Tentang

Menanam Padi di Gudang: Narasi Ekologis di Ruang Industrial

Tiga Karya di Gudang Bibis

Esai ini membicarakan tiga karya yang dihadirkan di dalam gelaran Biennale Jogja 17. Karya pertama adalah We keep on coming back to where we belong (2023) dari Dipak Lama dan Shreeti Prajapati yang tinggal dan bekerja di Kathmandu dan Nijgadh. Karya kedua adalah Bhâko: So Which of the Favors of Your Land Would You Deny? (2023) dari Lembâna Artgroecosystem yang merupakan kolektif seniman asal Madura. Terakhir, karya berjudul Perpetual Harvest (2023) milik Anca Benera dan Arnold Estefán yang berbasis di Bucharest dan Vienna. 

Mengapa ketiga karya tersebut menjadi penting untuk diulas? Tidak lain disebabkan terdapat pertentangan material antara karya dengan ruang. Di satu sisi, ketiga karya memilih tanaman dan tumbuhan sebagai material utama penciptaan. Di sisi lain, ketiga karya tersebut dihadirkan di Gudang Bibis yang dibangun dari besi, aluminium, semen, dan bahan baku yang bercorak industrial lainnya. Gudang Bibis sekaligus juga merupakan lokasi pameran dengan nuansa yang paling industrial dibandingkan dengan sebelas lokasi lainnya. 

Akan tetapi, karya-karya tersebut tidaklah dimaksudkan sebagai upaya untuk mengintervensi ruang secara berkelanjutan. Disebabkan durasi pameran yang menggunakan Gudang Bibis tersebut tidak lebih dari dua bulan lamanya. Selepas pameran usai pada 25 November 2023, Gudang Bibis kembali pada fungsi asalnya sebagai tempat penyimpanan produk-produk industri. Selain juga, padi, jagung, dan tembakau yang menjadi material utama dari ketiga karya tersebut sudahlah tercabut dan tidak lagi terhubung dengan tanah. 

Menimbang keterbatasan dari durasi pameran dan kelangsungan tanaman sebagai material karya di atas, upaya menghadirkan ketiga karya di Gudang Bibis lebih tampak sebagai dialog antara karya dengan ruang melalui pertentangan material. Dialog tertuju pada perangkaian narasi dan pemosisian ketiga karya dengan karakteristik dan keluasan Gudang Bibis. Dialog tersebut bukan bermaksud untuk meniadakan belasan karya lainnya yang dihadirkan di tempat yang sama, melainkan lebih dimaksudkan untuk menciptakan kontras melalui ketiga karya sebagai fokus dari pembahasan esai ini. 

Secara sederhana, ketiga karya memang memiliki material yang bertentangan dengan ruang. Akan tetapi, ketiga karya berupaya merangkai narasi dan posisi untuk menciptakan dialog dengan ruang. Oleh karena itu, esai ini berusaha menjawab pertanyaan berikut: bagaimana bentuk dialog antara narasi ekologis dari ketiga karya dengan karakteristik industrial Gudang Bibis? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, bagian penjelasan dari esai ini akan ditulis dengan menggunakan dramaturgi pemandu pameran untuk membayangkan situasi ruang dan karya secara lebih dekat. 

Narasi dan Posisi

Selamat datang di Gudang Bibis! Perkenalkan, namaku Hartmantyo, atau teman-teman bisa memanggilku Tyo. Aku yang akan memandu teman-teman sekalian untuk berkeliling di salah satu lokasi Biennale Jogja 17 kali ini, yaitu di Gudang Bibis. 

Beda dengan lokasi lainnya yang mungkin terbilang dekat dari kota, macem Taman Budaya Yogyakarta, Gudang Bibis ini emang lumayan jauh dari sana. Tapi, teman-teman semua akan ngerasain suasana dan vibes yang berbeda. Karena kita enggak akan keliling ke galeri yang putih, bersih, rapi, dan sejuk. Kita akan keliling di gudang yang agak kotor, ada tambalan di dinding, lantai warna hijau berdebu yang retak-retak, beberapa tiang dari baja dan besi, kabel dan pipa yang kelihatan banget di beberapa sisi, dan tentu aja panas!

Karena cuaca Jogja lagi panas-panasnya, pun habis ini kita akan lanjut ke venue lain, kita cukupin aja buat hari ini cuman akan lihat tiga karya di Gudang Bibis. Sebelum jalan masuk, teman-teman bisa nyiapin kamera, buku catatan, air minum, dan mungkin beberapa pertanyaan. Silahkan ngambil foto secukupnya dan perhatiin karya mana aja yang boleh dan enggak boleh disentuh.

