Tentang

Tentang

Titen: Pengetahuan Menubuh-Pijakan Berubah

Previous slide
Next slide

“Titen: Pengetahuan Menubuh-Pijakan Berubah” adalah judul yang dipilih untuk mencerminkan gerakan yang beragam tetapi saling beririsan dengan praktik selatan global dan hubungan historis ke lintasan Selatan ke Selatan. Dipinjam dari bahasa Jawa, tempat desa-desa di mana pameran ini terselenggara, kata titen dipilih untuk mendekatkan peristiwa seni ini dengan masyarakat setempat. Titen atau Niteni dalam bahasa Jawa (ilmu titen), secara kepercayaan bersama, diartikan sebagai kemampuan atau kepekaan membaca tanda-tanda dari alam. Ilmu titen biasanya digunakan untuk membaca fenomena alam sebelum terjadi bencana, atau untuk memutuskan suatu tindakan yang diperlukan untuk merespon dan mengantisipasi alam. Ilmu titen didasarkan pada pola pengamatan alam yang berulang-ulang, sehingga pola ini nantinya menjadi acuan untuk menafsirkan fenomena alam dan membentuk narasi ilmiah tertentu dari kepercayaan lokal. Pemilihan kata ini telah menggarisbawahi kerangka kuratorial pada dekolonisasi produksi pengetahuan, yang belakangan ini diangkat sebagai perlawanan terhadap metodologi Barat yang dominan, dan pada saat yang sama menegaskan keberpihakan kuratorial pada metode yang berangkat dari kehidupan yang melibatkan manusia-bukan manusia serta lingkungan alam.

Menggunakan Bahasa lokal untuk menandai sebuah peristiwa seni transnasional juga menjadi sebuah ruang untuk mendekat pada entitas yang menjadi subjek dalam peristiwa tersebut. Identitas Bahasa sendiri merupakan bagian dari narasi pengetahuan yang kompleks yang juga dituju sebagai arah dalam penyelenggaraan BJ 17 2023, yang secara tegas menunjukkan pergeseran visi estetik dan ideologis dengan pilihan untuk secara langsung memasuki ruang kehidupan desa dan membangun praktik sosial artistik bersama warga. Pertemuan beragam Bahasa menunjukkan keterbukaan terhadap kemungkinan dan pertemuan baru, dari percakapan antar budaya dan antar generasi, untuk membangun imajinasi kehidupan bersama yang lebih adil dan setara.

Dalam Pengetahuan Menubuh dan Pijakan Berubah, para kurator bekerja untuk menerjemahkan narasi dan pemikiran yang berlangsung di sekitar beragam kata kunci yang terbentang luas. Secara acak, berikut kumpulan kata kunci yang menjadi titik pijak kerja kuratorial: pembangunan, modernitas, tradisi, berkebun-bertani, privatisasi, kolektivitas, ibu pertiwi, negara modern, keluarga, keragaman, suara pinggiran, sejarah perempuan, sejarah lisan, pariwisata, urbanisme, pasar, ko-eksistensi, keragaman, pertemuan artistik, gerakan dekolonial, pengetahuan adat, cerita asal usul perawatan, kekerabatan, kerabat yang ditemukan, anarki hubungan, non biner, dewi /roh, pembagian sumber daya, pertumbuhan kolektif, praktik berbasis shaman dan alam, waktu non linier, tekstil sebagai pemegang sejarah, non fundamentalis, non monolitik, pluralitas, ruang merebut identitas kembali, sosiologi pedesaan, keramahtamahan, perawatan dan perbaikan (melalui mengepang, menambal, menyiram, dll), budaya pertanian, politik pangan, ketahanan, memulihkan diri, kolektivitas perempuan, ruang pinggiran, suara perempuan dan mendongeng sebagai agensi baru, penggunaan kembali, tata kelola mandiri, kepemilikan bersama, warisan, kesadaran alam, keberlanjutan, timbal balik, dekolonisasi dan pasca-sosialisme, ritual.

