingkai menggunakan latar kain dan cahaya redup dari belakang untuk bermain-main dengan bayangan sebagai sesuatu yang tidak pernah dikenal.
Raluca Popa lahir pada 1979 di Romania. Ia belajar di Byam Shaw School of Art-Central Saint Martins, London dan di The University of Art and Design, Cluj. Tinggal dan bekerja di Berlin.
Pameran tunggal dan kelompoknya baru-barunya misalnya Source, Gaep, Bucharest, 2023; Time Lines, Gaep, Bucharest, 2022; 22 Women Artists, Stations, Berlin, 2022; Sinopale 8, International Sinop Biennial, Turkey, 2022; Goodbye, Sarotti!, Soft Power Project Space, Berlin, 2021; Cadence: Video Poetry Festival 2021 (with Simona Nastac), Northwest Film Forum, Seattle, 2021; 2012 Alphabet Book/ Abecedar 2012, The Last Archive by Vlad Basalici & Tranzit Bucharest, 2020; Viral Self-Portraits, MG+MSUM, Ljubljana, 2020; How to Disappear, Gaep, Bucharest, 2019, pameran tunggal; Polyphonic, StAnza Scotland’s International Poetry Festival, St. Andrews, 2019; Truth lies not only in a dream, but in many dreams, Eastwards Prospectus, Bucharest, 2018; The Unpleasant Show, Jecza Gallery, Timișoara, 2018; Life a userʼs manual, Art Encounters, Timișoara, 2017; Sinopale 6, International Sinop Biennial, Turkey, 2017. Raluca Popa adalah anggota dari Collection Collective, sebuah percobaan dari koleksi seni internasional yang didirikan, dimiliki dan dikelola oleh anggota-anggotanya dan anggota The Experimental Station for Research on Art and Life, Siliștea Snagovului, yang diinisiasi oleh Tranzit Bucharest.
Video satu salruan
Atas perkenan Seniman
Karya yang dipresentasikan untuk Jogja Biennale ini mengambil titik tolak hubungan antara tindakan memetik buah/bunga dan pengumpulan gambar/materi visual untuk mempertanyakan efek gambar terhadap pemirsa dan cara bawaan kita dalam memandang dunia. Karya video tersebut menampilkan gambar-gambar dari berbagai subjek (bunga, binatang, pemandangan alam, gunung, hutan, bangunan manusia, tema religi dan seni, dll) yang telah dipotong dari majalah oleh ibu Raluca dan diberikan kepadanya sebagai kumpulan gambar yang menjadi inspirasi atau bahan karyanya. Gerakan ini mengingatkan Raluca akan kenangan masa kecilnya, sebuah permainan yang biasa dia mainkan bersama saudara perempuannya di mana mereka akan memilih satu ilustrasi dari setiap halaman buku bergambar besar dan mengklaim gambar-gambar itu sebagai “milik mereka”. Di Yogyakarta, Raluca memetik bunga dari hutan, pinggir jalan, dan tempat-tempat yang ia lewati dan menempelkannya di sela-sela halaman buku catatannya. Video ini menyatukan semua materi visual yang berbeda dalam bentuk tayangan slide untuk menyoroti masalah memilih subjek, efek gambar yang menipu, dan kemampuan kita membaca tanda-tanda dari gambar tersebut (dipinjam dari konsep dari titen yang mengacu pada pembacaan tanda-tanda dari alam).
Rosvita Sensiana adalah penenun dan penggerak komunitas adat di kampung Watublapi, Kabupaten Sikka. Ia mendirikan Sanggar Watubo pada 2014. Watubo sendiri berasal dari dua suku kata bahasa Krowe, watu: batu dan bo: nafas/nyawa. Sesuai dengan filosofinya, Watubo didirikan sebagai ruang bagi para penenun yang umumnya adalah mama-mama dan warga yang setiap hari hidup dengan mengusahakan sumber daya alam dan budaya di sekitar mereka. Selain fokus mengembangkan beberapa ragam kesenian seperti tenun ikat, musik serta tari tradisional, bersama Watubo, Rosvita juga aktif menggerakan kewirausahaan sosial untuk penguatan warga aktif.
