Hal yang rutin mengusik pikiran saya ketika bersinggungan dengan pameran seni rupa “biasanya” adalah, kenapa kerap menghadirkan acara musik-musikkan pada pembukaan atau penutupan acara? Atau menghadirkan pertunjukan, pemutaran film, lokakarya, dan kegiatan lainnya selama kegiatan berlangsung? Apakah karya atau pameran itu sendiri tidak cukup menarik untuk didatangi publik? Atau ada alasan lain?
Curahan yang pernah saya dengar, beberapa memang mengakui bahwa masih sulit untuk mengumpulkan massa supaya menghadiri pameran seni rupa. Tak jarang, jumlah pengunjung hanya melonjak pada pembukaan atau penutupan, sisanya bisa dihitung jari, atau bahkan tiada sama sekali. Itu pun, hanya orang-orang “melek” seni yang menyempatkan bertamu.
Selanjutnya, muncul beberapa asumsi yang muncul dipikiran saya. Pertama, jangan-jangan pameran masih terasa “eksklusif” bagi khalayak, utamanya “kelas” menengah ke bawah. Sehingga, ada ketakutan untuk masuk ke sebuah “ruangan” yang asing baginya. Kedua, sedari awal bertemunya dengan calon pengunjung (perihal publikasi), tawarannya tidak menggigit. Barangkali, apa yang ditawarkan dianggap sudah tidak relevan dan membosankan. Ketiga, informasi sama sekali tidak sampai ke publik.
Sebenarnya, apabila kita coba meninjau lagi prioritas target audiens dari sebuah pameran, pengetahuan atau pengalaman yang hendak dibagikan itu, harapannya sampai pada orang yang “terpelajar” atau justru yang dikira belum dan “perlu” tahu? Seandainya memilih opsi pertama, urgen kah? Bilamana tujuannya adalah opsi kedua, sudahkah cangkang yang digunakan cukup “terbuka” untuk dikonsumsi oleh berbagai “kelas”?
Kemudian, merujuk pada apa yang telah saya paparkan sebelumnya, bagaimana siasat yang dilakukan pameran internasional seni rupa kontemporer bernama Biennale Jogja (BJ) menghadapi tantangan tersebut? Mengingat apa yang masih dan terus diupayakan adalah praktik dekolonisasi. Ditambah lagi dengan usungan tema utama “Trans-lokalitas dan Trans-historisitas” untuk seri Equator Putaran Kedua (2023-2027), tajuk “Titen: Pengetahuan Menubuh-Pijakan Berubah” untuk edisinya yang ke-17, dan kata kunci pengetahuan lokal dalam penyelenggaraannya. Hal yang mungkin dianggap asing dan ndakik-ndakik, bahkan oleh akademisi sekalipun.
Pula, pada eksekusinya, bagaimana BJ mengimplementasikan istilah-istilah tadi (Seni Rupa Kontemporer, Trans-lokalitas, Trans-historisitas, Dekolonisasi, Titen, Pengetahuan Lokal), menjadi lebih mudah dimengerti masyarakat luas ketika menghadiri pamerannya? Atau, pertanyaan yang lebih mendasar lagi, bagaimana menjadikan publik yang asing dengan istilah tersebut—atau bahkan pameran seni rupa pada umumnya—menjadi tertarik untuk menghadiri? Mengingat pendekatan yang dilakukan pada edisi ini adalah menyambangi Desa Panggungharjo dan Desa Bangunjiwo sebagai situs produksi pengetahuan. Yang sebagian besar masyarakatnya bisa saya anggap sebagai publik non-seni.
Sejatinya, banyak lini yang bisa digarisbawahi sebagai “gebrakan” yang dilakukan oleh BJ pada gelaran teranyarnya. Misalnya, menggunakan situs yang jarang atau belum pernah digunakan sebagai ruang pamer, menjadi wahana untuk bertukar pengetahuan. Mulai dari monumen yang sudah tidak terawat, gudang bekas pabrik tisu, balai budaya, tempat makan, hingga rumah yang terbengkalai. Atau, inisiasi mengajak dan melibatkan “non-seniman” untuk ikut memamerkan pengetahuannya melalui karya. Seperti, ibu-ibu KWT (Kelompok Wanita Tani), anak-anak sekolah dasar, pengrajin bambu, dan lainnya.
