Tentang

Papar Pameran


 

Galeri Taman Budaya Yogyakarta

Jiwa Perempuan, Gerakan Tran-Nasional, Spirit Kolektif, Tradisi Dan Ekologi

Seniman : Alfred Djami & Tayuko Matsumura, Alyen Foning x Matrahita, Ana Ho­ner ex-Prvulovic*, Anca Bucur, Chet Kumari Chitrakar, Dankini-Resting Room, Endang Lestari, Erub Arts, Fazal Rizvi, Gunjiyar, Jasmina Cibic, Mekh Limbu, Mukti Singh Thapa, Nadya Jiwa, Resource Room x IVAA x Warung Arsip, Ruang Perempuan dan Tulisan, Sagio, SIKU Ruang Terpadu 

Karya-karya dalam pameran di Taman Budaya Yogyakarta menunjukkan pendekatan yang beragam berangkat dari konteks-konteks lokal yang berbeda dari masing-masing lokasi di mana seniman berasal. Politik lokasi menjadi sebuah cara untuk menciptakan imajinasi kartografi baru yang bersifat trans-historis, dengan beragam pengalaman yang berbeda dan saling memperkaya. Para seniman Eropa Timur dalam ruang ini banyak menampilkan interpretasi baru sejarah yang menunjukkan pentingnya keterlibatan dan cara pandang perempuan, termasuk berkaitan dengan peristiwa sejarah dan transformasi sosial dan bagaimana dampaknya dalam kehidupan keseharian.

Pengalaman menghidupi bentang alam, dari laut hingga gunung, melahirkan bentuk-bentuk kebudayaan yang berbeda, yang diekspresikan melalui beragam ritual, objek-objek tradisi yang meminjam metafor dan material setempat, yang selalu bergerak dalam lintasan sejarah, bertemu dengan nilai kiwari, di sini dan kini.

Beberapa seniman menarasikan spiritualitas dan keterhubungan dengan ruh dan jiwa leluhur, mengajak penonton memasuki dunia yang tak terlihat, di mana manusia secara setara hidup saling bergantung dengan yang bukan manusia, sebuah dunia yang menyejajarkan yang kasat dan yang niskala, yang bergerak dan yang berdiam.


 

The Rattan

Seniman : Alicja Rogalska, Güneş Terkol, Sony Rai, dan  TacTic Plastic.

Bagaimana melihat solidaritas perempuan dalam berbagai isu keseharian yang terkonstruksi dalam struktur sosial ekonomi? Para seniman dalam ruang the Rattan menjelajahi narasi tentang kerja kolektif perempuan, perluasan jaringan kerja terutama di kawasan terpinggir dan rural. Dalam kehidupan komunal desa, kerja perempuan acap tidak terukur sebagai modal ekonomi, sehingga peran mereka tidak tampak dan dilupakan.

Para seniman melihat ekspresi seni sebagai upaya perempuan mendokumentasikan pengetahuan, dan meretas ruang domestik sebagai arena kontestasi sosial. Melalui nyanyian, tenun, sulaman dan pengolahan kembali limbah plastik, karya-karya ini menggali imajinasi dan mimpi perempuan yang berbasis pada ikatan sejarah dan relasi persaudarian yang intim tapi saling menguatkan.


 

Kampoeng Mataraman

Seniman : Gubuak Kopi, Lian Gogali &Institut Mosintuwu, Lungi, Nando Watu and Komunitas Remaja Mandiri, Natasha Tontey, Nurochmad, Pavel Brăila, Pushpakanthan Pakkiyarajah, Rahmadiyah Tria Gayathri, The Experimental Station for Research on Art and Life, Wahyudi Anggoro dan Komunitas Panggungharjo.

Kawasan Kampoeng Mataraman adalah area yang dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa, yang termasuk salah satu bumdes dengan pengelolaan yang terbaik di Indonesia. Dengan konteks ini, kerangka kuratorial dibangun dengan infrastruktur dan sistem nilai di kawasan desa dan pinggiran, serta bagaimana ruang-ruang pinggir berkontribusi dalam spekulasi masa depan. 