Caroline Rika Winata lahir tahun 1976, di Bandung dan tinggal serta bekerja di Yogyakarta. Karya Caroline Rika Winata didasarkan pada tekstil tradisional Indonesia yang terkadang ia menambahkan teknik lain yang bersumber dari perjalanannya. Karya tekstilnya serba guna, memungkinkannya tampil dalam seni kontemporer, desain interior dan peragaan busana serta pertunjukan tari. Praktiknya sering menggunakan idiom bahasa Indonesia untuk menjawab pertanyaan tentang material dan budaya populer atau isu diskriminasi budaya yang berkaitan dengan warisan Tionghoa yang ia geluti.
Ruang Perempuan dan Tulisan adalah kolektif perempuan penulis yang membaca, meneliti, dan membicarakan kiprah para perempuan penulis Indonesia. Didirikan pada 2018 dengan seorang inisiator dan dua belas orang anggota, kolektif ini mengumpulkan informasi dan mengolah data mengenai kiprah dan karya perempuan penulis Indonesia dalam bentuk kajian yang komprehensif dan ilmiah populer, sehingga karya-karya tersebut lebih dikenal dan diapresiasi.
Kolektif ini berharap dapat mendorong tumbuhnya para perempuan penulis dan peneliti muda Indonesia yang sadar akan pentingnya narasi perempuan yang berdaya demi terwujudnya sebuah ekosistem sosial dan budaya yang inklusif; menyediakan wadah untuk arsip karya perempuan penulis Indonesia yang dikelola secara aktif; serta menghadirkan karya, profil, dan kiprah para perempuan penulis kepada publik dalam berbagai bentuk dan kegiatan.
Ruang alternatif yang mewadahi aktivitas seni dan budaya kontemporer, berbasis di Makassar sejak tahun 2019. Saat ini dikelola secara swadaya oleh lima unit kerja dan dua unit usaha dengan ketertarikan yang berbeda, yaitu; BONFIRE (Creative Agency), NARA (New Media), RITUS (Street Art), SWARA SLEBOR (Music), dan SERIKAT KATULISTIWA (Film), serta unit usaha kuliner OPSI COFFEE dan RGB SMOKE PIT. SIKU menyediakan ruang untuk tumbuh kembang melalui pendekatan kolaboratif lintas disiplin dan fasilitas untuk berkegiatan bersama. Dalam prosesnya, SIKU mengeksplorasi teori dan praktik untuk membuka kemungkinan-kemungkinan baru dalam membaca isu-isu dan situasi terkini dengan sumber daya yang tersedia di sekitar.
Instalasi arsip dan Video
Karya-karya Black Brothers hidup dalam memori kolektif orang Papua dan tersebar cukup luas di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur. Lagu-lagu mereka tersebar melalui radio, juga kaset dan CD. Salah satu modus penyebarannya adalah melalui angkot/bemo/pete-pete, atau moda transportasi umum yang merakyat di wilayah timur. Lagu-lagu mereka juga familiar di tongkrongan atau dipakai untuk karaoke di rumah-rumah warga.
Di balik lagu-lagu cinta dan kemanusiaan yang marak merebak, tidak banyak yang tahu kisah dan kiprah Black Brothers, baik dalam kancah musik Indonesia maupun dalam aktivisme kultural yang lebih luas. Black Brothers sebagaimana Mambesak yang dipelopori Arnold Ap sesungguhnya bisa juga dibaca sebagai gerakan kultural yang menentang represi dan otoritarianisme di Papua. Pernyataan mereka jelas: selama tak ada keadilan di Papua, warga Papua berhak menentukan nasib mereka sendiri.
Arsip yang dipamerkan ini bisa disikapi sebagai jendela atau pemantik sangat awal untuk penelusuran lebih jauh terkait karya dan kisah Black Brothers.
