Tentang

Memandu, Mencangkok Kesadaran: Catatan dari Program Kunjungan Sekolah

Pertunjukan Atatolong

“Orang-orang di Papua itu berjuangnya pake apa kak?”, seorang siswa dari SD Tumbuh 3 bertanya. Kami yang memandu tur saling lihat, kami agak bingung untuk menjawab. 

Ya, kami sedang menemani anak-anak kelas 3-5 SD untuk melihat karya “Ai Yo Kamae” dari Nelson Natkime. Karya patung setengah badan Tuarek Natkime membuat mata siswa-siswi SD berbinar. Belum berhasil menjawab pertanyaan pertama, saya dihampiri seorang anak dan ditanya: “Ini patungnya mirip patung pahlawan, siapa dia?”. 

“Kunjungan sekolah ke Gudang Bibis.”

Sumber: Tim Dokumentasi Biennale Jogja 17

Foto: Dokumentasi tim media Biennale Jogja. 

Momen itu terjadi di Gudang Bibis, salah satu venue pameran Biennale Jogja 17. Gudang adalah salah satu tempat yang cukup sering dikunjungi audiens pameran, apalagi anak-anak dari Sekolah dasar yang diundang dalam program kunjungan sekolah ke Biennale Jogja. Suasana Gudang Bibis yang dipenuhi anak-anak SD selalu hidup. Kadang mereka berlarian kesana-kesini, terlalu asik menjelajah ruang luas di gudang. 

Beberapa kali saya memandu siswa-siswi SD, SMP, hingga SMK. Kebanyakan sekolah dalam program kunjungan ini adalah sekolah-sekolah yang cukup dekat dari venue pameran. Pengalaman memandu adalah hal baru yang ternyata cukup saya nikmati. 

Saya menyadari betapa pentingnya kunjungan siswa-siswi ke venue pameran “Titen”. BJ 17 punya komitmen menempatkan desa sebagai lokus seluruh rangkaian kegiatan seni. Sehingga ada upaya meretas jarak antara pameran seni kontemporer, produksi pengetahuan, dan kehidupan desa. 

Sekolah di kawasan Desa Bangunjiwo dan Panggungharjo jelas tak bisa diabaikan, apalagi ada beberapa venue yang berjarak beberapa langkah dari sekolah. Misalnya, Monumen Bibis dan Gudang bertetangga dekat sekali dengan SD Negeri Bibis. 

 

Beberapa Tantangan Memandu 

Yang menarik, memandu siswa-siswi di ruang pamer itu bukan sekedar aktivitas tunjuk-menunjuk karya. Atau, sekedar mengucap ulang kata-kata dari caption karya. Yang lebih mendasar, memandu kunjungan sekolah adalah mengartikulasikan ulang pijakan kuratorial hingga lapisan isu dalam sebuah karya. Terma, konsep, dan wacana yang dianggap berat harus dipadatkan secara kontekstual agar sampai ke hati dan pikiran para pelajar. 

Kebingungan yang saya alami saat diberondong pertanyaan dalam karya Nelson Natkime, mengantar saya pada perenungan. Bahwa program kunjungan sekolah adalah ruang transmisi pengetahuan yang sentral. Bayangkan lapisan isu yang kompleks di venue pemeran seperti Gudang dan Monumen Bibis, semua lapis isu harus dipadatkan secara sederhana pada siswa-siswi SD hingga SMA. 

Pemandu tur sekolah kemudian ditantang melakukan kontekstualisasi, baik soal isu, wacana, dan gagasan dari karya seni hingga pijakan kuratorial. Sebuah kesia-siaan saya pikir, jika tur sekolah sebatas mengucap ulang caption karya. 

Pada titik inilah, program kunjungan sekolah menjadi media tanam bagi cangkok kesadaran soal wacana alternatif. Pameran BJ 17 ingin menarik seni pada situasi kini dan disini, sehingga karya-karya yang dipamerkan terhubung dengan isu pangan, nasib petani, ketidakadilan gender, kemiskinan struktural, konflik yang historis, dan isu-isu lainnya. 

Program publik semacam kunjungan sekolah adalah pengujian yang konkrit bagi BJ 17. Sebab seperti apa bentuk artikulasi pengetahuan dalam pameran seni yang kontekstual bagi publik? Terlebih untuk anak-anak SD, remaja SMP dan SMA, hingga warga desa yang mampir di pameran.

Memang, BJ telah meninggalkan white cube menuju lahan persawahan hingga gudang di desa. Tapi, jika artikulasi pengetahuan dalam pameran ternyata terlalu jauh dari keseharian warga desa, lalu untuk apa? 