Bagaimana mempertemukan beragam pengalaman lokalitas dalam kerangka wilayah pinggiran atau kelompok masyarakat adat serta menerjemahkannya menjadi ruang untuk membangun solidaritas dan kerangka untuk gerakan kolektif? Sebagian besar karya di kawasan Kampung Mataraman merepons kontek imajinasi baru tentang desa dan kawasan pinggiran, persilangan antara pengetahuan tersituasi dan distopia, serta rekaman sejarah diseminasi nilai dan kebajikan tempatan. Bagaimana melihat teknologi menjadi bagian penting bagi upaya untuk mendokumentasi tetapi juga mengintervensi gagasan tentang yang tempatan? Bagaimana teknologi memberi ruang perubahan yang berdaya guna bagi masyarakat desa dan pinggiran di tengah kapitalisme global? 

Sebuah ruang laboratorium tata kelola desa menjadi titik bertemu untuk melihat kemungkinan bagaimana gerakan akar rumput untuk merebut tata kelola desa keluar dari unit birokrasi dan administrasi menjadi gerakan warga membawa inspirasi bagi kaum muda untuk kembali ke desa dan membangun relevansi desa dengan kehidupan masa kini. Isu-isu yang urgen seperti keterlibatan perempuan, pelestarian keragaman hayati lokal, negosiasi dengan pertumbuhan industri wisata, pengelolaan sumber daya desa berbasis pengetahuan lokal, merupakan narasi yang diharapkan bisa membuka ruang dialog lebih luas di kalangan pengunjung.


 

Karangkitri

Seniman : Aji Ardoyono, Dwi Putra Mulyono, Ela Mutiara, Monica Hapsari x Ibu-ibu Paguyuban Gejog Lesung, Maju Lancar Miri Sawit, dan Pameran Anak/The Children’s Art Exhibition.

Balai Budaya Karangkitri dibangun sebagai upaya untuk mengumpulkan pengetahuan lokal tentang tanah, tetumbuhan dan daya cipta manusia desa berkaitan dengan semesta alam. Selama ini Balai Budaya Karangkitri berfungsi sebagai pusat komunitas di mana warga mengadakan berbagai kegiatan seni budaya di sana. Di area yang dekat, terdapat Pusat Pengelolaan Sampah kawasan desa yang menandai babak baru kesadaran lingkungan warga. 

Di pendopo depan, merespons konteks pengelolaan sampah, sebuah karya berbentuk capung dengan mesin kinetik, menjadi penanda untuk harapan tentang lingkungan hidup yang lebih bersih dan relasi kodependensi kita dengan mahluk hidup lainnya.

Dalam ruang Balai Budaya Karangkitri, hampir semua seniman memiliki sejarah proses di sana, atau menggali narasi yang berkaitan dengan sejarah desa. Bagaimana peran perempuan dalam merawat bumi, menjaga ruang domestik dan bagaimana hal ini telah diturunkan melalui nenek moyang melalui lagu-lagu dan bentuk seni? Bagaimana konsepsi tentang ibu menjadi filsafat dasar untuk merawat segala yang tumbuh; memakan apa yang ditanam, menanam apa yang dimakan? 

Karakter wayang perempuan dan tubuh perempuan dalam seni (tradisi) juga perlu untuk terus ditafsir dan dimaknai ulang, sehingga bisa terus sesuai dengan zaman yang dihidupinya. Ada ketegangan dengan nilai-nilai lain, tetapi justru pergeseran dan kegamangan identitas selalu membawa kita pada titik kehidupan baru.


 

Pendhapa Art Space / Pas Podjok Coffee

Proyek Khusus Bersama Seniman Lokal

Seniman : Ibu Atmo, Legiyem, Mit Jai Inn Studio+CCCCC, Nurochmad, Sagio, dan Subandi Giyanto. 

Pada Biennale Jogja 17 2023, Kami secara khusus memberikan penghormatan kepada para seniman lokal di Panggungharjo dan Bangunjiwo yang telah puluhan tahun mendedikasikan hidupnya untuk merawat dan menumbuhkan pengetahuan dan kerajinan lokal. Keberadaan para seniman lokal ini juga menjadi ruang yang membawa filsafat dan tradisi Jawa ke dalam kehidupan keseharian di masa kini. Melalui ruang ini kami ingin membawa para seniman lokal berada dalam percakapan yang relevan dengan praktik seni kontemporer.