Sony Rai bekerja dalam kelompok masyarakat adat Kirat di Nepal. Dia menekuni seni grafis dalam studi sarjana di Lalitkala Campus. Dia kemudian meneruskannya dengan gelar master di tempat yang sama.
Sony Rai menggunakan teknik grafis yang merupakan laku kreatif dan kontemplatif. Menggunakan aquatint dan cetak kayu, ia menjelajahi perubahan generasi dan pergeseran budaya. Ia ingin agar karyanya dapat menjadi ruang menceritakan narasi yang bisa dimengerti banyak orang.
Melalui seni, ia ingin menekankan nilai penting kebudayaan dan bagaimana budaya membawa kita terhubung dengan masa lalu. Dalam dunia yang berubah cepat, karyanya membawa kita pada kebijaksanaan dan pengalaman generasi tua yang sangat bisa beradaptasi dengan budaya baru. Masyarakat berpindah dari desa ke kota, atau kadang ke negara lain. Mereka mengalami cara hidup yang baru dan belajar menyesuaikan diri dengan kondisi baru sebagaimana yang dibutuhkan keluarganya.
Cukil kayu, lino, cetakan aquatint pada kertas dan tekstil, tekstil tenun
Atas perkenan Seniman
Sony Rai adalah seniman dari komunitas Pribumi Kirat. Dipengaruhi oleh pengalaman diasporanya sendiri, dia merefleksikan perasaan terlantar dan rindu. Karya terbarunya menyelidiki tentang kesenjangan generasi, penggantian benda-benda budaya, dan konsekuensi abadi dari migrasi paksa terhadap keturunan masyarakat adat termasuk mereka yang bertugas di berbagai Resimen Gurkha. Ketika perempuan pergi bersama suaminya ke kamp militer atau polisi di Hong Kong, Brunei, Singapura, atau Inggris, mereka sering kali menenun tekstil sebagai upaya untuk menghubungkan dan membentuk kembali komunitasnya. Upaya tersebut diambil dari praktik menenun yang dilakukan secara paralel di desa-desa di seluruh Nepal, sebuah tradisi yang merupakan inti dari transmisi pengetahuan masyarakat adat. Dengan mengacu pada signifikansi emosional, kekeluargaan, dan genealogis dari tekstil, ia bergulat dengan kerumitan dalam mendefinisikan rumah dan kepemilikan bagi komunitas yang identitasnya bergantung pada translokasi.
TacTic Plastic adalah kolektif seni yang bekerja dengan sampah plastik sebagai bahan utamanya. Mereka prihatin dengan pencemaran plastik yang berbahaya dan memengaruhi kelangsungan hidup makhluk hidup, termasuk manusia. Salah satu inisiatornya, Mutia Bunga, mempunyai latar belakang seni lukis, lulus dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dengan menciptakan berbagai instalasi berbahan plastik ini, TacTic menjalankan serangkaian eksperimen untuk mengolah sampah plastik, termasuk memikirkan proses sanitasi yang ramah lingkungan, dengan beragam teknik seperti menghaluskan, mengurai, melelehkan, mencetak dan berbagai teknik lainnya untuk mengubah plastik menjadi material siap pakai dalam membuat karya.
Penciptaan karya menjadi bagian dari metode TacTic Plastic untuk mengampanyekan bagaimana manusia perlu menjaga hubungan dirinya dengan alam, dengan makhluk hidup lain untuk merawat seluruh semesta. Untuk itu TacTic juga melakukan riset-riset yang berkait dengan berbagai konteks perawatan dan perbaikan terhadap alam yang bersumber pada filsafat dan pengetahuan lokal yang diwariskan pada nenek moyang. Karena itu kerja lintas disiplin dengan para peneliti, ahli sains, aktivis, dan sebagainya menjadi bagian penting dalam proses kreatif TacTic.
TacTic Plastic telah terlibat dalam pameran-pameran seperti Art Jog, kolaborasi dengan Ridwan Alimuddin untuk Biennale Jogja 2019, pameran tunggal di Museum Atsiri, dan berbagai program bersama organisasi-organisasi sosial dan lingkungan.