Trans-Lokalitas & Trans-Historisitas

Melalui dua kata kunci ini, Biennale Jogja Equator Putaran Kedua berupaya untuk melanjutkan cita-cita bersama untuk menjadi bagian dari penulisan ulang sejarah seni dunia dan berkontribusi pada proyek dekolonisasi seni, terutama yang berfokus pada mempertanyakan Kembali definisi dan kerangka geopolitik dunia. Pada Biennale Jogja Equator Putaran Pertama; gagasan tentang geopolitik dan internasionalisme baru dengan jelas merujuk pada sebuah wilayah fisik dalam peta (23 derajat LU dan 23 derajat LS), dan sukses mendapatkan perhatian dari berbagai pihak terkait kritisisme yang ditawarkan dan interpretasinya atas peta dunia seni baru. Bekerja sama dengan India, Arab, Nigeria, Brazil, Asia Tenggara dan Pasifik, Biennale Jogja berhasil mempertemukan narasi-narasi sejarah yang tersembunyi, serta melihat kembali jaringan internasionalisme global selatan yang didasarkan pada banyak kesamaan lanskap, iklim, kebudayaan, spiritualitas dan dampak-dampak sejarah kolonialisme. Untuk pertama kalinya, Biennale Internasional secara khusus memberi platform pada gagasan-gagasan di luar seni rupa Barat, dan mempertemukan para pelaku seni dari Kawasan-kawasan yang selama ini tidak begitu terhubung dalam internasionalisme seni.

Gagasan global selatan dan Khatulistiwa yang menjadi titik pijak pada BJ Equator Pertama kemudian ingin dikembangkan menjadi spirit yang lebih luas, di mana BJE berupaya untuk menjalin relasi dengan negara-negara di Kawasan lain yang memiliki sejarah atau konteks yang beririsan, dalam rangka mempertanyakan relasi kuasa antara Utara- Selatan, Dunia Pertama – Dunia Ketiga, Asia/Afrika/Amerika Selatan dan Eropa/Amerika, dan sebagainya. Pada Putaran Kedua, BJE ingin membuka peluang bekerja sama dengan Kawasan lain di dunia, untuk melihat bagaimana sejarah masa lalu mempunyai spirit dekolonisasi dan keinginan untuk membongkar pola kekuasaan dari negara-negara adidaya sehingga semua negara atau semua konteks kebudayaan mempunyai posisi yang lebih berdaulat. Kami mencoba membangun khatulistiwa menjadi sebuah imajinasi kolektif bagi komunitas seni dan kebudayaan sehingga dunia seni menjadi sebuah wilayah yang lebih setara, lebih menghormati hak-hak kelompok yang terpinggir, memunculkan Kembali kebajikan dan pengetahuan lokal, serta hal-hal lain yang selama ini dipatahkan oleh dominasi kelompok-kelompok yang kuat. Kami percaya bahwa hal-hal yang berkaitan dengan politik lokasi perlu digarisbawahi untuk dapat membuka ketimpangan relasi kuasa dan melakukan eksperimen yang memungkinkan dekonstruksi relasi tersebut bisa membawa kita pada gagasan atau pengalaman kesetaraan.

Gagasan tentang translocal dan trans-historical dimunculkan untuk memberi ruang bagi sejarah yang lain dengan spirit yang sama, meskipun berada dalam Kawasan di luar global selatan. Pengalaman selama menjalankan BJE Putaran Pertama menunjukkan bagaimana pentingnya merawat kepercayaan dan pengetahuan lokal, keterampilan yang didasarkan pada filsafat tentang alam dan kehidupan, serta kedaulatan masyarakat adat. Dalam Kawasan Global Selatan, di mana masyarakat masih hidup dalam semangat komunal dan spiritualitas yang merepresentasikan kedekatan dengan alam, ada banyak sekali prinsip kehidupan yang berharga untuk menjadi pengetahuan. BJE melalui konsep translocal berupaya menghubungkan pengetahuan di satu lokalitas dengan lokalitas lain, sistem seni dan kebudayaan yang berbasis pada situasi-situasi adat spesifik, serta artikulasi pengetahuan yang lebih berakar pada bahasa-bahasa lokal. Kami membayangkan dapat mengumpulkan seniman, komunitas, ilmuwan adat dari berbagai tempat di dunia untuk menjadi platform pertemuan atau pertukaran pengalaman melalui kerja seni budaya, baik dari masyarakat aborigin, kelompok Indian di amerika, masyarakat adat di Kanada, terutama mengumpulkan seniman dan komunitas seni Nusantara dari berbagai wilayah yang kaya dan beragam, dan beberapa lainnya.