Yuk, kita masuk ke Gudang Bibis!

Yak, kita langsung sampai di karya pertama. Karya ini judulnya We keep on coming back to where we belong dari Dipak Lama dan Shreeti Prajapati. Kita bisa lihat karya ini dibikin dari dua tanaman pangan, beras dan jagung. Di ujung sana, ada ratusan jagung yang udah mulai kering dan dirangkai ke bawah. Jadi mirip kaya dinding, ya? Mungkin kita bisa memahaminya sebagai bagian rumah tempat dari mana kita berasal. Rumah yang dibuat dari tanaman yang dihasilkan bumi. Ya, rumah dan bumi, dua-duanya tempat asal atau tempat pulang. Kalau lihat dari judulnya, kayanya maksudnya gitu, deh. 

Kalau enggak salah inget, jagung itu tanaman pangan paling penting nomer dua di Nepal (Thapa, 2021). Setelah padi tentu aja, sama seperti di sini ya ternyata. Mungkin itu juga alasan kenapa beras dipilih jadi bahan utama karya yang bentuknya mirip seperti jalur atau jalan yang belok-belok ini. Jalur ke arah rumah. 

Oh iya, kita bisa megang dan mainin beras-beras di bawah ini juga, kok. Semacam ajakan untuk kita saling berinteraksi dan ngenalin lebih jauh tentang bahan pangan kita sehari-hari. Apa lagi, padi dan beras itu emang jadi simbol sosial, kultural, dan keyakinan antar agama di Nepal. Jadi posisinya emang sepenting itu ternyata, bahkan ada yang bilang sebagai rice culture (Pandey, 2018). 

By the way, karya ini ditempatkan di bagian paling depan di dalam gudang. Posisinya menarik. Semacam cara untuk nyambut dan negesin posisi karya yang dibikin dari jagung dan beras sebagai simbol produk agraris di tempat yang vibesnya industrial banget. Kaya kontras, tapi ya oke-oke aja gitu display-nya. Apa lagi, temanya Biennale tahun ini tentang desa dan dinamika antarlokalnya, kan. 

Di sebelahnya persis kita langsung ketemu sama karya kedua, judulnya Bhâko: So Which of the Favors of Your Land Would You Deny? Karyanya Lembâna Artgroecosystem. Kita bisa lihat bahan utama karya ini pakai tembakau. 

Sumber: Tim Dokumentasi Biennale Jogja 17

Kalau dari captionnya, kita bisa ngerti kalau tembakau jadi simbol penting untuk orang-orang Madura. Enggak cuma soal ekonomi aja, tembakau juga jadi simbol politik dan kekuasaan buat beberapa orang tertentu, macem pedagang elite dan pemimpin agama di sana (Zamroni, 2007). Ya, karena emang tembakau udah mulai ditanam di Madura dari jaman penjajahan sekitar tahun 1800-an (Ar Razy & Mahzuni, 2021). Jadi, enggak ngagetin juga kalau hari ini tembakau bisa jadi simbol penting. Efek dari betapa pentingnya tembakau bagi orang-orang penting di sana ya itu, bisa kita lihat dari caption-nya, banyak petani tembakau yang justru kehilangan tanahnya.

Posisi karyanya ini juga cukup strategis, persis di tengah gudang. Apalagi, bentuknya mirip bagian dalam gudang pengeringan tembakau yang dibikin dari bambu dan kayu. Tembakaunya digantung berjejer rapet. Sama-sama gudang. Gudang pengeringan tembakau yang ditampilin di gudang industri, pas di tengahnya lagi. Kalau menurutku sih, ketika tahu cerita tentang betapa pentingnya tembakau dan posisi strategis dari karya ini, semacam jadi keberpihakannya Lembana sendiri buat ngerebut narasi tembakau yang sering jadi komoditas elite di Madura. Bahwa, ya, tembakau punya bersama dan udah seharusnya jadi sumber penghidupan buat petani-petani kecil. 

Oke, selanjutnya kita geser ke samping sana, ke arah dinding yang sebelah utara.

Sumber: Tim Dokumentasi Biennale Jogja 17

Ini karya dari Anca Benera dan Arnold Estefán yang kolaborasi sama Dwi Anggoro Mandiri, judulnya Perpetual Harvest. Nah, karya yang ini agak beda sama yang tadi. Kalau yang tadi kan posisinya berdiri di lantai, yang ini nancap di dinding. Kesan awalnya sih emang jadi kaya dekorasi gitu. Tapi, setelah diperhatiin lagi, dinding jadi semacam titik luncur buat karya yang bentuknya mirip rudal ini. Jadi, macem manfaatin keluasan bidang dinding buat nampilin cara kerja rudal yang bertolak belakang sama bidang dasarnya, bahasa ilmiahnya sih biasa disebut Hukum Ketiga Newton tentang Gerak (Nuclear Threat Initiative, 2023). 