Sampah kantong plastik, sampah botol plastik, tanaman pangan
TacTic Plastic adalah kolektif seni yang bekerja dengan sampah plastik sebagai bahan utamanya. Mereka prihatin dengan pencemaran plastik yang berbahaya dan memengaruhi kelangsungan hidup makhluk hidup, termasuk manusia. Salah satu inisiatornya, Mutia Bunga, mempunyai latar belakang seni lukis, lulus dari Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Dengan menciptakan berbagai instalasi berbahan plastik ini, TacTic menjalankan serangkaian eksperimen untuk mengolah sampah plastik, termasuk memikirkan proses sanitasi yang ramah lingkungan, dengan beragam teknik seperti menghaluskan, mengurai, melelehkan, mencetak dan berbagai teknik lainnya untuk mengubah plastik menjadi material siap pakai dalam membuat karya.
Penciptaan karya menjadi bagian dari metode TacTic Plastic untuk mengampanyekan bagaimana manusia perlu menjaga hubungan dirinya dengan alam, dengan makhluk hidup lain untuk merawat seluruh semesta. Untuk itu TacTic juga melakukan riset-riset yang berkait dengan berbagai konteks perawatan dan perbaikan terhadap alam yang bersumber pada filsafat dan pengetahuan lokal yang diwariskan pada nenek moyang. Karena itu kerja lintas disiplin dengan para peneliti, ahli sains, aktivis, dan sebagainya menjadi bagian penting dalam proses kreatif TacTic.
TacTic Plastic telah terlibat dalam pameran-pameran seperti Art Jog, kolaborasi dengan Ridwan Alimuddin untuk Biennale Jogja 2019, pameran tunggal di Museum Atsiri, dan berbagai program bersama organisasi-organisasi sosial dan lingkungan.
Kayun Kalamangsa: Ngrumat Arep menjadi karya yang merespons permasalahan cuaca yang berimbas pada tanah. Karya ini sebagai representasi dari alternatif yang mulai dihadirkan untuk merespon keadaan alam yang kian berubah. Merosotnya kepercayaan Pranata Mangsa di masa kini dapat menjadi sebuah peringatan bahwa alam membutuhkan perhatian dan solusi untuk kian mendesak. Ngrumat Arep dikorelasikan pada harapan-harapan yang diharapkan dapat terus hidup di tengah perubahan kepercayaan masyarakat terhadap mangsa atau musim. TacTic Plastic mencoba menawarkan alternatif lain bagi masyarakat untuk tetap dapat mengolah limbah plastik sekaligus memanfaatkannya sebagai media tanam yang lebih menarik melalui terobosan karya seni Plasticdama (pot gantung dari plastik) yang merupakan karya kolaborasi eksklusif antara TacTic Plastic dan Rumah Atsiri Indonesia saat mengikuti program residensi di Rumah Atsiri Indonesia pada bulan November 2022 hingga Januari 2023 lalu.
The Station merupakan perusahaan patungan dari sekelompok seniman, kurator, ahli teori, ekonom, dan lainnya, yang bersama dengan tranzit.ro, memiliki dan mengelola sebidang tanah di desa Silistea Snagovului, 30 kilometer utara Bucharest, dekat dengan kawasan alam yang dilindungi (hutan dan danau). The Station berkembang secara organik, mengintegrasikan berbagai komunitas di dalam prosesnya. Ia tumbuh seiring berjalannya waktu, yang memungkinkan orang untuk memasukkannya ke dalam kesadaran mereka. Anggota The Station meliputi orang-orang dan berbagai institusi berikut ini: Anca Benera, Andrei Gavril, Arnold Estefan, Dana Andrei, Eduard Constantin, Florian Niculae, Iuliana Dumitru, Livia Pancu, Maria Eichhorn, Marius Babias, Olivia Mihălțianu, Ovidiu Țichindeleanu, Raluca Popa, Raluca Voinea, Stoyan Dechev, Thomas Poeser, Vlad Basalici dan Asosiasi tranzit.ro.