Sementara gagasan transhistorical menunjuk pada alur sejarah yang menjadi inspirasi bagi Gerakan sipil semacam Biennale Jogja untuk memberi kontribusi pada perubahan konstelasi kekuasaan dalam dunia seni. BJE Putaran pertama terinspirasi oleh Gerakan Asia Afrika (KAA) yang kemudian diterjemahkan menjadi Semangat Bandung (Bandung Spirit) di mana kami melihat bahwa Indonesia telah berhasil menginisiasi pertemuan negara-negara yang baru merdeka di Kawasan Asia- Afrika, dan gagasan ini menjadi warisan pemikiran yang sangat berharga yang bahkan gemanya sampai hingga Kawasan-kawasan di Eropa atau Amerika. Setelah KAA sendiri, Gerakan meluas hingga terbentuk Gerakan Non Blok, di mana salah satunya Presiden Yugoslavia pada saat itu, Joseph Broz Tito menjadi bagian dari inisiatif Eropa untuk membentuk aliansi yang tidak berpihak pada dua kekuasaan saat itu (Amerika dan Rusia). Kami melihat bahwa linimasa sejarah menjadi pijakan penting untuk melanjutkan spirit dekolonisasi yang kami perjuangkan, dan bagaimana kami melanjutkan kerja-kerja di masa lalu untuk bisa menjadi bagian dari spekulasi masa depan.

Kami berpikir untuk membangun jejaring dengan beragam imajinasi tentang Timur, termasuk Eropa Timur, Asia Timur, Afrika Timur, dan Kawasan lainnya, sehingga kita bisa membongkar oposisi biner di antara Barat dan Timur itu sendiri, yang selama ini telah menjadi ruang pemisahan bagi warga di dunia. Melalui upaya mempertemukan berbagai imajinasi tentang Timur, kami ingin melihat bagaimana berbagai Kawasan di dunia bisa bertemu dalam spirit dekolonisasi dan berupaya untuk mencari jalan bersama menuju kesetaraan dan kesamaan akses. Selama ini gagasan Kawasan dan pembatasan geopolitik telah menyebabkan ruang pertemuan menjadi semakin terbatas dan terkotak-kotak.

Putaran baru Biennale Jogja membawa tema trans-lokalitas dan trans-sejarah untuk memperluas geografi pascakolonial dan politik lokasi di Global Selatan yang sudah dimulai sejak seri Khatulistiwa. Putaran pertama menekankan pada upaya menimbang ulang dan membayangkan kembali persilangan ideologi dan budaya antara dunia (pasca)sosialis dan pascakolonial yang sering disebut pinggiran. Menelusuri trayektori dekolonial dari posisi ini, bagaimanapun, bukan tugas yang mudah karena ada beragam proses lokal, trans-regional, transnasional, dan global yang perlu dipertimbangkan. Transisi dari negara-bangsa merdeka menjadi demokrasi liberal dan neoliberalisme membentuk gerak ke arah Barat, baik melalui tubuh dan pikiran kita. Objektifikasi yang terus berlanjut tentang dunia telah berubah menjadi bentuk baru yang menonjolkan eksploitasi alam dan tenaga kerja, di mana nilai-nilai non-kapitalis diabaikan, infrastruktur sosial, kebersamaan dan saling berbagi mulai terpecah, dan iklim menjadi sesuatu yang tak bisa diprediksi. Dengan menimbang ruang yang memiliki situasi sejarah yang berbeda, pengalaman dengan masa kolonial, perbedaan geografi, dan kerangka kerja yang berbeda, historiografi tentang de-kolonialisme yang ditulis oleh penutur Anglophone belum sepenuhnya mencakup pengalaman dekolonial, sehingga membutuhkan pendekatan kolektif yang beragam dan berkelanjutan, untuk membangun leksikon kesalingterkaitan yang melampaui konstruksi geografis. 

