Tur kuratorial Biennale akhirnya dibuka untuk khalayak umum. Tersemat kata Anjangsana sebagai judul tur, yang mana bila diartikan secara harfiah berarti sebuah kunjungan silaturahmi. Seumpama silaturahmi, tur kuratorial ini memberi ruang bagi para pengikutnya untuk semakin mempererat diri mereka dengan pihak yang dikunjungi.
Dalam Tur Anjangsana, karya-karya seni yang membicarakan hal-hal krusial menjadi objek utama yang dikunjungi. Dari berbagai karya lukis dan instalasi, suara-suara yang sedang mengupayakan resistensi mampu didengar. Melalui Tur Anjangsana, pengunjung diajak untuk melawat dan mendengar suara-suara dari isu yang bergulir di tanah air maupun dunia hari ini. Isu-isu yang tadinya jauh dari kita jadi terasa lebih dekat.
Anjangsana yang pertama dilaksanakan pada Minggu, 22 Oktober 2023. Dimulai pada pukul 14.00, tur ini dihadiri oleh sekitar 30 orang. Mereka datang dari berbagai negara dan usia. Kebanyakan ialah orang dewasa, bervariasi dari Korea, Singapur, Amerika, dan Indonesia sendiri.
Area yang menjadi destinasi kunjungan adalah wilayah Panggungharjo sehingga rute dimulai dari The Ratan, Kampoeng Mataraman, Balai Budaya Karang Kitri, dan kawasan Pabrik Madukismo. Tur Anjangsana dipandu secara langsung oleh Direktur Yayasan Biennale Yogyakarta, Alia Swastika.
Selama melakukan perpindahan dari satu lokasi pameran ke lokasi lainnya, pengunjung diberi fasilitas kendaraan berupa kereta kelinci. Perjalanan tur dimulai dari sepetak galeri berdinding kaca di The Ratan. Para pengunjung diajak untuk melawat kisah para ibu yang mengupayakan resistensi dari Nepal, Yogyakarta, dan Polandia.
Selain itu, ada pengunjung diajak pula untuk melihat karya yang menyuarakan isu lingkungan. Seluruh instalasi dibuat dari plastik bekas dan terdapat lukisan belalang atau burung bangau di dinding yang semakin jarang terlihat sebagai penanda lingkungan semakin buruk untuk ditempati. Di sini, pengunjung dipantik kembali untuk membaca ulang kebiasaan manusia dalam mengonsumsi bahan-bahan yang kurang ramah bagi lingkungan.
Lalu, di salah satu limasan Kampoeng Mataraman pengunjung diajak untuk berjalan melintasi berbagai upaya resistensi yang sedang bergeliat di beberapa desa di Indonesia. Mulai dari konservasi lingkungan di Desa Panggungharjo, agensi perdamaian oleh Ibu-Ibu di Poso, dan penguatan potensi Desa Detusoko oleh Kolektif Video. Karya-karya yang menyuarakan upaya tersebut ditampilkan dalam bentuk arsip tulisan, foto, dan juga poster.
Limasan yang lain di Kampoeng Mataraman memiliki kisah yang berbeda. Terdapat karya dari Natasha Tontey berupa sekotak TV LED yang memunculkan film pendek. Ia membuat karya film yang spekulatif, membahas dunia spiritual dari masyarakat ulayat di Minahasa. Dengan unsur-unsur budaya pop, Tontey berusaha membuat dongeng sureal akan suatu makhluk spiritual yang diyakini oleh masyarakat Minahasa.
Setelah Kampoeng Mataraman, pengunjung diajak untuk melawat dan merefleksikan kembali persoalan gender dan lingkungan yang dekat dengan kita di Balai Budaya Karang Kitri. Di sana, mereka disambut dengan karya Aji Ardoyono yang berupa instalasi capung dari besi. Instalasi tersebut ingin menyuarakan krisis lingkungan yang ditandai mulai langkanya capung-capung.