Beberapa seniman lokal yang terlibat pada proyek khusus ini diantaranya adalah Gunjiyar, Ibu Atmo, Legiyem, Nurrochmad, Sagio dan Subandi Giyanto yang juga berkolaborasi dengan seniman asal Chiang Mai, Mit Jai Inn Studio+CCCCC. Seniman yang tergabung pada proyek ini bukan hanya hidup dari kerajinan namun juga menghidupi kerajinan-kerajinan itu sendiri dengan pengetahuan yang tidak jarang didapatkan secara turun temurun. Seperti Ibu Legiyem yang mendapatkan keterampilan membuat anyaman mendong dari nenek dan ibunya, serta Pak Sagiyo yang mengenal keterampilan tatah sungging wayang kulit dari sang ayah. Seniman lainya, Bapak Subandi Giyanto memulai perjalanan melukis kaca dengan belajar secara otodidak setelah sebelumnya menekuni dunia tatah wayang kulit. 

Begitulan kemudian para seniman lokal ini mencoba untuk mengkomunikasikan berbagai pengetahuan lokal seperti filsafat dan tradisi lokal pada kehidupan keseharian melalui karyanya. Namun sayangnya banyak diantara kerajinan tersebut saat ini terasa semakin berkurang pesonanya. Hal itu juga yang membuat seniman lokal yang bergerak di wilayah kerajinan semakin berkurang. Itulah yang kemudian mengantarkan Mit Jai Inn Studio+CCCCC berkolaborasi dengan seniman lokal. Melalui seni kriya yang selama ini dianggap subordinat, Mit Jai Inn mencoba melihat keterkaitan antara seni kontemporer dengan seni tradisi. 

Beberapa hasil kolaborasi antara Mit Jai Inn dengan seniman lokal diantaranya adalah instalasi lampu yang kemudian direspon oleh Pak Subandi Giyanto dengan lukisan ornamen-ornamen wayang. Pak Sagiyo juga menambahkan instalasi tatah wayang kulit yang kemudian memberikan efek permainan bayangan pada salah satu lampu. Lampu yang lain juga direspon oleh Caroline Rika, salah satu seniman tie dye dan batik dengan menambahkan sentuhan-sentuhan ornamen kain. Selain itu hasil karya anyaman mendong Ibu Legiyem juga direspon oleh salah satu seniman Geger Boyo dengan lukisan-lukisan yang juga ditampilkan di beberapa titik lokasi pameran Biennale Jogja 17.

 


 

Sekar Mataraman

Pengetahuan Lokal, Politik Pangan, Resistensi Warga dan Ekologi, Kriya dan Seni

Seniman : Anusapati, Fitri DK, Kan Nathiwutthikun, Laila Tifah, dan Rosvita Sensiana x Caroline Rika.

Sekar Mataram merupakan area badan usaha milik desa Bangunjiwo, yang berada di kawasan lahan pertanian, dengan bentangan sawah luas yang dibatasi bukit di kejauhan. Konteks ini memberi peluang untuk membicarakan politik pangan baik melalui problem yang bersifat strukturalis dan sebagai dampak industrialisasi maupun pangan sebagai hasil kerja pengetahuan dan kebudayaan. Sebagian besar seniman dalam pameran ini (para perempuan) secara khusus memberi ruang pada pengetahuan dan penciptaan domestik—resep masakan, anyaman bambu, tenun, pewarnaan alam—dari beragam narasi dan peristiwa, dari Maumere hingga Wadas.

Kerja penciptaan perempuan tidak saja menjadi cara untuk memenuhi kebutuhan, tetapi juga bertumbuh sebagai cara nyata merawat alam semesta dan keseimbangan ekologi, dan dalam situasi konflik, menjadi aksi resistensi yang politis. Para seniman menggarisbawahi bagaimana perempuan merebut ruang domestik sebagai ruang transformasi sosial dan upaya memperjuangkan masa depan.

Benang merah penting lainnya adalah bagaimana para seniman menggunakan material organik (atau mempertanyakan gagasan tentang materialitas) seperti bambu, pewarna alam, tanah liat, dengan teknik-teknik yang diwariskan dari generasi lalu, yang setiap prosesnya memberi ruang mengartikulasikan filsafat lokal. Sebagian besar ketrampilan dan pengetahuan ini pelahan menghilang, dan upaya para seniman berkolaborasi atau menekuni kembali ketrampilan ini seperti cara terhubung dengan pemikiran leluhur dan mencari makna baru yang relevan dengan kehidupan hari ini.


 

Area Lohjinawi

Seniman : Anang Saptoto X Kelompok Wanita Tani Mawar 4 X Ahli Tani Pepaya Pak Sadhir X Warga Ngentak X Forum Arsitektur Kampung Kolaborator X Forum Pers Mahasiswa Yogyakarta, Arum Dayu X Ibu-ibu Kring Ngentak X Mak Yuli X Mbak Emi X Mbak Fitri X Mbak Rani X Mbak Heni X Prontaxan, Dan Vezentan, Derek Tumala, Eduard Constantin, Jogja Disability Art, Lahan Petani, dan Nursalim Yadi.