Berpikir melalui Titen adalah bagian dari usaha untuk membawa semangat dekolonisasi dalam produksi pengetahuan sebagai cara untuk melestarikan cara pandang dari kelompok lokal dan masyarakat yang telah menubuh, sekaligus merangkul mereka. Meminjam dari bahasa Jawa, Titen atau Niteni ditafsir sebagai sebuah kemampuan atau sensitivitas untuk membaca tanda-tanda alam. Titen biasanya berkaitan dengan fenomena alam, misalnya sebelum terjadinya bencana, atau menentukan tindakan dalam menghadapi perubahan siklus alam. Titen terbentuk berdasarkan pola pengamatan yang berulang yang kemudian menjadi paradigma untuk menafsir fenomena alam, sebuah narasi yang secara khusus hidup dalam kepercayaan lokal. Hal ini menjadi kontras dengan pandangan “ilmiah” yang melihat pemikiran kelompok adat sebagai yang anakronis, sehingga yang ilmiah ini sering menjadi sistem yang tidak menghormati interdependensi ekologis, mengkategorikan gunung dan laut menjadi unit administrasi, dan membatasi warga dalam entitas biner.

Dengan proposisi trans-lokalitas dan trans-historisitas, kita dapat menciptakan ruang temu untuk praktik dekolonial dan pengetahuan tempatan yang muncul untuk melindungi, menjaga, merawat, dan membuka ruang untuk cara hidup baru yang melampaui paradigma eropa-sentris. Memindahkan lokasi persilangan ini ke wilayah semi-pinggiran di Yogyakarta adalah dengan melakukan dialog dan pertukaran timbal balik jangka panjang untuk melanjutkan pijakan bersama yang memungkinkan persilangan sejarah yang plural dan partikular, serta mengakui konteks khusus dari lokalitas yang berbeda terkait dengan bahasa, kebiasaan setempat, dan sistem produksi. Sembari memahami desa sebagai kawasan dinamis yang tak dapat didefinisikan, identitas yang dibagi dan praktik yang beragam, desa juga menjadi ruang yang memungkinkan kita memposisikan ulang diri kita dalam hubungannya dengan tanah dan ekologi lokal, mulai dari musim panen dan cuaca, juga solidaritas dan kebersamaan dalam kehidupan komunal. Tindakan ini menuntut kita untuk menyepakati sikap saling menjaga sebagai upaya memperjuangkan hidup melalui pendekatan kolaboratif dan beragam dalam aktivisme kultural yang menyatukan berbagai pemangku kepentingan: seniman, aktivis, petani, perawat, arsitek, desainer, kolektif, kepala desa, dan pamong desa. 

Biennale Jogja edisi ini juga menjadi eksperimen untuk memeriksa dan memahami pengalaman inferioritas, kecemasan, pertanyaan tentang identitas dan legitimasi yang telah dibangun dan dibentuk oleh sistem seni yang dominan dan eksklusif. Seni tidak dapat dilembagakan semata-mata dengan validasi profesional. Seni adalah praktik hidup. Seni tidak berhenti pada persoalan estetika saja, tetapi berlanjut dalam bentuk mengklaim ulang, merebut merayakan kekeluargaan, dan menjaga alam di mana manusia serta bukan manusia sama-sama berjuang untuk hidup. Dalam menjalankan itu, Biennale juga menawarkan satu arah baru yang tidak tamak, yang dibentuk melalui oposisi sensorial pada dunia yang memaksa kita terpecah, di mana beristirahat menjadi bentuk resistansi–yang memerlukan waktu untuk bisa sembuh-untuk berhadapan dengan kelelahan tak berkesudahan yang dialami oleh tanah dan tubuh kita.