Raluca Voinea adalah seorang kurator dan kritikus seni yang berbasis di Bucharest. Sejak tahun 2012, ia adalah co-director dari tranzit.ro Association. Dari tahun 2012 hingga 2019, ia mengelola ruang tranzit.ro di Bucharest, yang mencakup galeri seni, kebun komunitas permaculture, dan sebuah ‘Orangery’ (ruang untuk menampung tanaman dan ide-ide yang rentan), semuanya dikembangkan secara organik dan sebagai respons terhadap konteks lokal dan kerangka internasional.
Mulai tahun 2021, gagasan dan pendekatan yang membentuk ruang ini dilanjutkan dalam proyek baru, The Experimental Station for Research on Art and Life, proyek kolektif yang direalisasikan oleh tranzit.ro bersama sekelompok seniman, kurator, teoris, ekonom, dan pekerja budaya lainnya di desa Silistea Snagovului, 40 kilometer di sebelah utara Bucharest. Karya-karyanya berlandaskan pada konteks lokal, tetapi terbuka untuk kolaborasi lintas dunia dan lintas disiplin.
U Bat Sat adalah nama samaran untuk seniman yang juga aktif sebagai aktivis sosial ini. Ia lulus dari Fakultas Seni Rupa di Chiang Mai University Thailand. Ia melanjutkan gelar master dalam bidang Religi dan Filsafat di Faculty of Humanities, Chiang Mai University, serta Doktoral untuk subjek Buddhisme di University Mahachulalongkornrajavidyalaya.
U Bat Sat berfokus pada praktik kolektif dengan upaya untuk menciptakan pemahaman tentang orang-orang dalam situasi krisis. Dengan berkolaborasi bersama musisi, petani, pengrajin, ahli masak, dan sebagainya, U Bat Sat menciptakan wahana di mana setiap orang berpartisipasi dan beraktivitas dalam masyarakat yang sehat. Pameranpamerannya meliputi The Sleeping Volcano On Crazy Star (2012); MUANG NAI (S) MOG (2013); Across the sea of star (2017); Semiotics of Seven Sian Samurai (2019); pameran tunggal SOX STARS (CMU Art & Culture Center, Maret 2019); dan Entwine: Maybank Women Eco-Weavers Travelling Exhibition (National Museum of Singapore, 2019). Ia juga berpartisipasi Rikuzentakata Artist in Residence Program di Jepang, 2017.
Cat Minyak di atas papan
500x280 cm
Video satu saluran
Seri witness from last night lahir dari perjalanan U Bat Sat menelusuri bagaimana para petani di kawasan Khon Pi Luang, sebuah area pegunungan batu berpasir yang memberi dinamika ekologis di sepanjang sungai Mekong, bergelut dengan perubahan situasi pasca pembangunan infrastrukrur. Terletak di distrik Chiang Khong, Chiangrai, kawasan ini terdiri dari 11 ekosistem unik asli Sungai Mekong, tempat berbagai spesies mencari makan, merawat, dan berlindung. Hal ini juga memberi nutrisi bagi masyarakat di sepanjang kedua sisi sungai dengan menyediakan lahan perikanan dengan kondisi sempurna bagi organisme air tawar asli untuk berkembang. Khon Pi Luang juga memperkaya komunitas secara spiritual. Ada banyak cerita rakyat yang berkembang di masyarakat lokal untuk menjawab keingintahuan mereka terhadap alam mistis, serta menjadi tempat asal–identitas mereka.
Unhistoried adalah sebuah proyek berbasis arsip yang diinisiasi oleh Arif Furqan and Reza Kutjh pada 2017. Proyek ini berfokus pada upaya mengumpulkan, mengarsipkan, dan meneliti foto-foto keluarga Indonesia sebagai artefak sejarah yang menggunakan perspektif personal dan domestik. Unhistoried juga menjelajahi kemungkinan arsip sebagai kerja artistik dan publikasi. Mayoritas koleksi kami beririsan dengan arsip keluarga Indonesia selama masa Orde Baru (1970-an hingga 1980-an).
