Tempat pameran yang tersebar di 12 titik, jauh dari pusat kota (kecuali Taman Budaya Yogyakarta), minimnya fasilitas transportasi umum, menjadi satu dari sekian tantangan pada Biennale Jogja 17 (BJ17). Lalu, bagaimana tindakan BJ17 untuk menyiasati risiko yang telah diputuskan tersebut?
Tercetuslah Anjangsana, sebuah program tur kuratorial yang secara langsung dikelola oleh pihak penyelenggara. Dalam masing-masing Anjangsana, tim dari BJ17 menemani dan membantu menjembatani gagasan “Titen: Pengetahuan Menubuh-Pijakan Berubah” yang diusung oleh tim kuratorial.
Satu hal yang menjadikan tur Anjangsana edisi pertama (22/10) dan kedua (29/10) berbeda dengan tur kuratorial lainnya adalah, penggunaan kereta kelinci sebagai transportasi. Pengunjung jadi tak usah repot menjelajahi tiap tempat pamer yang cukup berjarak. Selain itu, pengalaman komunal menjadi hal lain yang didapatkan oleh peserta.
Pada edisi ke-3 (11/11) , BJ17 bermitra dengan Gang-Gangan, sebuah platform yang senang menulusuri dan mendokumentasikan gang. Peserta yang hendak ikut mesti diseleksi dengan cara bercerita tentang pengalaman berpameran di kolom komentar unggahan instagram @titen.biennalejogja x @gang.gang.an. Peserta terpilih, diajak menjelajah gang yang ada di sekitar tempat pameran BJ17 area Panggungharjo.
Dan pada edisi ke-4 (18/11), Stray Cyclist Team diajak untuk mengelola program Anjangsana. Tur dilakukan dengan cara mengendarai sepeda dari satu tempat pamer, ke tempat pamer lainnya yang ada di desa Bangunjiwo.
Pada dua edisi akhir, BJ17 mencoba mengakomodasi minat yang berbeda pada tiap individu. Orang yang suka berjalan kaki dan/atau bersepeda. Pada akhirnya, terbuka kemungkinan publik seni rupa yang baru—berasal dari peminat dua aktivitas tersebut, serta terjadinya variasi pembacaan terhadap Biennale Jogja 17.