Kurator

Adelina Luft
Eka Putra Nggalu
Sheelasha Rajbhandhari & Hit Man Gurung

Alia Swastika

Alia adalah lulusan Jurusan Komunikasi Universitas Gadjah Mada. Sejak 2008 ia menjadi kurator dan Direktur Program di Ark Galerie, Jakarta/Yogyakarta. Sekarang bekerja sebagai Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta. Pada 2011 Alia menjadi kurator Biennale Jogja XI bersama Suman Gopinath (India) lalu 2012 menjadi salah satu dari Co-Curators Gwangju Biennale di Korea Selatan. Pada 2017, terpilih sebagai kurator pada pameran seni kontemporer Indonesia pada perhelatan Europalia Arts Festival dan mengorganisir pameran di 4 museum di Belgia dan Belanda. Pada 2019, menjadi salah satu konsultan kurator untuk pameran Contemporary Worlds: Indonesia, di National Gallery of Australia, Canberra. Selain melakukan kerja kuratorial, ia aktif menerbitkan tulisan pada berbagai surat kabar, majalah, jurnal dan buku baik di dalam maupun luar negeri. Pada 2015, mendirikan Study on Art Practices yang menerbitkan jurnal Skripta, sebuah media diskursus seni kontemporer. Bukunya “Praktik Negosiasi Seniman Perempuan dan Politik Gender Orde Baru” terbit dengan dukungan penelitian dari Ford Foundation pada 2019.

Nataša Petrešin-Bachelez

Nataša Petrešin-Bachelez adalah seorang kurator, editor sekaligus penulis. Sejak 2021, dia menjadi kepala program budaya di Cité internationale des arts di Paris. Bersama Elena Sorokina, dia adalah salah satu pendiri inisiatif untuk praktik dan visi perawatan radikal. Ia adalah salah satu direktur Les Laboratoires d’Aubervilliers (2010-2012, dengan Alice Chauchat dan Grégory Castéra). Dia bekerja sebagai pemimpin redaksi jurnal Versopolis Review (2020-2021), L’Internationale Online (2014-2017) dari Manifesta Journal (2012-2014). Dia menyelenggarakan simposium di INHA, Paris; Jeu de Paume, Paris; Tate Modern, London; dan Museum Seni Modern, Ljubljana. Bersama dengan Patricia Falguières dan Elisabeth Lebovici dia adalah salah satu penyelenggara seminar Something You Should Know (2016 – sedang berlangsung, EHESS, Paris). Sejak 2019, ia bekerja sebagai tutor di Sekolah Seni Sint Lucas, Antwerpen.

Adelina Luft

Adelina Luft adalah seorang kurator dan penyelenggara budaya yang praktiknya muncul dan berkembang di Yogyakarta sejalan dengan pola pikir dekolonial dan cara kerja yang mengutamakan proses, kolaborasi dan interdisiplinaritas. Proyek kuratorialnya membahas kedekatan lintas lokal, dan hubungan manusia/nonmanusia dengan tanah, migrasi, dan identitas. Sejak 2021 dia berbasis di Bucharest, di mana dia memulai berbagai projek, antara lain, We Are Here to Stay dengan imigran/pengungsi Arab bersama dengan Romanian Peasant Museum dan MNTRplusC, atau pameran kelompok Ecologies of Repair di Gaep. Saat ini ia adalah kolaborator di tranzit.ro/Bucuresti dan co-curator untuk Biennale Jogja Equator 2023, dimana sebelumnya ia menjabat berbagai peran di edisi tahun 2017 dan 2015.