Kemudian, pengunjung juga bertemu pandang dengan karya Monica Hapsari yang menyuarakan kelompok ibu-ibu berkesenian melalui Gejog Lesung. Selain itu, pengunjung juga diajak untuk memasuki sudut kamar seorang penari Bajidor. Para penari Bajidor seringkali diasosiasikan sebagai pemuas hasrat para laki-laki. Dalam suatu bilik di dalam Balai Budaya Karang Kitri, pengunjung diajak untuk ikut merasakan bahwa penari juga manusia seperti kita yang tak sepatutnya diberi tatapan objektifikatif.
Destinasi yang menamatkan perjalanan tur area Panggungharjo yaitu Foodcourt Madukismo. Di sana, pengunjung melawat sejarah jatuh bangun pabrik Gula di Indonesia dan Slovakia. Sejarah tersebut menjadi salah satu bagian dari sejarah yang lebih besar menyoal kejatuhan Uni Soviet.
Lain ladang lain belalang, lain desa lain prahara. Di Bangunjiwo, lokus-lokus pameran di berbagai dusun menyuarakan isu yang berbeda. Tur Anjangsana untuk wilayah Bangunjiwo diadakan pada Minggu, 29 Oktober mulai pukul 14.00. Tempat-tempat yang dikunjungi antara lain Sekar Mataram, Lohjinawi, Monumen Bibis, dan Gudang Bibis.
Sekar Mataram memberi perspektif bagi pengunjung menyoal aktivisme yang tidak selalu identik dengan angkat senjata. Aktivisme tersebut datang dari resistensi Ibu-Ibu di Wadas yang melawan pembangunan PLTA dan Ibu-Ibu dari NTT yang menenun kain sebagai upaya resistensi di tengah konflik.
Lohjinawi mengajak para pengunjung menapaki tanah Dusun Ngentak yang ditanami berbagai buah, seperti semangka, melon, dan pepaya. Perkebunan tersebut menjadi aktivitas kolaborasi antara seniman Anang Saptoto dengan petani sekitar. Di Monumen Bibis, pengunjung diajak untuk mendengar bisikan sejarah tentang propaganda Soeharto, eks tapol 1965, hingga para pasukan Diponegoro dalam Perang Jawa.
Terakhir, di Gudang Bibis bekas pabrik tisu para pengunjung diluapkan dengan isu yang sangat beragam. Mulai dari isu petani tembakau di Madura, tradisi pangan di India, kembali lagi bertemu dengan isu lingkungan, dan ibu-ibu sebagai agensi perdamaian di Poso.
Tur Anjangsana ternyata cukup berbuah antusiasme dari para pengunjungnya. Mata mereka selalu tertuju pada pemandu tur kala ia menjelaskan suatu karya. Salah seorang pengunjung bernama Shaliha menceritakan kesannya mengenai Biennale. Ia merasa bahwa Biennale Jogja membawa spirit lokalitas. Apalagi, desa sebagai lokus penciptaan seni dan warga sebagai subjek yang diajak berkolaborasi menjadi poin penting.
Namun, ketika ditanya karya mana yang paling berkesan, ia justru menilai kincir-kincir angin di depan Balai Budaya Karang Kitri yang menjadi dekorasi dalam Pameran Anak Saba Sawah menjadi karya favoritnya. Di tengah-tengah hiruk pikuk karya yang menyuarakan berbagai isu, kincir angin menjadi semacam penyegar. Apalagi, penggunaan kereta kelinci sebagai kendaraan membuatnya terpanggil kembali dengan ingatan masa kecil yang menyenangkan.
Pada akhirnya, Tur Anjangsana mempertemukan kembali para pengunjung dengan persoalan yang selama ini jauh teras pemikiran kita. Melalui instalasi seni, dialog mengenai berbagai isu yang dalam pun menjadi lebih ramah untuk dipahami.