Membicarakan desa dan ketahanan pangan, dalam konteks Panggungharjo dan Bangunjiwo, dengan segera membawa penonton pada citra dan lanskap pertanian. Sebagai bagian dari kawasan lumbung pangan kawasan Bantul di masa lalu, kita dapat melihat transformasi lahan yang cukup besar dengan pembangunan lahan perumahan, fasilitas publik, dan sebagainya.

Kawasan Lohjinawi dalam kerangka Biennale Jogja 17 menjadi situs spesifik yang membicarakan kelindan problem pangan dan pertanian, termasuk membicarakan sejarah dan konspirasi global dalam industri beras, berkurangnya jumlah petani secara signifikan, serta bagaimana kerja menggarap lahan dan tanah menjadi ruang sosial dan komunal yang melampaui kepemilikan, tetapi cara untuk berbagi dan peduli.

Sebagian besar karya di Lohjinawi merupakan kerja kolaborasi antara seniman dengan warga, serta melibatkan kelompok mahasiswa dan komunitas sipil lainnya. Seniman berangkat dari interaksi yang terbuka bersama para petani, para ibu, pengrajin dan ahli lokal, untuk mewujudkan ruang komunal baru yang bisa menjadi titik berkumpul warga. Kolaborasi ini membangun identitas kolektif baru, sebuah upaya untuk membawa kerja pertanian dan kecintaan pada lahan sebagai kemungkinan transformasi pengetahuan lokal.


 

Gudang

Seniman : Anca Benera & Arnold Estefán, Aldo Fernandez, Betty Adii, Bidhyaman Tamang, Dipak Lama & Shreeti Prajapati, Kolektif Videoge, Lembâna Artgroecosystem, Lucia Hartini, M. Irfan, Manita Newa Khadgi & Mimi, Mekh Limbu, Muna Bhadel, Nelson Natkime, Raluca Popa, dan U Bat Sat.

Area Gudang Bibis merupakan bangunan khas industrial yang luang dan lapang, memungkinkan karya-karya yang ada saling bertemu dan membangun percakapan. Di Gudang Bibis, para seniman menjelajahi gagasan tentang budaya pertanian dalam konteks yang luas; berkaitan dengan komoditas—jagung, tembakau, padi, gandum, bagaimana relasinya dengan politik pangan, tetapi juga membicarakan bentang alam: lanskap, sungai, air, dan korelasi kosmologis yang membangun peradaban manusia.

Ada pula bentuk-bentuk resistensi melawan transformasi dan perebutan lahan, kapitalisasi sumber daya dan hilangnya kearifan tempatan. Perlawanan warga dan gerakan sipil yang disejajarkan bersama menjadi ruang pembentukan solidaritas.

Gudang Bibis juga menandai bagaimana pengetahuan tentang alam dan kosmologi selalu terkonsktruksi secara gender, dan secara khusus beberapa karya menggarisbawahi pengetahuan perempuan dan non biner yang kembali pada gagasan tubuh perempuan sebagai rahim alam.


 

Monumen Bibis

Seniman : Ibro Hasanović, Jompet Kuswidananto, Leyla Stevens, Lintang Radittya, Maruto Ardi, Unhistoried, dan Vincent Rumahloine.

Monumen bibis merupakan situs yang mempunyai konteks sejarah menarik, di mana rezim Orde Baru menunjukkan kuasa tentang pembentukan jejak ruang yang dilembagakan, membangun monumen dan museum atas nama negara. Rumah di mana Soeharto pernah tinggal beberapa bulan ini diresmikan sebagai monumen pada 1980an, dan setelah reformasi 1998, tempat ini nyaris dilupakan; penuh debu dan hantu masa lalu. Dengan keinginan untuk membaca ulang sejarah dan menuliskan kembali narasi-narasi kompleks dari berbagai periode transisi dalam kacamata yang intim, puitik tetapi memberikan ketegangan.

Karya-karya seniman dalam situs limasan ini merespons kata-kata kunci tentang pelarian, persembunyian, ruh dan spirit, sinkretisme, modernitas dan tradisi, termasuk juga titik temu politik trans-nasional, termasuk melalui penelusuran terhadap kapal milik Presiden Josep Broz Tito, untuk membawa memori dan narasi tentang Orde Lama dan Gerakan NonBlok, serta transisi politik global. Para penari membicarakan bagaimana perempuan yang berpengetahuan kerap ditunjuk sebagai hantu, terus menari di bawah beringin.

