Bagaimana Tukang Ikut Menenun Peristiwa Seni Bersama Para Seniman?
Tepat pukul lima sore Kampung Mataraman sepi tak banyak orang datang. Sekitar dua puluh orang menyantap sajian dari dapur rumah makan di bawah rimbun pepohonan maupun di bawah atap batu bata. Menelusuri jalanan di samping rumah makan ternyata membawa kita ke sebuah tanah lapang dengan beberapa bangunan di ujung dan samping kiri kanan. Di sebelah selatan rumah makan, menghampar tanah yang sedikit berpasir dan berumput. Sejauh mata memandang, berdiri empat bangunan limasan dengan tiga bangunan menghadap ke timur dan satu bangunan menghadap ke utara di ujung pekarangan. Dua limasan telah dipilih sebagai tempat karya-karya para seniman Biennale Jogja 17.
Tukang Sebagai Aktor dalam Agenda Kesenian
Dari kejauhan, tampak dinding-dinding putih sudah mulai dipasang pada dua limasan tersebut. Ketika berjalan menuju limasan-limasan itu, selang- seling terdengar deru mesin dan bunyi cetok cetok. Memasuki salah satu limasan, tampak seoqrang bapak memegang alat yang mengeluarkan bunyi cetok cetok. Seorang kawan di belakangnya memegangi dinding yang sedang dipasang di atas. Bunyi cetok cetok itu ternyata berasal dari mesin paku tembak yang digunakan salah seorang bapak. Kedua bapak tersebut sedang memasang dinding-dinding putih sebagai ini agenda persiapan pemasangan karya-karya para seniman yang terlibat dalam Biennale Jogja 17. Kedua pria tadi ikut terlibat menjadi aktor dalam agenda kesenian Biennale 17. Bahkan, ikut menenun peristiwa seni pula.
Mereka adalah Pak Nanto dan Pak Babeh. Dinding-dinding putih yang terbuat dari papan triplek itu sudah digarap kurang lebih selama lima hari. Bilah-bilah papan triplek dipotong, dipoles, dan dicat hingga menjadi partisi bagi karya-karya seni untuk Biennale Jogja 17. Ternyata, tukang-tukang tersebut tak hanya membuat dan memasang partisi-partisi di satu tempat pameran saja. Mereka akan menyebar pula ke tempat-tempat lain seperti di Gudang dan Foodcourt Madukismo. Melihat keterlibatan mereka dalam agenda persiapan Biennale Jogja 17, maka boleh dikatakan Pak Nanto dan Pak Babeh juga menghidupkan peristiwa seni untuk Biennale.
Kedua bapak tersebut mungkin tak menenun kain-kain menjadi instalasi apik, menganyam bambu jadi kandang raksasa, atau melukis dinding penuh mural. Tetapi, mereka membuat dan menyusun dinding-dinding yang nantinya akan menjadi ruang pameran para seniman. Ruang itu bukan sembarang ruang, tetapi bagian yang sangat vital ala peristiwa seni. Apa yang mereka lakukan sebenarnya menenun peristiwa seni yang mendahului peristiwa pameran. Gergaji, paku tembak, dan cat menjadi senjata utama untuk membuat partisi-partisi karya seni. Tanpa dinding-dinding itu tentu karya-karya seniman tak mampu bertemu pandang dengan khalayak umum dan dirayakan bersama. Maka, kehadiran dan upaya bapak-bapak tadi menjadi penting dalam rangkaian peristiwa seni dan suara-suara yang digaungkan para seniman di Biennale 17.