Tentang

Menilik Seniman Cilik dalam Lokakarya Prapameran Anak “Saba Sawah”

Lokakarya Melukis Pameran Anak Biennale Jogja 17

Warna-warni cat dan kapur memenuhi pandangan. Tangan rasanya gatal, ingin meraih kuas atau batang-batang kapur. Lalu, di lantai tersebar sketsa-sketsa berbagai bentuk dari makhluk hidup. Rasanya, sketsa-sketsa yang tersedia ingin segera dipenuhi warna muda hingga tua dari cat dan kapur. 

Memandangi sketsa-sketsa sederhana dari sosok manusia dan tetumbuhan seperti mengundang kembali hasrat yang kita jumpai saat masih kanak-kanak. Hasrat menggambar dan mewarnai. Setidaknya pemandangan dan perasaan itu yang membersamai pikiran ketika melihat peristiwa lokakarya melukis untuk anak-anak sekolah dasar. 

Pada Sabtu, 14 Oktober 2023 pukul 09.30 Biennale Jogja mengawali salah satu rangkaian program Prapameran Anak “Saba Sawah”. Saba sendiri merupakan kata dalam bahasa Jawa yang artinya “sering datang ke” atau “jalan-jalan”. Maka, “Saba Sawah” dapat dimaknai sebagai datang ke sawah atau jalan-jalan ke sawah. 

Melalui pemilihan judul pameran di atas, Biennale Jogja 17 ingin mengajak anak-anak untuk berkreasi sembari mengenal lingkungan sekitar, khususnya sawah. Mereka diberi kebebasan dalam mengimajinasikan lingkungan sawah yang mereka jumpai. Anak-anak yang diundang berasal dari Sanggar Anak Alam (Salam), SD Negeri Jarakan, dan SD Negeri Sawit. 

Hasil karya anak-anak tersebut nantinya akan dipajang di salah satu pendhapa Balai Budaya Karangkitri sebagai wujud Pameran Anak “Saba Sawah”. Pameran tersebut mulai dibuka pada Sabtu, 21 Oktober 2023. Melalui lokakarya ini dan pameran yang akan diselenggarakan, Biennale Jogja juga memberi ruang bagi anak-anak untuk menjadi seniman cilik.

Lokakarya melukis tersebut diampu oleh seorang guru seni privat bernama Imam Nasrulloh. Dalam lokakarya kali ini, Biennale Jogja menyuguhkan kerai-kerai bambu sebagai medium melukis. Kerai-kerai tersebut ada yang tak digambar sketsa, ada pula yang digambar beberapa sketsa seperti orang-orangan di sawah dan burung bangau. 

Lokakarya Melukis Pameran Anak Biennale Jogja 17
Lokakarya Melukis Pameran Anak Biennale Jogja 17

Meski ada kerai-kerai bambu yang awalnya kosong, anak-anak tak berdiam dalam kebingungan. Mereka menikmati obrolan bersama dengan kawan satu kelompok untuk merumuskan suatu sketsa. Kemudian, mereka asyik menggambar objek-objek sesuai tema yang disepakati. Suatu karya dari kelompok anak-anak sekolah dasar di Salam membuktikan hasil karya yang imajinatif dan kolaboratif.

Kerai bambu disulap para seniman cilik menjadi arena berfantasi. Kerai bambu yang tersedia di lantai pendhapa awalnya hanya dihiasi lingkaran berwarna putih tulang sebagai latar. Di atas lingkaran itu, sebuah alam baru diwujudkan dalam warna-warni cat tembok. Rumput-rumput lebat nan tinggi, bunga-bunga taman, matahari, dan bulan meramaikan kerai bambu. 

Mungkin objek-objek yang dilukis tak asing bagi kita. Namun, dengan fantasi anak-anak, objek-objek tersebut diberi warna-warna yang berbeda dari objek alam yang biasa kita jumpai dalam keseharian. Rerumputan dilukis dengan warna hitam dan biru, kupu-kupu dan matahari diberi sepasang bola mata dan seyuman menyungging, hingga serumpun bunga yang digambar serupa telur mata sapi. Lukisan mereka menampakkan alam yang beragam dan “bergembira”.

Senada dengan objek-objek fiktif yang mereka lukis, anak-anak itu memilih judul karya “Sawah Fantasi”. Karya tersebut kemudian mengajak kita untuk melihat kembali lingkungan sekitar. Dalam momen perjumpaan dengan alam terdekat, anak-anak menyerap kegembiraan ketika memandang atau berinteraksi dengan hewan dan tanaman. 

Kegembiraan itu akan sulit dirasakan anak-anak bila alam yang sering mereka jumpai adalah alam yang sekarat. Alam yang sedih. Matahari dan kupu-kupu tersenyum bukan sekadar objek fiktif. Mereka menjadi simbol dari alam yang “bergembira”.

Maka, lokakarya melukis Prapameran “Saba Sawah” bukan sekadar memberi ruang bagi anak-anak untuk mencurahkan imajinasi dan kemampuan dalam memproduksi karya seni saja. Lokakarya tersebut juga memberi ruang untuk kita merefleksikan kembali lingkungan sekitar yang menjadi rumah, kawan bersantai, bekerja, atau bermain. Apakah alam sekitar kita masih “bergembira” hari ini?