Proyek ini bertujuan mengaktifkan arsip keluarga, sebuah sumber referensi sejarah untuk memeriksa, menantang dan membalikkan pusat dari penulisan sejarah. Dengan berfokus pada narasi domestik dan pinggiran, kami mencoba memberi tawaran lain dari sejarah arus utama yang sudah terdisrupsi oleh kontrol negara selama 32 tahun. Dua sumber utama koleksi kami adalah upaya mengadopsi foto yang kami temukan secara acak, dan kedua, foto-foto yang didapatkan dari hasil donasi. Dari sumber dan material tersebut, ada beberapa tema kerja untuk proyek ini; (1) memetakan praktik fotografi yang ada dalam keluarga Indonesia (1960-an hingga 1990-an), (2) narasi domestik sebagai tantangan performatif terhadap sejarah, dan (3) arsip keluarga sebagai objek artistik.
Instalasi kain, objek jadi, barang temua
Dimensi Variabel
Proyek ini bertujuan mengaktifkan arsip keluarga, sebuah sumber referensi sejarah untuk memeriksa, menantang dan membalikkan pusat dari penulisan sejarah. Dengan berfokus pada narasi domestik dan pinggiran, kami mencoba memberi tawaran lain dari sejarah arus utama yang sudah terdisrupsi oleh kontrol negara selama 32 tahun. Dua sumber utama koleksi kami adalah upaya mengadopsi foto yang kami temukan secara acak, dan kedua, foto-foto yang didapatkan dari hasil donasi. Dari sumber dan material tersebut, ada beberapa tema kerja untuk proyek ini; (1) memetakan praktik fotografi yang ada dalam keluarga Indonesia (1960-an hingga 1990-an), (2) narasi domestik sebagai tantangan performatif terhadap sejarah, dan (3) arsip keluarga sebagai objek artistik.
Museum dan monumen menjadi salah satu senjata utama indoktrinasi serta fabrikasi sejarah. Mereka bukan hanya sekedar struktur fisik yang hadir di tengah publik, tetapi juga disertai mitos-mitos yang mendarah-daging dalam alam bawah sadar serta membentuk lanskap memori dan kultural. Sejak lengsernya Orde Baru seperempat abad lalu, relevansi narasi sejarah mungkin mulai mengalami erosi. Beberapa museum dan monumen mulai terabaikan dan tak terawat. Narasi rezim mungkin tergerus, namun tak sepenuhnya musnah. Ia menjelma hantu-hantu yang bergentayangan dalam pusar sistem dan kesejarahan, tak kasat mata namun hadir menyelimuti, lampau namun membekas jelas dan mencengkeram.
Karya ini berupaya menampilkan distorsi terhadap (fungsi) ruang museum dan benda-benda 'bersejarah' dengan menampakkan selubung atau mitos yang menyelimutinya. Kami merespon salah satu ruang di Monumen Bibis dengan melakukan penataan ulang serta perlakuan tertentu pada koleksi benda-benda di museum mini ini. Melalui penampakan selubungnya, kami mengandaikan kerentanan, kekaburan, serta distorsi dalam narasi sentralistik rezim yang cenderung mengglorifikasi pihak tertentu.
Vincent Rumahloine adalah seniman kontemporer yang menyelami fabrikasi sosial dan aspek keseharian dan pendekatan yang penuh permainan dan keterkejutan. Praktik artistiknya berkisar tentang orang-orang, mengeksplorasi subjek yang beragam, seperti isu sosial, hak asasi, nilai tradisi, memori kolektif, dan narasi sejarahyang diimajinasikan ulang. Ia menerima Bandung Contemporary Art Award in 2019. Proyeknya, Don’t Call Me A Hero, dipamerkan Lawangwangi Art Gallery di Bandung dan menggali cerita dari seorang eksil Indonesia di Praha yang kehilangan kewarganegaraannya akibat tragedi 1965.
