Penutupan dapat selalu menjadi sebuah perayaan sekaligus ajang syukur atas sesuatu yang sedang dan sudah berlangsung.
Selama 51 hari pelaksanaannya, Biennale Jogja Equator kedua ini menjadi sebuah wajah baru dari upaya untuk mengusung praktik kesenian bersama lebih dari 70 seniman terlibat bersama dengan kolaboratornya yang lebih partisipatoris dengan melibatkan peran masyarakat. Diselenggarakan di beberapa titik yang tersebar di pinggiran Yogyakarta untuk membuka percakapan jangka panjang dari ragam latar belakang budaya berbeda. Biennale Jogja 17 menghimpun pengertian tentang desa sebagai ruang dinamis yang terus berubah dan bergeser, dan melihat bagaimana perhelatan seni juga dapat menjadi ruang untuk mencari solusi bersama. Biennale Jogja 17 2023 menjadi ruang untuk menimbang kembali politik pengetahuan dan keterlibatan sosial dalam perkembangan seni kontemporer, termasuk dalam wahana kebudayaan yang luas.
Apresiasi bagi Pelaku Seni
Dalam melihat praktik kesenian dalam wahana kebudayaan, Biennale Jogja juga memberi ruang bagi pelaku-pelaku yang kontinu pada kerja-kerja kesenian. Ruang ini tidak hanya terbuka untuk seniman yang berkontribusi di ruang pamer, tetapi juga para pelaku seni non-seniman, dan mereka yang menjadi senior dalam bidangnya. Upaya ini dilakukan untuk melangsungkan dan meneruskan tradisi pemberian Penghargaan Pencapaian Seumur Hidup (Lifetime Achievement Award/LAA) kepada sosok-sosok yang terpilih. Dalam menyongsong putaran kedua dari Biennale Equator ini, Lifetime Achievement Award menunjuk figur dengan Loyalitas, Dedikasi, dan Kontribusi pada Dunia Seni Rupa di Yogyakarta serta Prestasi dalam Lingkar Seni Rupa Indonesia. Tokoh yang dianggap berhak atas penghargaan ini di antaranya, Siti Adiyati dan Subroto Sm. Penghargaan ini akan diserahkan pada malam penutupan Biennale Jogja 17, 26 November 2023, di Gudang Bibis.
Siti Adiyati merupakan seniman rupa kelahiran 2 Oktober 1951. Belajar seni rupa di Akademi Seni Rupa Indonesia. Beliau telah aktif berkesenian sejak era 70-an. Beliau juga menjadi salah satu pelopor Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia (GSRBI) pada tahun 1975-1979. Selain berkarya, beliau secara aktif turut melakukan kerja-kerja menulis dan mengarsip di bidang seni rupa. Siti Adiyati rutin menulis untuk koran, majalah, dan jurnal seni rupa di Indonesia. Salah satu jasanya adalah beliau menemukan kembali koleksi hasil pertukaran “Jakarta-Paris 1959” setelah kepulangan dari perjalanannya ke Jepang dan Prancis, serta masih banyak kontribusinya di bidang seni rupa lainnya. Sementara Subroto Sm merupakan perupa dengan gaya formalis sekaligus akademisi di bidang kesenian yang lahir pada 23 Maret 1946. Disamping konsistensinya membuat karya, beliau merupakan Ketua Jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta pada tahun 1984, dan menjadi dosen di institusi tersebut sejak tahun 1969 hingga tahun 2011. Beliau melewati masa-masa perubahan pergerakan seni di kampus kesenian itu mulai dari masih bernama ASRI hingga menjadi ISI. Perubahan-perubahan ini menunjukkan dedikasi yang kontinu Subroto Sm dalam akademik di bidang seni rupa.
Persiapan Armada Baru: Biennale Jogja 18
Malam penghargaan ini juga menutup rangkaian pelaksanaan Biennale Jogja 17 yang sudah berlangsung sejak 6 oktober 2023. Selain penyerahan penghargaan, malam penutupan ini juga dimeriahkan oleh penampilan dari bebera penampil. Biennale Jogja 17 2023 ditutup setelah melangsungkan pameran di 12 venue, yakni di kawasan Panggungharjo (Kawasan Budaya Karang Kitri, Kampoeng Mataraman, The Ratan, dan Pas Podjok), kawasan desa Bangunjiwo (Rumah Tua, Area Lohjinawi, Sekar Mataram, Njomblang Kemuning Joning Artspace, Gudang Bibis, dan Monumen Bibis), Pujasera Madukismo, dan Taman Budaya Yogyakarta.
Lepas landas dari pelaksanaan Biennale Equator kedua ini membuka banyak kemungkinan untuk melihat pertumbuhan seni di masyarakat untuk tahun-tahun mendatang. Dalam hal ini, Biennale Jogja dapat menjadi wadah inkubator bagi pertumbuhan kegiatan dan aktivitas seni di segmen yang lebih luas lagi. Dengan ditutupnya pelaksanaan Biennale Equator putaran kedua di tahun pertama ini, menjadi pertanda untuk melanjutkan kerja-kerja kesenian yang lebih mengakar rumput dan terbuka bagi banyak kalangan. Sampai jumpa di Biennale Jogja 18 di tahun 2025.