Sheelasha Rajbhandari

Sheelasha Rajbhandari yang lahir pada tahun 1988 di Kathmandu, merupakan seorang seniman visual, culture organizer, dan salah satu pendiri kolektif seniman Artree Nepal. Penelitian longitudinalnya mereposisi narasi kuotidian dan jamak dengan menenun cerita rakyat, sejarah lisan, dan ritual performatif sebagai penjajaran historiografi konvensional. Praktik Rajbhandari berakar pada pengalaman perempuan dan berusaha untuk menghadapi bagaimana agensi dan jasmani perempuan menjadi situs politik yang diperebutkan untuk negara-bangsa kontemporer; sebuah fenomena yang paralel dengan pembongkaran lanskap matrisentris dalam masyarakat ekstraktif.

Hit Man Gurung

Hit Man Gurung, lahir pada tahun 1984 di Lamjung, saat ini berbasis di Kathmandu. Beragam media karya Gurung berkaitan dengan beberapa fenomena politik, ekonomi, dan budaya yang paling mendesak yang mengubah lanskap fisik dan sosial Nepal. Terutama menangani Perang Rakyat selama satu dekade di negara itu, beberapa tahun pemerintahan yang tidak stabil, dan dampak semua ini terhadap kehidupan pribadi dan profesional warga Nepal. Secara paralel, seninya juga berbicara tentang dampak kuat dari kapitalisme global, ledakan ekonomi yang dramatis di Timur Tengah dan Asia Tenggara, investasi yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam pembangunan infrastruktur di kawasan ini, dan permintaan tenaga kerja murah yang tak henti-hentinya; dia lebih jauh menyatukan berbagai pola migrasi massal yang terlihat di seluruh Nepal.

Eka Putra Nggalu

Eka Putra Nggalu menamatkan pendidikan filsafat di STFK Ledalero Maumere. Tahun 2015, terlibat menjadi salah satu inisiator berdirinya Komunitas KAHE, sebuah komunitas lintas disiplin ilmu dan praktik yang menggunakan kesenian sebagai medium untuk merefleksikan gagasan serta isu-isu sosial masyarakat. Bersama Komunitas KAHE menginisiasi beberapa proyek dan platform (teater, sastra, seni rupa, diskusi) yang berbasis pada aktivasi isu, modal, dan potensi komunitas warga. Beberapa yang bisa disebutkan antara lain, festival teater Maumerelogia (2016-2019), Maumere Exhibition (2019-2022), Flores Writers Festival (2021-2022), Voicing Bajo and Bugis People of Maumere (2020), dan Re-Imagine Bikon Blewut (2022). Ia juga aktif mengelola serta menulis di media daring laune.id.

Gegerboyo

Gegerboyo adalah proyek kolaborasi antara Enka Komariah, Prihatmoko Moki, Vendy Methodos, Anjali Nayenggita, Dian Suci (2017-2022) dan Ipeh Nur (2017-2022). Terbentuk di Yogyakarta, Indonesia pada Juni 2017. Karya-karya Gegerboyo banyak terinspirasi oleh tradisi budaya Jawa, budaya urban, kaitan keduanya serta korelasi dengan fenomena sosial politik yang sedang terjadi saat ini. Metode praktik berkarya Gegerboyo seperti halnya memerankan lakon dalam pertunjukan ketoprak, satu sama lain saling merespon dan menimpali setelah sebelumnya menyepakati satu tema besar yang akan dibuat. Gegerboyo adalah wahana bereksperimen, barter pengetahuan, tukar pikiran terutama yang berkaitan dengan kebudayaan dan sejarah Jawa serta perkembangannya sampai saat ini. Nama Gegerboyo diambil dari bukit yang mengelilingi Gunung Merapi. Sebuah bukit yang melindungi masyarakat sekitar Gunung Merapi dari erupsi dan awan panas. Bukit ini berbentuk panjang dan bergerigi seperti bentuk punggung buaya. Geger Boyo (bahasa Jawa) memiliki arti; Geger adalah punggung, dan Boyo adalah buaya. Karena bukit tersebut memiliki bentuk yang menyerupai punggung buaya, masyarakat lokal menamainya dengan Gegerboyo.

