Jalanan di sekitar studio Lohjinawi, Dusun Ngentak tampak lengang. Rasanya, hanya matahari dan semilir angin yang membersamai langkah ketika menikmati beberapa instalasi di area pemukiman sekitar Lohjinawi.
Ketika berjalan sedikit ke depan studio, sayup-sayup terdengar musik serupa campursari. Namun, bahasanya lain dari bahasa dan dialek Jawa yang sehari-hari terdengar di angkringan pinggir jalan Malioboro. Di antara alunan gending Jawa dan irama pop, terdengar pula suara seseorang dengan microphone memanggil-manggil orang di sekitar seperti sedang berjualan.
Ketika tubuh mulai mendekati asal suara, tampak perempuan mengenakan kebaya merah lengkap dengan kerudung yang sewarna. Kakinya dibalut kain batik dengan motif yang cukup jarang ditemui di Jawa Tengah maupun Yogyakarta.
Di depannya, terdapat meja dengan beberapa bahan pangan tersaji di atasnya. Irisan telur dadar, bawang putih kupas, irisan cabai merah, seledri, dan kacang tanah goreng memenuhi meja. Sebuah kompor dengan panci besar di tungkunya melengkapi hadirnya bahan pangan tersebut.
Di dalam panci, lautan cairan putih diaduk tanpa henti. Ketika diaduk, bulir-bulir beras sesekali muncul ke permukaan karena hantaman sutil kayu. Itulah salah satu rangkaian performans yang dibawakan oleh Ma’rifatul Latifah, sang performer.
Pertunjukan yang diberi judul Atatolong ini menyajikan sebuah peristiwa memasak tajin atau bubur Madura. Sosok perempuan dalam balutan kebaya dan kain batik itu adalah Ma’rifatul Latifah (Mia) seniman teater kelahiran Bangkalan, Madura.
Dalam pertunjukan tersebut, Biennale Jogja turut mengundang Ibu-Ibu Dusun Ngentak untuk hadir melihat pertunjukan. Kurang lebih 12 hingga 15 Ibu-Ibu hadir dalam pertunjukan, kompak dengan kaos merah dan kerudung kuning.
Atatolong sendiri merupakan kata dari bahasa Madura yang memiliki arti saling menolong. Makanan yang terwujud dalam satu panci bubur Madura dan topping-topping nya menjadi simbol dari persaudaraan antarwarga. Melalui pertunjukan Atatolong, makanan tidak hanya dilihat sebagai kebutuhan dasar. Namun, makanan juga dilihat sebagai relasi antarwarga yang menonjolkan solidaritas.
Pertunjukan yang disuguhkan Mia jika hanya sekilas dilihat tampak seperti demo memasak. Akan tetapi, Atatolong jauh melampaui kegiatan itu. Pertunjukan Mia adalah pertunjukan yang partisipatoris.
Mia melibatkan setiap orang yang datang untuk mencampuri urusan dapurnya. Mengaduk beras, membersihkan daun pisang, dan membuat pincuk (piring dan mangkuk dari daun pisang) Bahkan, ikut membumbui bubur Maduranya. Ibu-Ibu Dusun Ngentak maupun pengunjung lainnya membaur dalam kegiatan memasak bubur Madura.
Sembari memasak bubur Madura dan mengajak orang yang berkunjung ikut memasak, Mia juga melibatkan kegiatan lain. Pertunjukan yang ia suguhkan rupanya tidak menyuguhkan aktivitas memasak sebagai peristiwa tunggal. Mia juga menyetel lagu-lagu Madura atau pop Jawa, lalu memasak sambil bernyanyi.
Ia pun tak bernyanyi sendirian. Ketika sekelompok Ibu-Ibu Dusun Ngentak mulai datang, Mia sontak mengajak mereka memasak dan bernyanyi bersama. Mia juga asyik berdialog dengan Ibu-Ibu Ngentak. Mulai dari membahas tentang keseharian Ibu-Ibu di Madura dan di Ngentak hingga perbedaan bubur Madura dengan bubur ayam di Yogyakarta.
Pertunjukan Mia adalah pertunjukan yang menghapus batas-batas antara performer dan para penonton. Ibu-Ibu dan penonton lainnya dilibatkan menjadi performer juga yang ikut memasak peristiwa seni dalam wujud se-pincuk bubur Madura sembari berbagi cerita dan berdendang bersama.
Melalui pertunjukan partisipatoris Mia, muncul pula suatu pertukaran pengetahuan. Ibu-Ibu Dusun Ngentak mampu belajar memasak bubur Madura, juga sebaliknya Mia mempelajari resep bubur ala warga Yogyakarta.