Program kunjungan publik adalah tolak ukur seberapa mampu produksi pengetahuan, riset, artikulasi gagasan, hingga teks kuratorial didekatkan pada tuturan sehari-hari warga desa — para petani, Ibu-ibu PKK, anak-anak SD. Saya pikir teks kuratorial dan artikulasi pengetahuan yang njelimet soal pameran seni hanya sia-sia tanpa upaya kontekstualisasi. 

‘Kunjungan sekolah ke Gudang Bibis.”

Sumber: Tim Dokumentasi Biennale Jogja 17

Perlunya Artikulasi yang Inklusif dan Kontekstual

Mengartikulasikan lapis gagasan dengan berkisah jadi metode yang saya dan beberapa kawan pemandu pilih. Para pemandu selalu jadi pendongeng dadakan bagi pelajar SMP dan beberapa pelajar SD yang datang. Pada satu sisi, lelaku mendongeng bisa jadi sangat menyenangkan, tetapi ia bisa jadi sangat rumit — apalagi untuk meringkas lapisan isu dalam tuturan yang ramah bagi para pelajar. 

Karya Nelson Natkime selalu menjadi contoh menarik untuk mensimulasikan narasi kontekstual dari lapisan isu yang kompleks. Karya Nelson merespon nasib masyarakat ulayat yang digusur perusahaan multinasional hingga memori kolektif suku Amungme. Meski berlapis-lapis isu, saya selalu tertarik untuk mengantar seluruh siswa-siswi yang berkunjung ke Gudang Bibis pada karya Nelson. 

Secara bentuk, patung setengah badan Tuarek Natkime menyerupai patung pahlawan tersohor dalam politik monumen Jawa-sentris. Umumnya, monumen “Pahlawan Nasional” merepresentasikan kombinasi identitas pahlawan yang kebanyakan adalah para lelaki Jawa beragama Islam. 

Kepada para pelajar SMP atau SMA yang berkunjung, saya selalu membuka dengan pertanyaan: “Teman-teman pernah nggak liat patung pahlawan di jalan? Siapa sosok di patungnya? Pangeran Diponegoro? Ki Hajar Dewantara? Terus siapa lagi? Nah, pernah nggak sih kalian ngeliat patung pahlawan dari Papua?”. 

Kemudian narasi-narasi soal perampasan tanah adat, penindasan masyarakat ulayat, dan memori kolektif Amungme perlu dituturkan dengan bercerita. Menuturkan kisah “kepahlawanan” Tuarek Natkime menjadi menarik. Apalagi dengan sadar menghadapkannya pada kurikulum sejarah di sekolah yang menuturkan konsep kepahlawanan secara sempit. 

Selain di Gudang, ada juga karya Vincent Rumahloine di Monumen Bibis soal eksil politik dan rangkaian peristiwa 1965. Saya selalu senang untuk menuturkan kisah dari Ceko dan Praha itu bagi para pelajar yang menonton. Contoh karya-karya yang berangkat dari narasi sejarah alternatif kemudian penting untuk dituturkan secara kontekstual. Saya jadi teringat YB Mangunwijaya pernah menulis, baginya sejarah tak bisa diajarkan secara doktrinatif dan berjarak dengan pengalaman sehari-hari siswa peserta didik. Begitupun saya pikir dengan isu-isu dan wacana lain. 

Program kunjungan sekolah dalam BJ 17 ini membuktikan betapa kesenian mampu menawarkan narasi dan kesadaran alternatif. Bagi para siswa-siswi, pengalaman berjumpa karya seni bisa menjadi pengalaman negosiasi kesadaran. Katakanlah, tarik menarik antara kenyataan kini-disini dan konstruksi kesadaran bentukan sistem pendidikan. 

Ya, memandu rombongan siswa-siswi kemudian tak sesederhana tunjuk-menunjuk karya seni. Lebih lagi, cangkok kesadaran dari suara kritis dalam karya seni menjadi penting. Lalu, bagaimana mengoptimalkan setiap ruang pameran dalam Biennale Jogja untuk kesadaran publik? Bagaimana upaya yang lebih luas sekaligus mendalam untuk mengartikulasikan lapis gagasan bagi publik? 

Pertanyaan itu saya pikir bisa menjadi refleksi jangka panjang bagi Biennale Jogja. Bahwa, secara politis memilih lokus desa perlu satu paket juga dengan tanggung jawab Biennale Jogja untuk merawat akal publik. Bahkan, termasuk merancang secara matang pedagogi hingga andragogi alternatif untuk audiens pameran.