Namun, saya hendak membicarakan yang lain. Yakni, program aktivasi yang dikelola oleh Biennale Jogja 17.
Trans-disiplin Sebagai Siasat
Secara kesejarahan, di Indonesia, ritus-ritus yang bentuknya berupa tarian atau nyanyian memang hadir dan menubuh lebih awal dibandingkan dengan pameran seni rupa. Lebih sederhananya, apa-apa saja yang manusia lakukan mesti bersifat performatif. Kedua poin tersebut sudah bisa menjadi alasan yang kuat, kenapa pertunjukan lebih digemari oleh berbagai kelas sosial. Sifatnya yang “Menghibur” dan cara mengonsumsinya yang pasif (tidak perlu “menjelajah” seperti ketika membaca teks) bisa jadi kausa selanjutnya. Coba saja, buat agenda pameran seni rupa dan jathilan di kampung, akan lebih ramai yang mana?
Saya kira, atas kesadaran akan hal tersebut, sebuah pameran (termasuk Biennale Jogja) menyempalkan agenda pertunjukan pada gelarannya. Menggunakan B untuk mendorong C pada A adalah strategi yang wajar dan kadang efektif. Pun, tidak semua hal bisa ditangkap secara utuh oleh karya seni rupa yang cenderung statis. Gerak, misalnya.
Karenanya, BJ17 (masih) menghadirkan program yang bersifat performatif untuk menarik publik. Jenisnya ada dua. Pilin Takarir, dimana seniman mengaktivasi karya yang dibuatnya. Sedangkan Baku Pandang, dimana seniman merespons karya orang lain.
Ela Mutiara menampilkan ceramah pertunjukan mengenai bajidoran di Balai Budaya Karangkitri, “Tarekat Bhâko” yang M. Safrizal lakukan di karya instalasi Lembâna Artgroecosystem, “Setelah Bajidoran” yang mengintervensi ruang pamer Taman Budaya Yogyakarta oleh Maulidi Harista, pergelaran tari dari Jennifer Natasha C., Putu Aristadewi, dan Febby Nursyahvira di Omah Cangkem, FJ Kunting yang mencoba meretas mitos di area Lohjinawi melalui performans “CODING”, dan Rumah Tua yang ditanggapi oleh Darryl Haryanto, M. Abdul Aziz, Suden dan Lysandra.
Ada juga program yang melibatkan warga setempat pada praktiknya. “Jalan-jalan Tikus” yang diinisiasi Unhistoried, mengajak Karang Taruna Bangunjiwo untuk menjelajah dusun Bibis dengan segala kaitan sejarahnya, “Atatolong” dari Ma’rifatul Latifah yang memasak dan memakan bubur Madura di area Lohjinawi bersama ibu-ibu KWT Mawar 4, “Milang Kori: mBangunjiwo, mBangun Negoro” yang digagas Anang Saptoto, mengajak ibu-ibu KWT Mawar 4 untuk memandu jalan-jalan sembari menerangkan kegiatan yang mereka lakukan.
Keseluruhan pertunjukan tersebut berupaya menawarkan pembacaan yang lebih dalam atau alternatif mengenai sesuatu. Adanya agenda tersebut, selain berhasil menghadirkan publik yang cukup banyak secara kuantitas, juga berhasil menghadirkan diskursus tentang karya atau situs yang direspons.
Di lain sisi, Partykelir (kegiatan pemutaran film) bisa saya anggap sebagai salah satu program BJ17 yang cukup sukses merubuhkan tembok antara kesenian yang terkesan mewah dengan masyarakat lapis bawah. Kalau kita lihat dari kesejarahan, film memang sempat begitu dekat dengan orang Indonesia. Pada era kejayaannya, layar tancap menjadi hiburan yang ditunggu-tunggu oleh berbagai kalangan di daerah-daerah. Pengalaman komunal tercipta ketika satu sama lain berkumpul di satu tempat dan waktu yang sama, mengalami katarsis bebarengan.
