Meminjam kata Titen dari terminologi Bahasa Jawa sebagai judul pameran Biennale Jogja 17 di tahun ini, lantas punya proyeksi yang sarat dengan banyak upaya. Dalam hal ini, rekam jejaknya bisa terasa betul pada perhelatan seremoni pembukaan, yang menyoroti hubungan manusia dengan hubungan sosial. Dalam pembukaan ini, seni rupa kemudian dihadirkan begitu dekat dengan ruang keseharian. Perayaan dan suasana bersenang-senang melebur pada helatan pembukaan ini dalam satu ruang, yang kemudian membobol stereotip helatan seni rupa yang kerap dipahami oleh masyarakat luas. Dalam praktiknya, seremoni pembukaan dapat diyakini sebagai garda depan. Pelaksanaannya bukan semata-mata sebagai perayaan yang cuma-cuma. Dengan meletakkan keseluruhan pameran ini di desa, antusiasme masyarakat tempatan dan kedatangan mereka menjadi salah satu tolak ukur yang penting. Apakah pelaksanaan Biennale Jogja 17 ini sudah sampai ke ranah masyarakat setempat? Seremoni pembukaan ini yang kemudian membuka ruang-ruang pertemuan yang lebih luas lagi dari masyarakat, pelaku kesenian (panitia, seniman, dan pihak terlibat) dan para pengunjung publik. Proses kreatif yang terjadi dari seniman dan kolaborator masyarakat barangkali belum betul-betul selesai, dan di seremoni pembukaan ini kita bisa melihat seni kontemporer di desa menjadi common sense, menjadi sebuah keberterimaan dari dan oleh masyarakat di desa Panggungharjo dan Bangunjiwo.
Seni Sebagai Peristiwa
![Pembukaan Biennale Jogja 17 Kampoeng MataramanDok: YBY](https://biennalejogja.org/2023/wp-content/uploads/2023/11/Salinan-biennale-17_opening-164-300x200.jpg)
Dok: YBY
Pembukaan Biennale Jogja 17 ini terlaksana sebanyak dua kali, yang pertama dilaksanakan dengan meriah dan pecah di Kampoeng Mataraman, Panggungharjo pada 6 Oktober 2023. Pelaksanaan ini sedikit banyak mengingatkan pada perayaan tanggapan desa. Panggung dengan dekor meriah, tetapi tidak menimbulkan aksen mewah khas konser pada umumnya. Suara-suara dibuat menggelegar, tetapi tidak membuat bising dalam radius sepersekian meter sampai pening. Pada malam itu, kita bisa melihat diversitas pengunjung, yang dalam hal ini, perayaan seni rupa tidak dikotakkan dalam satu kalangan tertentu. Nenek dengan cucunya, seorang anak dengan orangtuanya, seorang kakak dengan adiknya, atau siapapun itu hadir, menyimak paparan kurator, hingga menyemarakkan konser-konser yang berlangsung meriah. Yang menjadi menarik, pembukaan Biennale Jogja 17 ini seolah dibuat dengan format yang dekat dengan masyarakatnya sehingga siapapun pengunjungnya dapat merasa relevan dengan perayaan yang sedang berlangsung.
Ide susunan penampil pun menyisir penampil dengan identitas kultur yang beragam: Lorjhu, Wangak, Tari Omah Joged, Monica Hapsari x Paguyuban Gejog Lesung Maju Lancar Miri Sawit. Lorjhu merupakan band yang membawakan lagu dengan basis tradisi dari Madura, sementara Wangak merupakan orkes yang membawakan musik Maumere. Sementara itu, dua penampil lainnya merupakan penampil yang melibatkan masyarakat Panggungharjo. Tari Omah Joged yang merupakan sanggar dari Panggungharjo, dan Monica Hapsari x Paguyuban Gejog Lesung Maju Lancar Miri Sawit adalah karya kolaborasi residensi dalam Biennale Jogja 17. Para penampil yang meramaikan malam pembukaan di Panggungharjo adalah mereka yang hadir dengan keanekaragaman kultur. Ragamnya peristiwa yang berkelindan di malam itu, akan menarik jika kita menyebutnya sebagai sebuah ajang presentasi seni dari berbagai media dan budaya.
