Upaya melihat aktivitas warga sebagai laku seni dapat ditilik dari ragam program yang turut melibatkan masyarakat di kawasan venue Biennale Jogja 17 tahun 2023 ini. Salah satu yang bisa disisir adalah pelaksanaan Bentang Silir x Bangunjiwo Fest 2. Bentang Silir merupakan program yang berupaya mempertemukan agenda kebudayaan desa dengan penonton/komunitas sosial yang berasal dari konteks lain. Bentang Silir hadir melalui ragam aktivitas seperti pertunjukan rakyat, sayembara, upacara desa, pasar kerajinan, kuliner, dan lain-lain. Sementara itu, Bangunjiwo Fest adalah program yang diselenggarakan oleh Karang Taruna AKRAB Bangunjiwo dan Pemerintah Kalurahan Bangunjiwo. Program ini merupakan presentasi potensi budaya yang dimiliki oleh masyarakat Bangunjiwo. Bangunjiwo Fest 2023 akan berlangsung selama empat hari, mulai tanggal 26 hingga 29 Oktober 2023 di Sekar Mataram, Bangunjiwo. Kolaborasi kedua acara ini merupakan sebuah ruang temu dari aktivitas sekaligus perayaan warga dengan kegiatan program Biennale Jogja–yang digagas dengan membawa kemeriahannya sendiri. Lantas apakah pelaksanaannya berjalan tumpang tindih? Bagaimana publik–terutama masyarakat Bangunjiwo memberi atensi terhadap pertumbuhan acara dari helatan festival Bangunjiwo Fest?
Hadir Tanpa Misi Bombardir
Bangunjiwo Fest mulanya merupakan sebuah acara yang berdiri secara stabil dan dihelat dengan kemeriahan dari potensi warga Bangunjiwo. Selayaknya perhelatan dan festival di warga setempat, interaksi dan keterlibatan didominasi dengan warga sekitar. Mulai dari perhelatan, hingga tenant yang hadir pun sepenuhnya melibatkan warga Bangunjiwo. Dengan konsep yang sudah hadir ini, Biennale Jogja 17 tidak lantas membuat acara yang mengintimidasi acara utama dari Bangunjiwo Fest. Program yang diberi tajuk Bentang Silir ini justru hadir dan ditempatkan sebagai penyemarak dan pemanis jalannya acara festival ini. Semarak itu dihadirkan para panitianya dengan mengundang penampil yang membawa isu-isu lokalitas: Umar Haen, Rojiluji, dan Budi & Kezia. Pertunjukkan yang dibawa oleh para penampil ini tidak lantas dilepaskan dari tema besar yang sudah digadang untuk pelaksanaan Biennale Jogja 17 secara keseluruhan. Materi yang dibawakan sepenuhnya terkurasi dan dikorelasikan dengan wacana yang tengah dibawa.
Dengan konsep utama pelaksanaan Biennale Jogja 17 yang mengusung praktik kesenian yang lebih partisipatoris dengan melibatkan peran masyarakat, Bentang Silir x Bangunjiwo Fest 2 menjadi sebuah pertemuan dan pertukaran pengetahuan berkesenian. Dalam Bangunjiwo Fest, audiens dapat menilik kerja-kerja kesenian yang bercokol di kalangan masyarakat, dan melihatnya sebagai praktik kesenian yang valid dan solid. Aktivitas yang hadir di Bangunjiwo Fest 2 dapat dimaknai sebagai kerja kesenian, tanpa menepikan pelaku dan praktiknya, dan tanpa melabelinya dalam spesifikasi kesenian tertentu. Dalam hal ini, jathilan, gamelan, atau tarian tradisional lainnya, yang semulanya hanya dibatasi sebagai kesenian rakyat biasa dapat hadir sebagai sebuah aktivitas kesenian dengan segmen yang lebih luas lagi.
Interaksi ini mengembalikan Bentang Silir x Bangunjiwo Fest 2 pada tema besar dan judul dari pelaksanaan Biennale Joga 17, Titen: Embodied Knowledges-Shifting Grounds. Dalam praktiknya di program ini, kita dapat melihat frasa tersebut mengantarkan spirit pengetahuan lokal, yang dileburkan dalam nilai-nilai keseharian. Sepanjang pelaksanannya, audiens dapat merasakan bahwa seni tidak seharusnya berjarak dengan masyarakat luas karena hakikatnya seni adalah praktik kehidupan. Program ini menjadi wadah interaksi untuk menggunakan kembali metode penggalian pengetahuan yang berangkat dari lingkungan yang dekat dengan keseharian.