Secara kepenontonan, Partykelir edisi pertama yang terselenggara di Sekar Mataram memang masih sedikit jumlahnya (hampir semuanya panitia). Tetapi, pengalamannya unik dan intim karena matinya listrik di tengah-tengah pemutaran film. Penonton kemudian merapat, menyimak Eka Putra Nggalu (Komunitas Kahe) yang bercerita tentang konteks pada film Ria Rago (1930) yang diproduksi di Maumere.
Lalu pada edisi Partykelir selanjutnya, audiens, momentum, dan program yang disajikan berhasil sinkron. Misalnya, pada edisi kedua yang berkolaborasi dengan Bioscil. Pemutaran dilaksanakan selepas pembukaan pameran anak “Saba Sawah” di Balai Budaya Karangkitri. Film-film yang disajikan bertemakan dan ramah anak, penontonnya pun banyak anak-anak. Pasca pemutaran, beberapa anak dengan berani menceritakan film yang disukai berikut alasannya. “Lucu! Pesan moralnya bagus.” Begitu ucapnya.
Lain hal dengan edisi ketiga (Dusun Gendeng), keempat (Dusun Sawit), dan kelima (Dusun Ngentak) sebagian besar penonton adalah ibu-bapak dan anak-anak RT setempat. Pilihan film menyesuaikan selera dan kebutuhan yang sekiranya target penonton inginkan. Sajian yang “ringan” cocok dijadikan momen tertawa bersama selepas kegiatan sehari yang melelahkan.
Selanjutnya, apa?
Hampir semua (kecuali “Setelah Bajidoran”) tempat penyelenggaraan kegiatan tadi berada di luar kota Yogyakarta. Apakah kemudian Biennale Jogja kehilangan audiensnya?
Faktanya, tidak. Justru, Biennale Jogja melahirkan publik seni rupa baru, yang nantinya akan meramaikan kegiatan seni lainnya. Mulai dari anak-anak, pemuda, hingga ibu-ibu. Yang tadinya datang untuk menonton pertunjukan atau film, jadi sekalian menonton pameran atau mengenal Biennale Jogja. Dengan adanya program ini, Biennale Jogja berhasil memertemukan audiens kota dengan pengetahuan dan situs yang berada di desa. Hal yang—semoga—menguntungkan berbagai pihak.
Lalu, apakah seterusnya acara seni rupa harus selalu bergantung pada audiens disiplin seni lain untuk mendapatkan massa?
Ini bagian yang perlu diakui untuk ekosistem seni rupa Indonesia saat ini. Kemungkinan besar, masih perlu untuk menghadirkan disiplin lain dalam agendanya. Kalau memang harapannya semakin banyak orang yang mendapatkan apa yang coba ditawarkan. Selama hal itu selaras dan mendukung, tidak mementalkan agenda utamanya, itu tidak salah sama sekali.
Malahan, aktivasi program ini justru bermanfaat bagi disiplin seni yang dihadirkan. Bisa jadi, setelah melihat aktivasi program pertunjukan misalnya, dia yang tadinya penonton seni rupa, tertarik juga untuk aktif mengapresiasi pertunjukan.
Pada akhirnya, tiap aktivasi program di Biennale Jogja 17 memiliki capaiannya masing-masing. Semuanya mampu secara subtil menyampaikan narasi mengenai dekolonisasi, trans-lokalitas, trans-historisitas, dan pesan lainnya yang Biennale Jogja harapkan.
Tak apa, jikalau jumlah pengunjung Biennale Jogja pada tahun ini lebih sedikit dibandingkan edisi sebelumnya. Namanya upaya baru, perlu pengorbanan. Saya rasa, apa yang sedang dilakukan Biennale Jogja adalah investasi yang amat berharga dikemudian hari. Meskipun, tentu saja, masih banyak kurangnya.
Tidakkah ini akan terus dilihat sebagai upaya, bukan hasil akhir?