Seremoni pembukaan kedua dihelat di Sekar Mataram, Bangunjiwo pada 8 Oktober 2023. Berbeda dengan malam pembukaan pertama
![Pembukaan Biennale Jogja 17 Sekar MataramDok: YBY](https://biennalejogja.org/2023/wp-content/uploads/2023/11/Salinan-biennale-17_Opening-Sekar-Mataram-57-300x200.jpg)
Dok: YBY
pembukaan kali ini lebih banyak menghadirkan keterlibatan masyarakat dan pelaku kesenian di Bangunjiwo dari segi para penampilnya. Pelaksanaan Opening Biennale di Bangunjiwo dibuka dengan ruang gerak aktif senam yang merupakan kolaborasi antara ibu-ibu Kring Ngentak Bangunjiwo, Arum Dayu dan Prontaxan. Penampilan ini bukan sekadar koreografi yang menghadirkan penampilan dari ibu-ibu kring Ngentak, tetapi keseluruhan dari penampilan ini melibatkan mereka dalam proses penciptaan hingga eksekusi visualnya. Ada pula penampilan akapela anak-anak yang dihadirkan oleh Icipili Mitirimin, yakni bagian dari Acapella Mataraman. Icipili Mitirimin merupakan acapella anak-anak yang kerap latihan di Omah Cangkem, Bangunjiwo sehingga keterlibatan mereka menjadi selaras dengan visi dan misi pelaksanaan opening yang kedua ini.
Penampilan anak-anak dalam Icipili Mitirimin memecah keramaian, dan ketegangan normatif yang biasanya hadir saat penampilan aca
pella yang seringkali terkesan formal. Dalam bidang musik lainnya, ada pula Marina Entertainment, sebuah kelompok musik yang hadir dalam malam itu membuat semua orang turut bernyanyi bersama. Tanpa mengurangi keceriaan di malam itu, orasi budaya juga disampaikan secara cermat dan tajam oleh Saras Dewi, seorang akademisi yang membicarakan isu budaya, manusia, dan lingkungan. Orasi yang disampaikan oleh Saras Dewi ini juga sedikit banyak mengacu dengan hal-hal yang diamatinya di sekitaran Bangunjiwo. Penyampaian orasi secara metaforis dan lugas ini memberi ruang bagi pembicaraan gagasan dan isu di tengah kemeriahan alur pembukaan. Orasi ini yang kemudian dapat menghubungkan pentingnya isu-isu yang sedang dibangun dan disajikan dalam Biennale Jogja 17.
Menalar Titen dalam Ruang Publik
Dalam dua pelaksanaan seremoni pembukaan yang sudah berlangsung, kita bisa melihat bentuk artikulasi Titen di lingkungan masyarakat. Penyampaian tema ini tidak lantas lantang, tetapi bergerilya perlahan, agar peristiwa seni dapat diterima dan berlangsung tanpa jarak yang terlampau jauh dengan masyarakat. Dengan menempatkan semangat helatan seni rupa, rutinitas laku kesenian di desa, masyarakat sedikit banyak dapat mengambil andil dan peran di dalamnya. Pembukaan Biennale Jogja 17 ini kemudian sejalan dengan paham “pengetahuan menubuh”, yakni dengan membuka paham masyarakat bahwa seni hadir dan tumbuh dalam ruang keseharian. Perluasan tema ini menjadi sebuah spirit untuk menciptakan interaksi warga dengan seni, sehingga kesenian tidak lagi menjadi peristiwa atau objek yang tersegmen pada hal-hal tertentu. Inklusivitas inilah menjadi artikulasi Titen dalam membangun relasi masyarakat, interaksi sosial, dan isu yang tengah hadir di antara mereka.
Dari dua pembukaan yang sudah dilaksanakan, kita bisa melihat komitmen yang dibawa oleh Biennale Jogja 17 dalam melibatkan desa dengan perhelatan seni internasional ini. Keterbukaan ruang dialog antarwilayah dan antarkultur dipandu mulai dari acara pembukaan. Biennale Jogja lantas mencoba menciptakan dialog ulang-alik dari masyarakat ke sebuah wacana global, sekaligus dari menyoroti keberadaan isu yang lebih luas dalam lingkup masyarakat desa. Seni ditampilkan sebagai peristiwa, bukan sekedar objek yang terbatas pada taraf keindahan tertentu. Kemeriahan ini menjadi sebuah peristiwa yang meleburkan interaksi dari banyak pihak dalam menyambut ruang-ruang yang telah menjadi fasilitas bagi mereka untuk berkarya dan menjadi hadir di ranah publik. Keberterimaan dari masyarakat desa itu kemudian juga memberi kesempatan kepada Biennale Jogja 17 untuk meneliti dan mempresentasikan pengetahuan lokal dengan cara yang lebih mudah ditangkap, bahkan dapat tersurat secara langsung dalam ruang publik. Pada akhirnya, rangkaian pembukaan ini dapat disebut sebagai representasi tempatan sekaligus mandat dari pelaku seni dan karya kolaborasi yang berlangsung di tiap lokasi. Dalam hal ini, kita bisa menyebut bahwa Biennale Jogja 17 mendudukkan wacana dan ruang keseharian dalam satu panggung yang sama.