Tentang

Menelusuri Jalan Senyap Resistensi Perempuan dalam Tur Feminis Biennale Jogja 17

Karya kain tenun dan batik celup di Sekar Mataram

Biennale Jogja kembali menawarkan karya seni yang variatif dan memanjakan ilusi. Sapuan-sapuan warna gelap nan abstrak hingga instalasi hewan-hewan laut yang menjuntai dari langit-langit Galeri Taman Budaya Yogyakarta (TBY) berhasil mengundang orang untuk diam termangu berkat kompleksitasnya nan indah. Selain itu, Biennale Jogja juga mampu menjadi destinasi baru untuk menyegarkan galeri maya di instagram. Padahal, ia tak sekadar ruang untuk beradu estetika di dunia maya.

Instalasi-instalasi dalam galeri TBY dan lokasi pameran lainnya serupa narasi yang terbentang dalam tubuh kanvas, tubuh kain yang menjuntai, dan tubuh dari segala karya seni. Narasi-narasi yang dibekukan dalam instalasi seni diantaranya banyak yang menyuarakan upaya resistensi perempuan dari berbagai wilayah dan berbagai masa. Upaya mereka penting untuk didengar dan direnungkan, maka Biennale Jogja pun mengadakan sebuah tur untuk menyusuri karya-karya seniman perempuan dan karya lainnya dengan perspektif feminisme.

Awal minggu terakhir di bulan Oktober, Biennale Jogja mengundang beberapa seniman perempuan, mahasiswa, aktivis, dan kurator perempuan untuk menelusuri karya-karya di galeri TBY, The Ratan, dan Sekar Mataram. Dengan narasi-narasi kritis dan empatik, Alia Swastika menceritakan setiap kisah dari balik partisi dan instalasi. Tur dimulai dari galeri TBY dan membahas berbagai karya dari seniman Nepal, India, Indonesia, hingga Romania. 

Geluntang-gelantung kain dengan jejak-jejak benang jahit menjadi representasi jalinan solidaritas ibu-ibu dari Yogyakarta dan Romania. Kain putih dengan tinta dirajut jadi kata menawarkan layar arsip tentang histori sepuluh penulis perempuan yang amat jarang dibahas dalam lintasan sejarah kesusasteraan Indonesia. 

Karya Endang Lestari di Galeri TBY
Karya Endang Lestari di Galeri TBY

Tabung-tabung dan pot-pot berlubang jamak dari tembikar di atas pasir menjadi instalasi yang mengabarkan dampak tsunami dari Aceh.  Video perempuan berjalan di sebuah menara tinggi nan sunyi seakan mempertanyakan di mana posisi perempuan dalam hirarki sosial. Kertas-kertas dengan foto perempuan dan paragraf-paragraf di bawahnya menarasikan karya-karya tulisan perempuan dari Nepal. 

Bila direnungkan lagi, karya-karya tersebut tersaji tidak untuk memanjakan ilusi dan berdiri tanpa narasi. Mereka adalah instalasi-instalasi karya perempuan yang mengandung isu tertentu untuk dibahas bersama. 

Begitu juga dengan karya-karya yang berada di lokasi pameran lain, seperti The Ratan (Panggungharjo) dan Sekar Mataram (Bangunjiwo). Di The Ratan, instalasi juga bervariasi mulai dari karya dua dimensi hingga tiga dimensi. Karya dua dimensi berupa cukil kayu yang menggambarkan sosok ibu-ibu dan bapak-bapak. Sosok ibu-ibu itu ternyata representasi dari istri yang ditinggal suami yang menjadi tentara Gurkha di Nepal. 

Kemudian terdapat karya dari kain-kain perca yang ditambal. Bedanya, kain-kain tersebut membentuk lanskap bumi dan sosok-sosok perempuan dengan gelembung-gelembung berisi kata-kata harapan mereka. Selain itu, ada pula video yang menampilkan paduan suara ibu-ibu di suatu desa di Polandia. Lagu-lagu yang mereka nyanyikan menggambarkan keseharian mereka sebagai subjek yang terbelenggu dengan pekerjaan domestik dan upaya mereka untuk tetap mengupayakan resistensi. Galeri The Ratan menawarkan kisah-kisah perempuan yang berupaya tetap menjaga tradisi, meskipun mereka dituntut melakukan serentet pekerjaan domestik.

Di salah satu limasan di Kampoeng Mataraman, berjajar arsip-arsip foto dan kertas-kertas yang menarasikan sebuah upaya perdamaian yang dilakukan oleh perempuan-perempuan Poso. Pasca konflik Poso, seorang perempuan bernama Lian Gogali mendirikan Institut Mosintuwu, sebuah sekolah kepemimpinan bagi para perempuan di Poso. Sekolah itu ia wujudkan sebagai upaya rekonsiliasi dan pencegahan konflik secara kultural. Lian Gogali bersama timnya di sekolah tersebut berupaya menegakkan narasi saling menguatkan bagi para perempuan di sana.

Karya Fitri DK di Sekar Mataram
Karya Fitri DK di Sekar Mataram

Lokasi terakhir yang dikunjungi yaitu Sekar Mataram, di Kelurahan Bangunjiwo. Sekar Mataram dipenuhi instalasi yang hampir seluruhnya berasal dari kerajinan tangan. Pertama, instalasi karya Fitri DK yang menampilkan anyaman dari stagen dan keranjang anyaman bambu. Kedua, karya yang memamerkan kain-kain tenun dari NTT dan kain batik celup dari Jawa. Kedua karya tersebut sama-sama menyuarakan upaya kelompok perempuan sebagai agensi yang mengupayakan perlawanan kala diterjang konflik melalui kerja-kerja menganyam dan menenun.

 

Karya-karya yang disuguhkan Biennale Jogja 17 ternyata bukan semata objek-objek dekoratif untuk penyegar mata atau galeri di gawai masing-masing saja. Karya-karya tersebut menjadi bukti jejak upaya resistensi kelompok-kelompok perempuan rentan. Instalasi dan lukisan yang terpajang menyuarakan keterhimpitan perempuan yang selama ini mereka tempuh di jalan senyap.