Tentang

Pembukaan Biennale Jogja 17 di Bangunjiwo: Melihat Seni Sebagai Peristiwa

Opening Biennale Bangunjiwo

Apakah perhelatan opening kedua Biennale Jogja 17 ini telah menjadi perayaan bagi masyarakat Bangunjiwo?

Banyak pembeda yang berusaha ditekankan dalam pelaksanaan Biennale di tahun ini, misalnya pada banyaknya lokasi, dan juga keterlibatan masyarakat dalam karya yang dipamerkan. Dengan beberapa titik lokasi yang digadang menjadi venue pelaksanaan Biennale Jogja 17 ini, pihak penyelenggara mencoba mencari terobosan untuk membuat lebih banyak ruang gerak dan interaksi dengan masyarakat sekitar. Penggunaan beberapa lokasi di Bangunjiwo misalnya, Biennale Jogja tidak serta merta hadir tanpa memberikan keterlibatan masyarakat Bangunjiwo. Setelah sebelumnya mengundang khalayak umum untuk turut merayakan opening di Panggungharjo (Kampoeng Mataraman), kali keduanya opening ini juga hadir di Bangunjiwo. Untuk mencapai interaksi antara institusi dan masyarakat tersebut, pembukaan biennale turut tidak hanya bertempat di Bangunjiwo, tetapi panitia terlibat untuk menyisir pihak-pihak kompeten dan terpilih untuk tampil di panggung Biennale Jogja 17.

Antusiasme Opening Biennale Bangunjiwo

Pelaksanaan Opening Biennale di Bangunjiwo dibuka dengan ruang gerak aktif bersama senam ibu-ibu Kring Ngentak Bangunjiwo featuring Arum Dayu dan Prontaxan. Penampilan ini bukan sekadar koreografi yang diciptakan untuk tampil saja, tapi keseluruhan dari penampilan ini, mulai dari instrumen sampai dengan koreografi merupakan karya kolaborasi sang seniman, Arum Dayu, dengan ibu-ibu Kring Ngentak. Gerakan bersemangat yang dilakukan oleh ibu-ibu tersebut menyalurkan antusiasme berantai yang membuat para pengunjung turut bergerak bersama, begitupun dengan para panitia yang semulanya hanya pasif di belakang ibu-ibu senam. Semua orang dapat turut bergerak bebas, menjadi partisipatif dalam karya koreografi yang semulanya dikira menjadi eksklusif oleh para penampil.

Sementara pada malam harinya, rangkaian penampil juga didominasi oleh masyarakat Bangunjiwo, di antaranya Icipili Mitirimin, yakni bagian dari Acapella Mataraman yang diikuti oleh anak-anak. Icipili Mitirimin merupakan acapella anak-anak yang kerap latihan di Omah Cangkem, Bangunjiwo sehingga keterlibatan mereka menjadi selaras dengan visi dan misi pelaksanaan opening yang kedua ini. Penampilan anak-anak dalam Icipili Mitirimin memecah keramaian, dan ketegangan normatif yang biasanya hadir saat penampilan acapella yang kerap terkesan formal. Dalam bidang musik lainnya, ada pula Marina Entertainment, sebuah kelompok musik yang hadir dalam malam itu membuat semua orang turut bernyanyi bersama dengan lagu-lagu bahasa Jawa, bahasa Indonesia sambil bergoyang bersama.

Tanpa mengurangi keceriaan di malam itu, orasi budaya juga disampaikan secara cermat dan berbobot oleh Saras Dewi seorang akademisi yang membicarakan isu budaya, manusia, dan lingkungan. Orasi yang disampaikan oleh Saras Dewi ini juga sedikit banyak mengacu dengan apa yang tengah dilihatnya di sekitaran Bangunjiwo, dan disampaikan secara metaforis. Orasi ini yang kemudian dapat menghubungkan pentingnya isu-isu yang sedang dibangun dan disajikan dalam Biennale Jogja 17.

Seni Sebagai Peristiwa

Berdasarkan perhelatan pembukaan ini, mulai dari antusiasme warga hingga orasi kebudayaan yang disampaikan oleh Saras Dewi dapat menunjukkan seni pun hadir sebagai peristiwa. Seni yang dihadirkan oleh Biennale Jogja 17 ini melepaskan diri dari stigma eksklusif dan tak terjamah umum. Hal ini kemudian menjadi spirit yang membuka keterbukaan masyarakat awam terhadap laku dan aktivitas seni di sekeliling mereka. Lebih jauh lagi, bentuk inklusivitasnya bukan lagi perihal karya yang bisa disentuh semata, tapi bisa dirasakan, hingga melibatkan semua kalangan yang terlibat.