Shohifur Ridho’i

Shohifur Ridho’i adalah seniman pertunjukan, penulis, dan kurator yang mempresentasikan karyanya melalui pertunjukan teater dan tari, puisi dan esai, serta proyek repertoar sosial. Pendidikan terakhirnya adalah jurusan Filsafat di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Shohifur mengembangkan rokateater sejak 2016, sebuah platform penciptaan seni pertunjukan yang bertujuan menjadi ruang eksperimen untuk mendorong ekspresi dan pemikiran kritis kaum muda. Ia juga salah satu pendiri Lembâna Artgroecosystem, sebuah inisiatif seni untuk mempelajari lanskap sejarah dan koreografi sosial di Madura, Jawa Timur. Sebagian besar karyanya dibuat secara kolaboratif, terutama dengan praktisi lain dari berbagai disiplin ilmu. Buku barunya yang telah terbit berupa esai panjang berjudul “Menempuh Titik Buta: Fotografi dan Tanda Mata Kota-Kota” (2021).

Mega Simanjuntak

Mega Nur Anggraeni Simanjuntak adalah seorang penulis, peneliti, dan editor independen. Karya-karyanya berbicara tentang masalah mulai dari keluarga, generasi, relasi kekuasaan, internet, dan hal-hal sepele dalam kehidupan sehari-hari yang memiliki kompleksitas tertentu. Menjelajahi isu tersebut berujung pada koneksi dengan Studio Malya, sebuah kolektif yang berbasis di Yogyakarta di mana dia terlibat aktif.

PENYELENGGARA 

Produser
Taman Budaya Yogyakarta

Pelaksana
Yayasan Biennale Yogyakarta

Pelindung
Sri Sultan HB X

Penasehat
Dewan Yayasan Biennale Yogyakarta
Board of Yayasan Biennale Yogyakarta
Nasir Tamara
Nindityo Adipurnomo
Eko Prawoto
Ahmad Noor Arief
Kus Indarto
Handiwirman Saputra
Pius Sigit Kuncoro
Stanislaus Yangni

Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta
Alia Swastika

Konsultan Kurator
Nataša Petrešin-Bachelez

Kurator
Adelina Luft
Eka Putra Nggalu
Sheelasha Rajbhandari
Hit Man Gurung

Peneliti Kuratorial
Shohifur Ridho’í
Mega Nur

Asisten Peneliti
Aliffia Marsha Nadhira
Hanan Syahrazad

Asisten Kurator
Putri R.A.E. Harbie

Direktur Artistik 
Gegerboyo
Prihatmoko Moki
Enka Komariah
Vendy Methodos
Anjali Nayenggita

 

KESEKRETARIATAN

Sekretaris
Suryati Tri Wulansari
Monica Kristihani

Staf Keuangan
Septyan Kristiani

Magang Sekretariat
Tawakal Muhammad R
Ilham
Hariny Puspadewi Sekarlatih

Koordinator Magang dan Sukarelawan
Tarisya Amalia

Koordinator Merchandise
Sena

Koordinator Hospitality
Audrey Samantha

Staf Hospitality
Vivian Dewi
Martha Indriana

Magang Hospitality
Alya Fadhilah
Chasna Fattya
Scessilla Dhea Muchifah

 

PROGRAM

Koordinator Biennale Forum
Mega Nur

Koordinator Residensi, Arsip & Tangga Teparo
Putri R.A.E. Harbie

Koordinator Produksi Program Publik
Aditya Hibah

Staf Program Publik
Beri Hanna

Magang Program Publik
Andika Reyhan
Dewi Sahara
Langit Gemintang Muhammad Hartono
Regita Andianti Prameswari

Manajer Panggung Pembukaan & Penutupan
Darumas Kirana

Koordinator Pembukaan & Penutupan
Darumas Kirana

Koordinator Program Aktivasi
Shohifur Ridho’i

Koordinator Pameran Anak
Karen Hardini

 