Menariknya lagi, karya ini dibikin dari jerami dan nyeritain tentang perang Ukraina sama Rusia. Efek dari perang kedua negara itu enggak sebatas politik internasional aja setahuku. Tapi, juga sampai ke soal bahan pangan. Salah satunya ya soal gandum, di mana kedua negara itu tuh, nyumbang sekitar tiga puluh persen ekspor gandum dunia (Lin, et al, 2023). Efek dominonya sampai ke negara-negara lain, ya semacem kekurangan pangan, energi, dan harga bahan baku makanan jadi naik di banyak negara di dunia. Bahkan, bisa sampai ngefek ke rumah tangga miskin di negara-negara yang enggak terlalu punya sumber daya alam yang bagus (Abay, et al. 2023). 

Sampai di sini dulu kira-kira ada yang mau ditanyain, temen-temen? …. Kalau belum ada, kita cukupkan dulu kali ini di Gudang Bibis. Terus kita lanjut ke venue berikutnya, yuk! 

Menanam Padi di Gudang

Judul esai ini meminjam dan sekaligus memodifikasi judul buku Puthut EA yang menarasikan tentang gagasan serta dinamika sehari-hari beberapa perupa yang menetap di Yogyakarta, Menanam Padi di Langit (2016). Judul buku tersebut dipinjam karena menjadi metafora yang relevan untuk menggambarkan hal-hal yang nyaris mustahil dan terasa ganjil ketika dilakukan oleh manusia. Bagaimana bisa manusia menanam padi di langit? 

Berpijak dari gagasan yang terdengar mustahil dan terasa ganjil tersebutlah esai ini dituliskan. Ketiga karya dari beberapa seniman asal Eropa Timur, Asia Selatan, dan Indonesia berupaya menyajikan dialog antara material karya dengan ruang presentasi di Gudang Bibis. Sedari narasi tentang padi, beras, dan jagung sebagai simbol sosiokultural di Nepal; tentang keberpihakan pada petani tembakau yang tereksklusi dari lahannya di Madura; hingga tentang krisis pangan global dan regional akibat perang Ukraina dan Rusia. Keragaman narasi hadir untuk berdialog dengan Gudang Bibis melalui pemosisian ketiga karya di bagian depan, tengah, dan di dinding sebagai respons terhadap karakteristik gudang yang bernuansa industrial. Tiga titik lokasi yang, dalam taraf tertentu, bisa dikatakan sebagai lokasi yang strategis untuk menegaskan narasi karya, terutama sekali di depan dan tengah gudang. 

Oleh karenanya, ketiga karya di Gudang Bibis seperti upaya menanam padi di gudang. Menanam (narasi) di sebuah tempat yang notabene jelas bukan merupakan lahan pertanian, melainkan terbuat dari adukan semen, batu bata, pasir, dan material-material lainnya yang tidak sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan tanaman pangan. Meski bertentangan secara material, ketiga karya tersebut tetap mampu menghadirkan dialog dan sekaligus memanfaatkan keluasan dan karakteristik Gudang Bibis sebagai ruang presentasi. 

 

Referensi

  • Abat, Kibrom A. et al. (2023). The Russia-Ukraine war: Implications for global and regional food security and potential policy responses. Global Food Security, 36, 1-11.
  • Ar Razy, Mohammad Refi Omar & Mahzuni, Dade. (2021). Sosial Ekonomi Masyarakat Madura Abad 19-20: Sebuah Kajian Ekologi Sejarah. Siginjai; Jurnal Sejarah, 1(2), 65-79. 
  • EA, Puthut. (2016). Menanam Padi di Langit. Yogyakarta: EA Books.
  • Lin, Faqin, et al. (2023). The impact of Russia-Ukraine conflict on global food security. Global Food Security, 36, 1-7.
  • Nuclear Threat Initiative, (2023). Understanding Missiles. Washington DC: Nuclear Threat Initiative.
  • Pandey, Rishikesh. (2018). Religion, Rainfall and Rice: Social-Ecological Interpretation of Festivals in Kathmandu Valley, Nepal. QUEST: Studies on Religion & Culture in Asia. 3, 1-23. 
  • Thapa, Rajan. (2021). A Detail View on Status and Prospect of Maize Production in Nepal. Food and Agri Economics Review, 1(1), 52-56. 
  • Zamroni, Imam. (2007). Juragan, Kiai, dan Politik di Madura. UNISIA, 30(65), 264-276.