Biennale Jogja 17 menghadirkan sebuah medium yang interaktif, baik dengan warga lokal, pengunjung pameran, atau karya seni. Medium ini bukan lagi objek karya seni yang sekedar dipukul lalu mengeluarkan suara atau ditulis dan dipajang. Biennale Jogja menghadirkan medium dalam bentuk lelaku, sebuah interaksi hidup antarsubjek. Medium itu dibungkus dalam format repertoar.
Repertoar berkisar antara peristiwa memasak bersama warga, merespon karya seni dengan repertoar peribadatan, dan koreografi bersama pengunjung pameran. Ada pula sebuah repertoar koreografi dan seni performans yang menjelma sebagai sebuah tontonan ketimbang interaksi secara langsung dengan penonton. Interaksi yang dihadirkan yakni interaksi pra dan pasca repertoar dalam bentuk diskusi.
Aneka repertoar tersebut dipentaskan oleh Ma’rifatul Latifah (Madura), M. Safrizal (Aceh), Maulidi Harista (Aceh), Paradance Platform (Sleman), Darryl Haryanto (Sleman), M. Abdul Aziz (Bantul), Suden dan Lysandra (Sleman), serta FJ Kunting (Kediri).
Ma’rifatul Latifah atau yang akrab disapa Mia menampilkan repertoar berjudul Atatolong. M. Safrizal atau DekJall membuat sebuah repertoar berjudul Tarekat Bhako. Maulidi Harista atau Aris menampilkan repertoar koreografi bertajuk Setelah Bajidoran. Darryl, Aziz, Suden, dan Lysandra membuat sebuah repertoar site-specific di Rumah Tua berjudul Pekarangan. Lalu, seni performans FJ Kunting berjudul Coding.
Sementara, Paradance menyajikan repertoar koreografi dari tiga koreografer yang pernah tampil dalam festival Paradance. Mereka memiliki gaya yang berbeda. Namun, gagasannya masih dalam satu benang merah yang sama, yakni soal kesadaran atas tubuh.
Pertama, Jennifer Natasha C dengan koreografi balet berjudul Pointe. Kedua, Putu Aristadewi dengan koreografi Suun. Ketiga, Febby Nursyahvira bersama koreografi kontemporernya berjudul Sajian dalam Ruang Katarsis.
Masing-masing repertoar dalam Baku Pandang memberikan tawaran pendekatan dan nilai berbeda. Akan tetapi, masing-masing repertoar berupaya mendobrak nilai-nilai konvensional dalam dunia pertunjukan yang para seniman geluti.
Dalam repertoar Atatolong, Mia menyajikan sebuah lelaku performatif memasak bubur Madura. Atatolong sendiri memiliki arti saling menolong. Bentuk repertoar Mia bukan sebuah repertoar drama konvensional. Dirinya meleburkan suatu kegiatan sosial dan peristiwa seni.
Pada sebuah lahan kosong di depan Studio Lohjinawi, Mia menggelar repertoar memasak Bubur Madura sembari menyetel musik dangdut. Bersama irama dendang dangdut, Mia asyik mengaduk sepanci bubur dan meracik bumbu.
Biennale Jogja mengundang Ibu-Ibu Dusun Ngentak, Bangunjiwo dan mereka segera Mia libatkan dalam lelaku performatifnya. Repertoar yang ia lakukan menjadi sebuah aksi memasak bersama dan tukar wawasan cara memasak bubur Madura dan Jogja. Di sinilah letak Atatolong yang dimaksud. Mia berupaya menghadirkan suatu repertoar partisipatoris dan mengusung nilai gotong royong warga.
Repertoar selanjutnya berupa koreografi peribadatan sebagai respon terhadap salah satu instalasi di Gudang Bibis. Tarekat Bhako, koreografi yang digarap dan dipentaskan oleh DekJall menghadirkan tubuh yang melakukan gerak-gerak tarekat. Tarekat dalam ajaran Islam berarti sebuah jalan. Jalan yang dimaksud di sini yakni jalan untuk menuju Tuhan atau upaya mendekatkan diri dengan Tuhan.
DekJall sendiri dulunya mengenyam pendidikan di sekolah Islam, Aceh yang mana salah satu kegiatan sehari-harinya adalah melakukan tarekat. Judul yang dipilih menjadi Tarekat Bhako karena DekJall merespon sebuah instalasi seni yang terbuat dari daun tembakau. Instalasi itu adalah karya dari Lembana Artgroecosystem. Cara DekJall merespon kemudian bertarekat di sekitar instalasi itu.
