Tentang

Membongkar Bagasi Pengetahuan Lokal, Merangkai Jejaring Produksi Pengetahuan dari Akar Rumput

Biennale Forum hari pertama sesi pertama Dokumentasi Biennale Jogja 17

Bagaimana sebuah percakapan menyoal sejarah, gender, pangan, pertanian, ekologi, hingga produksi pengetahuan dibangun dari sepetak Balai Desa? 

Sebuah forum percakapan dari Biennale Jogja Ke-17 berupaya membangun diskusi menyoal topik-topik di atas dalam program bertajuk Biennale Forum. Diskusi tersebut tidak disuarakan dalam ruang-ruang pusat produksi pengetahuan seperti auditorium kampus, instansi pemerintah, lembaga riset, dan lain-lain. Forum percakapan itu diselenggarakan di Balai Desa  Panggungharjo, Bantul. Lokasi diskusi menjadi  relevan dengan semangat yang diupayakan Biennale tahun ini, yaitu semangat untuk berpijak dari pengetahuan lokal di desa. 

Secara geografis, Balai Desa tentu dekat dengan pemukiman warga pinggiran. Namun, secara politis kita bisa melihat pula adanya upaya Biennale Jogja untuk membuat rute baru dalam kartografi produksi pengetahuan, terlebih pengetahuan yang berpijak dari pengetahuan tempatan. Biennale Jogja memungkinkan sebuah percakapan akan beragam isu yang dimulai dari pinggiran, tidak melulu dari pusat. 

Setelah kemeriahan rangkaian pesta pembukaan, Biennale Forum menjadi salah satu rangkaian program yang mengawali peristiwa seni pameran. Forum diskusi hadir dengan membongkar bagasi pengetahuan untuk didistribusikan dan dikontekstualisasikan ke relung-relung kehidupan masyarakat hari ini. Biennale Forum diselenggarakan dari 9-12 Oktober. Pada hari terakhir, acara diskusi  berkolaborasi dengan program Kongres Kebudayaan Desa, sebuah program diskursif untuk terus memperbaharui arah tatanan Desa Panggungharjo. 

Selama empat hari, Biennale Forum merentang narasi mulai dari sejarah suatu lokasi dan spekulasinya, persoalan gender, pangan, pertanian, ekologis, dan tentunya produksi pengetahuan serta kelindannya dengan kesenian. Topik-topik yang tersaji dalam Biennale Forum dipantik dan didiskusikan bersama seniman-seniman yang terlibat dalam Biennale Jogja Ke-17 dan berbagai inisiator gerakan serta kolektif dari Indonesia, Nepal, India, dan Eropa Timur. 

Membongkar Bagasi Pengetahuan dari Sejarah, Gender, hingga Ekologi

Biennale Forum hari pertama membawa percakapan sejarah mulai dari peristiwa 1965, Orde Baru, pemisahan Timor-Leste, hingga  proyek kesenian berbasis solidaritas transnasional. Diskusi pada sesi pertama membuahkan refleksi bahwa narasi sejarah di negara kita selama ini sudah amat didoktrinasi oleh narasi-narasi dari pemegang tampuk kekuasaan. Padahal, narasi-narasi sejarah dari masyarakat akar rumput ikut membentuk laku masa depan hari ini. Di tengah gelombang akademik barat yang cenderung mengarusutamakan ke-objektif-an, seni mampu memberi ruang untuk berspekulasi dari narasi-narasi lain yang lebih subjektif dan personal. Keterbukaan ini dapat memberi peluang untuk membangun narasi sejarah yang lebih utuh serta nihil dari lelaku marjinalisasi. 

Contohnya adalah kerja-kerja yang dilakukan Arif Furqon dari Unhistoried. Sebagai seorang fotografer, ia memilih untuk bekerja dengan foto keluarga. Baginya, menggunakan foto keluarga berarti membaca sebuah bangsa dari pinggiran. Melalui foto keluarga juga kondisi sosial masyarakat pada suatu masa dapat dipetakan. Dari pemaparan tersebut, Biennale Forum ingin menawarkan suatu alternatif lain dari pembacaan ulang atas sejarah yang selama ini dibekukan dalam narasi-narasi heroisme. 

Pada sesi kedua, kerja-kerja kesenian berbasis solidaritas transnasional menjadi salah satu tawaran berpraksis dari seniman asal Romania yang bertandang ke Biennale Jogja tahun ini. Ialah Ovidiu Tichindeleanu, salah seorang inisiator The Station Research for Art and Life. Ovidiu dan kawan-kawannya berupaya untuk membongkar kembali praktik kerja kesenian yang masih berada dalam tempurung Eropasentris dan Amerikasentris. Melalui kolektif dan gerakan yang mereka realisasikan, mereka berusaha menjalin jejaring kesenian akar rumput dengan negara-negara di Selatan, salah satunya Indonesia. 