Karya Vincent menjadi jembatan untuk mengurangi kesenjangan sosial dengan memasukkan sentuhan dari yang tertinggal, dan menggunakan strategi artistik untuk terlibat dalam kehidupan dan pengalaman mereka yang sering tak tampak dalam dunia seni. Vincent lulus dari studio keramik ITB pada 2009 dan setelahnya telah berkontribusi secara signifikan sebagai guru seni dan pekerja sosial.
Proyek lintas disiplinnya baru-baru ini dikembangkan dengan kolaborasi bersama Mang Dian semasa pandemi 2020, menjelajahi pertemuan antara agrikultur, seni, sains, musik, pengetahuan ekologis tradisional dan komunitas. Projek ini disebut sebagai Sedekah Benih, dan telah dipilih sebagai satu dari tujuh contoh awal pada Driving The Human Festival dan dipamerkan di berbagai tempat seperti Bandung, Radial System Berlin, Waisenhausplatz Pforzheim, Silent Green Berlin, dan ZKM Karlsruhe.
Video satu saluran
Dalam seri karya ini Vincent mencoba merentang jejak sejarah berkait dengan relasi antara Indonesia dengan negara-negara di kawasan Eropa Timur, terutama berfokus pada kehidupan eksil Indonesia yang tinggal di Ceko setelah terjadinya peristiwa 1965. Vincent merekam kisah-kisah yang tersimpan dari mereka yang kehilangan rumah dan mesti membangun identitas baru dalam lanskap kehidupan yang memisahkan mereka dengan keluarga, kehidupan komunal dan budaya asal. Pada kisaran 1960-an, ada banyak mahasiswa Indonesia yang dikirim ke negara-negara sosialis, terutama Eropa Timur, membangun jejaring transnasional baru pasca terbentuknya poros Non-Blok. Tidak hanya dengan kawasan Asia, Gerakan Non Blok menghubungkan pula Kawasan Eropa Timur dengan Afrika, dan membangun solidaritas baru untuk mengimbangi dominasi negara imperialis. Kisah-kisah mereka menjadi cermin tentang periode sejarah yang dinamis untuk menciptakan kartografi dunia yang baru, tetapi juga tragedi kemanusiaan tentang pemisahan.
Wahyudi Anggoro Hadi lulus sebagai sarjana farmasi dan memperoleh profesi apoteker dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Saat ini ia menjabat sebagai Lurah Panggungharjo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Di masa jabatannya, Pak Wahyudi mendirikan BUMDes sebagai upaya untuk memanfaatkan sumber daya ekonomi desa sekaligus ditujukan sebagai upaya untuk memberikan akses kepada kelompok rentan (lansia, perempuan kepala keluarga, pemuda putus sekolah, mantan preman, mantan anak jalanan, ODGJ) untuk memperoleh sumber penghidupan yang layak. Ia juga menjalankan program Bapel JPS (Badan Pelaksana Jaring Pengaman Sosial), sebuah lembaga desa yang berperan dalam memberikan pelayanan dan perlindungan sosial khususnya bagi kelompok rentan melalui beberapa skema: Program Rumah Sewa Sederhana; Program Perawat Desa; Perlindungan Kesehatan Ibu dan Anak melalui Kartu KIA yang memberikan layanan gratis bagi ibu hamil dan balita, perlindungan bidang pendidikan melalui program satu rumah satu sarjana. Beberapa proyek inovatifnya antara lain: pasardesa.id, pastiangkut. id, dan Yayasan Sanggar Inovasi Desa. Pada tahun 2020, ia menginisiasi Kongres Kebudayaan Desa bekerjasama dengan Kementerian Desa PDTT, KPK RI, GiZ dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Ia kerap tampil untuk membawa materi dalam forum-forum dan memperoleh banyak penghargaan berskala nasional maupun internasional.
Arsip-arsip ini adalah rancang bangun kawasan budaya Karang Kitri yang memadukan unsur ekologi, budaya, dan partisipasi politik warga.