PRODUKSI

Manajer Produksi Ruang
Anggito Jatmiko 

Asisten Manajer Produksi
Theodora Elgavasi Putrijati

Staf Produksi Pameran
Ronang Kennylas Dofi

Staf Pameran
Tarisya Amalia

Manajer Area
Febri Anugerah (Bangunjiwo)
Bangkit Salahudin (Panggungharjo)

Hubungan Media Internasional
Ardhias Nauvaly

Koordinator Mural
Sekar Atika

Anggota Koordinator Mural
Shodik
Kristiyanto
Daffa Dzaki
Dhani Rangga

Leison Officer Seniman Residensi
Redyadivka Ariarafa
Gisela Kirana Dita
Dionisius Caraka
Muhammad Farhan
Biancha Arianggi
Naja Izzah Kurniawan
Rangga Mahesa Putra
Vita Tanjung
Bening Gupita Esti
Afifah Puspitaliza
Venansia
Ilen Atine Gusti
Ikrar Ridho Perdana

 

KOMUNIKASI & MEDIA

Koordinator Komunikasi Public
Juwita Wardah

Staf Komunikasi Publik
Ripase Nostanta Br. Purba

Koordinator Media Relasi
Syeean I Paricha

Staf Media Relasi
Dinar Nur Zaky Achmad

Magang Staf Media
Musafida Rani
Dinar Nur Zaky Achmad
Muhammad Abdul Aziz

Perancang Situs Web
Gani Ardianto

 

EDITORIAL

Redaktur Pelaksana
Hartmantyo Pradigto Utomo

Koordinator Editorial
Hartmantyo Pradigto Utomo
Putri R. A. E. Harbie

Penyelia Aksara
Eunike Permatasari
Laras Anisa Bulkhis

Magang Arsip
Lucia Yerinta Destishinta
Sasisevio Aning Nugraha

Magang Penulis
Lestari

 
STRATEGI VISUAL

Koordinator Desainer Grafis
Riyan Kresnandi

Staf Desainer Grafis
Happy Rolitasari

Magang Desainer Grafis
Cecillia Diani Lelyta M.
M Ramadhan Tegar Aji Wibowo
Dwi Wahyudi

Desain Leaflet & Buku Panduan
Angga Khoirurrozi
Bodhi IA
Happy  Rolitasari

Desain Katalog
Riyan Kresnandi 

 

DOKUMENTASI

Koordinator Dokumentasi Foto
Swandi Ranadila

Koordinator Dokumentasi Video
Muhammad Azzumar

Magang Dokumentasi
Chalivya A. Rarafifi
Muhammad Nurjati

 

PEMANDU PAMERAN

Koordinator Pemandu Pameran
Tarisya Amalia

Pemandu Pameran
Adam Dhiya’ulhaq
Ade Puspa Fitria
Alyaa Anoora Ananditta
Amanda Deafani
Ambarfani
Anna
Avril Ailsa Suha Maharani
Beniguus
Chiara Adelia Maria Dewanti
Cicik
Frenly Astira
Ica
Irvan Maulana
Judo Karundeng
Khairun Nisa Anjani
Moch Farhan Fathul
Muhammad Azriel Zamzami
Najma Ramadhanya
Natasya Yudha S
Nur Khoiri Aati
Pradipa Arya Setya
Rasya Putri Maranto
Riski
Siska
Valida Achsani
Wuhan
Yulita

 

MITRA

Program Residensi
Rumah Gagas (Agam, Sumatera Barat)
Juanga Culture (Yogyakarta / Tidore)
Komunitas KAHE (Maumere)
MT Project (Taitung, Taiwan)
Lembâna Artgroecosystem (Madura)
Forum Sudut Pandang (Palu)
Institut Mosintuwu (Poso)
LOHJINAWI (Bangunjiwo, Bantul)

Program Biennale Forum
Sanggar Inovasi Desa

Program Bioskop
BIOSCIL (Bioskop Cilik)
Festival Film Purbalingga
KDM Cinema
Sinema Keliling