Persoalan gender dan bagaimana produksi pengetahuan dihasilkan oleh kelompok gender tertentu menjadi pembahasan dalam Biennale Forum hari kedua. Pada sesi pertama, Khanis Suvianita, seorang peneliti menjelaskan tentang identitas gender non-biner yang telah menjadi bagian dari tradisi beberapa kelompok adat di Indonesia. Kita diingatkan kembali bahwa kelompok gender di luar oposisi biner arus utama bukan hal yang baru, apalagi tabu

Mereka yang masuk dalam kelompok gender non-biner seringkali tak mendapati tempat di masyarakat, meski kehadiran mereka juga berdampak baik bagi keluarga dan masyarakat sekitar. Diskusi ini memantik refleksi kita kembali, mengupayakan kesetaraan masih perlu dipanjangkan napasnya. 

Pada sesi kedua, solidaritas persaudarian menjadi fokus percakapan. Jejaring persaudarian yang digerakkan oleh kelompok masyarakat akar rumput telah diinisiasi oleh Lian Gogali di Poso, Sulawesi Tengah. Ia memulai sebuah rekonsiliasi konflik dengan membangun sebuah sekolah untuk ruang belajar para perempuan, di mana mereka meninjau dan mencatat kembali pengetahuan lokal di sekitar mereka untuk menjaga alam. 

Sekolah yang ia bangun menjadi rumah di mana kerja-kerja merawat persaudarian dan alam bergeliat dari bawah. Biennale Forum pada hari kedua kemudian membuahkan refleksi bahwa seringkali kita melupa upaya dari kelompok-kelompok yang masih termarjinalisasi: kelompok LGBT dan perempuan-perempuan dalam cengkeraman konflik.  

Bergeser pada hari ketiga, Biennale Jogja menggaet Kongres Kebudayaan Desa untuk menyelami isu lahan hingga kerja-kerja merawat Ibu Bumi. Pada sesi pertama, percakapan berkisar pada kerja-kerja pertanian sebagai tawaran pekerjaan bagi generasi muda. Ferdy dari kolektif Lahan Petani memperlihatkan kerja pertanian bukanlah pekerjaan yang nihil laba. Kerja-kerja pertanian justru sebuah pekerjaan yang bisa dilakukan dengan cara-cara praktis, tetapi masih memberi keuntungan. Ia memberi contoh sebuah metode pengairan yang dinamakan irigasi tetes sebagai alternatif bertani di lahan yang tandus. 

Namun, kerja-kerja bertani yang dilakukan Lahan Petani lalu bukan menjadi lelaku meraup untung semata. Mereka mendistribusikan pengetahuan bertani ke masyarakat sekitar tempat mereka tinggal di Sikka, NTT. 

Karya lukisan Betty Adii di Gudang BibisDok, YBY
Karya lukisan Betty Adii di Gudang Bibis
Dok, YBY

Melengkapi diskusi soal lahan, Betty Adii dalam sesi kedua memaparkan soal pentingnya menjaga relasi antara manusia dengan alam. Ia memperkenalkan terma lokal yang disebut “Mama Tanah”. Istilah itu digunakan untuk menganalogikan perempuan sebagai perawat kehidupan. Selain itu, “Mama Tanah” juga berbicara lanskap selain tanah, seperti sungai, danau, dan laut yang perlu dirawat. Percakapan di hari ketiga membawa pengunjung pada semangat Biennale Jogja untuk membangun kembali jejaring pengetahuan lokal, tetapi dari ranah ekologi.

Membicarakan desa dan pengetahuan lokal sebagai pijakan, Desa Panggungharjo sendiri telah mengaktivasi para warganya untuk merawat desa dengan pengetahuan yang sudah menubuh. Pada Biennale Forum hari keempat yang diselenggarakan bersama Kongres Kebudayaan Desa, Kepala Desa Panggungharjo bernama Wahyudi menjelaskan upaya-upaya yang ia realisasikan bersama warga. Ia mengajak mereka untuk memilah dan mengolah sampah menjadi barang berguna hingga membersihkan sungai di sekitar. Kerja-kerja perawatan lingkungan ini juga berangkat dari semangat pengetahuan lokal yang dalam bahasa Jawa disebut memayu hayuning bawono. Konsep dan semangat itu ingin mengajak masyarakat untuk membangun atau mengupayakan lingkungan lestari. 

Seni Merangkai Jejaring Pengetahuan dari Akar Rumput

Biennale Forum dan Kongres Kebudayaan Desa menelusuri kembali pengetahuan lokal dari berbagai wilayah desa dan terpinggir. Kita melihat kisah-kisah yang menjadi fokus perbincangan bermuara dari kisah orang-orang biasa. Bahkan, orang-orang terasing dari masyarakat. Dengan membongkar kisah-kisah mereka dan upaya resistensi yang masih terus dilakukan, kita diingatkan kembali adanya gerakan yang bergeliat dari bawah dan berpijak dari tradisi atau pengetahuan lokal sekitar kelompok-kelompok tersebut. 

Pengetahuan lokal yang tersebar nyatanya memberi ketahanan bagi desa dan warga yang menempatinya. Apa yang dimaksud “desa” dan “pinggiran” kemudian menjadi metode untuk menjawab berbagai persoalan di masa depan. Percakapan translokal dan transnasional yang terjadi di dalam Balai Desa Panggungharjo menjadi sebuah langkah dalam lelaku menjahit jejaring pengetahuan dari bawah. Kesenian dicoba untuk dipahami ulang sebagai gerakan merangkai jejaring pengetahuan bersama masyarakat akar rumput.