DekJall duduk bersimpuh sambil mengangguk-anggukan kepala, kemudian bibirnya komat-kamit seperti orang sedang membacakan zikir. Pada fragmen lain ia akan berdiri, lalu mengitari instalasi yang bentuknya serupa pohon berkanopi.
Melalui koreografi ini, DekJall membawa sebuah performativitas yang dekat dengan kesehariannya sebagai orang Aceh. Kemudian, memberikan tawaran dalam dunia koreografi bahwa lelaku keseharian juga mampu menjadi koreografis.
Repertoar selanjutnya adalah koreografi secara berkelompok yang digarap Aris. Ia juga berasal dari Aceh dan menari di ruang pameran. Namun, apa yang dilakukan ia dengan kawan-kawannya bukan merespon instalasi dengan gerakan-gerakan khas dari Aceh.
Aris merangkai koreografi yang berdasarkan sebuah pengalaman mempelajari Bajidoran melalui proses penciptaan karya dari koreografer Ela Mutiara (Sukabumi, Jawa Barat). Kesenian tersebut berusaha diintervensi dengan dua kondisi di mana semua penari Aris adalah laki-laki dan mereka bukan berasal dari Jawa Barat.
Alhasil, karya koreografi yang dibuat justru terlihat “berwarna” sekali. Yang dimaksud berwarna adalah bahwa lelaku koreografis yang muncul begitu cair dan variatif. Ada gerak-gerak goyang pinggul dan street dance, lalu ada gerakan tari Igel Jongkok dari Bali.
Kerja-kerja koreografi yang dilakukan Aris justru memberikan tawaran baru dalam kepenarian bahwa suatu koreografi bisa berkembang tidak harus mengikuti teknik-teknik sumber primernya. Dalam konteks ini, Aris menawarkan gagasan yang berangkat dari Bajidoran. Tetapi, ia tak memaksakan diri membuat sebuah mimesis dari Bajidoran.
Paradance Platform menawarkan tiga repertoar. Pertama, repertoar balet oleh Jennifer yang mengisahkan perjalanannya menjadi ballerina yang maksimal. Kedua, repertoar yang mengangkat sebuah lelaku keseharian para wanita Bali yang dinamakan Suun karya Arista. Suun adalah aktivitas membawa benda dengan meletakkannya di atas kepala. Melalui karyanya, ia ingin menelusuri fenomena diskriminasi pada kehidupan perempuan Bali lewat biografi Ibu.
Terakhir, karya Febby yang mempercakapkan soal gagasan kecantikan yang kerap kali “melukai” perempuan. Melalui karya koreografinya, ia mempertanyakan bagaimana otoritas atas gagasan kecantikan dapat dikontrol dan direbut kembali oleh perempuan?
Selain repertoar koreografi, Biennale Jogja menghadirkan pula sebuah seni performans. Pertama, performans yang merespon lokasi pameran di Rumah Tua. Sebuah rumah yang terbengkalai puluhan tahun direnovasi kembali oleh seniman dari Belgrade berkolaborasi dengan mahasiswa arsitektur di Jogja. Rumah itu kemudian menjadi lokus peristiwa seni Baku Pandang dengan tajuk performans Pekarangan.
Seniman yang merespon antara lain M. Abdul Aziz, Darryl Haryanto, Suden, dan Lysandra. Mereka semua berangkat dari gagasan mengenai rumah. Mereka menghadirkan sebuah aktivitas yang erat dengan lelaku keseharian di rumah. Aziz dengan aktivitas menimba sumur dan mandi di pekarangan sebelah rumah, Darryl dengan aktivitas ngobrol santai bersama para pengunjung, lalu Suden beserta Lysandra mengadakan sebuah pengajian.
Performans kedua sekaligus menjadi pungkasan dari seni performans di Biennale Jogja, yakni performans FJ Kunting. Melalui performans berjudul Coding, Kunting berupaya meretas mitos yang berkembang di kampung sekitar mengenai ayam berkokok. Setiap daerah rupanya memiliki mitos yang berbeda soal ayam berkokok pada dini hari.
Misalnya, ada orang Madura meyakini bahwa ayam berkokok di tengah malam berarti ada seorang gadis mengandung di luar pernikahan. Di daerah lain, ada yang meyakini ayam berkokok pukul 12 malam menandakan ada yang meninggal.
Kunting berupaya meretas mitos-mitos tersebut dengan meniru ayam mengepak sayap dan berkokok di sekitar Studio Lohjinawi. Ia menampar pahanya berulang kali bagaikan ayam mengepak sayap, lalu berkokok. Kunting memulai aksinya dari pukul 23.00-24.15. Tepat pada 24.15, suara kokok Kunting disambut kokok-kokok ayam-ayam di sekitar kampung.