Sementara di ruang diorama, para seniman bernegosiasi dengan bentuk dan material, merespon ruang dan konteks arsitektural bangunan, sehingga menjadi intervensi yang mengganggu dan sekaligus mengundang rasa ingin tahu. Artifak-artifak berselubung kain putih, alat pertukangan dan material yang terpotong-potong atau bebunyian yang dibentuk dari tanah yang mengajak penonton mendekatinya dengan mendengarkan dinding. Intervensi-intervensi ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah sama sekali, tetapi memberi ruang untuk menerjemahkan objek-objeknya dengan imajinasi yang lebih terbuka.


 

Joning Art Space

Seniman : Betty Adii dan Endang Lestari

Karya-karya di Joning Artspace menggunakan material tanah dan bahan organik lain untuk membawa penonton pada pengalaman yang dekat dengan keseharian, tentang sesuatu yang dipijak dan menghidupi tubuh. Joning Artsapce sendiri berada di dalam kawasan pengrajin gerabah di Kasongan, Bantul, di mana warga sekitar telah lama memanfaatkan tanah untuk menciptakan karya dan menjadikannya sebagai sumber penghidupan. Ruang ini juga menjadi wahana untuk merefleksikan pengalaman perempuan tentang tubuh dan alam, ruang sosial dan personal, ingatan masa lalu dan pijakan masa depan.

Karya dari Institut Mosintuwu menampilkan keragaman tanah di Poso, Sulawesi Tengah, yang dinarasikan oleh para ibu untuk melihat relasi antara perempuan/ibu dengan alam semesta. Sementara Betty Adii menggunakan keramik untuk membicarakan perempuan sebagai penjaga alam dan pejuang kehidupan. Endang Lestari mengajak pengunjung untuk mengaktivasi panca indera, menyentuh dan berinteraksi langsung dengan tanah untuk merasakan, membaui, mendengar desir dan melihat pengetahuan yang terpendam.


 

Rumah Tua

Seniman : Jelica Jovanović


 

Pujasera Madukismo

Seniman : Ilona Németh dan Jompet Kuswidananto.

Pujasera Madukismo terletak dalam satu kawasan dengan pabrik gula madukismo, tepatnya di seberang area parkir lori dan pohon trembesi raksasa. Menuju ke lokasi ini pengunjung akan memasuki suasana pabrik, dengan aroma khasnya dan juga jajaran pohon tua di kanan kirinya.

Secara khusus, karya dalam area ini membicarakan sejarah pabrik gula dalam konteks Jawa dan Eropa Timur. Bagaimana industri gula tak lepas dari sejarah kolonialisme dan awal modernisasi Jawa, dan di Eropa Timur sendiri, industri gula bertumbuh dalam periode kekaisaran Austria dengan dukungan Uni Soviet. Dalam dua konteks ini, narasi sejarah juga  menunjukkan bagaimana banyak pabrik gula dari masa kolonial dan monastri ditutup dan perdagangan gula memasuki era baru semenjak pertengahan 2000an. 

Seniman Ilona Lemeth dalam beberapa tahun ini telah mendokumentasikan pergeseran dalam industri gula yang merupakan imbas dari bubarnya Uni Soviet, dan situasi politik Eropa Timur, serta politik Ekonomi Eropa yang lebih berpihak pada impor gula dari kawasan seperti Brazil atau Thailand. Eastern Sugar adalah nama sebuah pabrik yang menjadi titik berangkat dari projek mendokumentasikan sejarah industrialisasi pangan, modernitas serta kemelut politik ekonomi global. 

Bersanding dengan karya Jompet Kuswidananto yang mengintervensi ruang pabrik yang penuh dengan mesin raksasa, sebuah simbol zaman baru di Jawa, dengan gerakan tubuh penari Jawa yang organik. Jompet merujuk pada lanskap yang mengalami transisi dari budaya tani menjadi budaya industri. Sementara Arsip-arsip sejarah pabrik gula dari Komunitas Roemah Toea dipajang untuk memberikan narasi tentang peran penting pabrik gula di masa kolonial, tidak hanya dalam ekstraksi dan eksploitasi penjajahan, tetapi membentuk serangkaian narasi budaya yang juga mempunyai konteks sempalan tentang resistensi dan kelas sosial.