Bagaimana Biennale Jogja menjadi ruang simbiosis antara Prancis dan Indonesia?
Matahari telah tergantikan bulan. Langit jingga berganti gelap malam seakan layar hitam diturunkan. Kampung Mataraman mulai ramai orang berseliweran. Senyum, tawa, dan kehangatan obrolan terasa dari orang-orang yang berjalan maupun berkumpul di lesehan rumah makan. Orang-orang berpakaian kaos hitam mondar-mandir ada yang sibuk memotret, menyambut hadirin di meja registrasi, menyiapkan sajian pangan, hingga menata sound system di panggung.
Di halaman belakang rumah makan, sebuah panggung telah terpasang dengan dua truk di belakangnya. Kemudian, di antara truk tirai bambu bertuliskan BJ17 Titen bersama lambang burungnya ditampilkan. Kampung Mataraman berhasil disulap menjadi rumah penyambutan hadirin pengunjung Opening Biennale Jogja 17 untuk wilayah Panggungharjo.
Baik warga lokal maupun mancanegara, tua maupun muda, sendiri atau berkelompok, hadir menunggu Opening Biennale Jogja 17. Di antara mereka, hadir pula Duta Besar Prancis untuk Indonesia yang baru mulai menjabat di awal tahun ini, yakni Fabien Penone. Ia datang bersama Jules Irrman (Direktur IFI) dan François Dabin (Direktur IFI Yogyakarta). Kedatangan Fabien Penone bukan kunjungan wisata semata, tetapi ada tujuan diplomasi untuk memperkuat kerja sama antara Prancis dengan Indonesia, khususnya di bidang seni, budaya, dan pendidikan.
Biennale Jogja 17 sebagai Ruang Simbiosis bagi Kurator dan Seniman Prancis-Indonesia
Kerja sama dalam kesenian pun telah terwujud dalam Biennale Jogja 17 di mana kurator dan seniman dari Prancis ikut berpartisipasi dalam membangun peristiwa seni di Biennale Jogja kali ini. Mereka adalah Nataša Petrešin-Bachelez dan Ibro Hasanović. Nataša menjadi konsultan kurator dan Ibro menjadi seniman film yang menyumbangkan salah satu karyanya di Monumen Bibis.
Fabien dan Nataša mengaku senang dengan adanya peristiwa seni yang dihelat Biennale Jogja 17 karena melihat banyak hal menarik untuk digali. Mereka sama-sama melihat potensi yang amat besar dari kesenian di Yogyakarta sehingga mereka ingin melanjutkan kolaborasi-kolaborasi lainnya. Bahkan, Nataša mengakui ia terinspirasi dari pengetahuan yang dimiliki masyarakat lokal dalam merangkai peristiwa seni.
Wujud kolaborasi yang sudah dan akan dilakukan lagi yaitu residensi kurator dan seniman Indonesia ke Prancis. Nataša berada di sebuah lembaga bernama Cité international des arts yang menghelat program residensi bagi kurator dan seniman di d Paris. Alia Swastika, kurator dan Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta telah mengikuti program tersebut selama dua bulan pada 2022. Melalui program tersebut Alia bertemu juga dengan Ibro sehingga kolaborasi yang terjadi di Biennale saat ini bisa terjadi. Nataša mengakui ia menginginkan kolaborasi sejenis itu akan diperdalam.
Potensi Besar Para Seniman Indonesia
Selain itu, Fabien mengatakan bahwa kolaborasi dengan galeri mungkin dilakukan. Kunjungannya ke Biennale Jogja 17 dan galeri di ISI Yogyakarta membuat Fabien melihat adanya potensi kolaborasi yang berlanjut. Ketika ditanya seberapa besar potensi kesenian yang dimiliki seniman Indonesia, Fabien mengaku ada potensi yang sangat besar. Adanya potensi tersebut membuat dirinya percaya diri untuk melakukan kolaborasi dengan para seniman di Indonesia.
Fabien menambahkan bahwa ia ingin mewujudkan juga kolaborasi di bidang pendidikan seni. Itulah sebabnya ia berkunjung pula ke ISI Yogyakarta. Fabien mengatakan bahwa wujud kolaborasi yang dilakukan adalah pertukaran mahasiswa dan dosen antara institusi seni di Prancis dan Indonesia.
Kunjungan Fabien Penone menjadi sebuah langkah pemetaan bagi aktivasi program-program kolaborasi Prancis dengan Indonesia. Biennale Jogja 17 dinilai menjadi wujud nyata ruang simbiosis Prancis-Indonesia terbentuk. Selain itu, Biennale Jogja 17 juga menjadi fondasi yang kokoh bagi keberlangsungan kolaborasi antara Prancis dan Indonesia.