Apa yang melatarbelakangi tatapan penuh hasrat atas suatu hal?
Dalam membedah pertanyaan perihal hasrat, kita dapat menarik garis dari fenomena-fenomena isu gender di sekitar kita. Ada sebuah logika alam bawah sadar yang memberi penyudutan dan objektifikasi atas gender tertentu, seperti perempuan dan nonbiner.
Dalam melihat fenomena tersebut, performance art Setelah Bajidoran mengajak pengunjung untuk sadar sekaligus mengalami logika itu. Logika yang melihat persoalan hasrat atas gender perempuan sebagai sesuatu yang dapat digugat. Dalam hal ini, Setelah Bajidoran menjadi sebuah pertunjukan yang menggugat tatap sensual penonton terhadap penari perempuan.
Pertunjukan Setelah Bajidoran menghadirkan lima lelaki melakukan gerak-gerak yang dianggap sensual dalam tari Bajidor sambil bertelanjang dada. Pertunjukan tersebut didasari pengalaman Maulidi Harista dalam mempelajari Bajidoran melalui proses penciptaan bersama Ela Mutiara. Keduanya menelusuri Bajidoran sebagai gagasan utama.
Reka Adegan
Bajidoran, Kesenian yang tumbuh di kalangan masyarakat menengah ke bawah di Karawang, Subang, dan Sukabumi hendak diintervensi dengan dua paradoks. Pertama, kesenian yang mestinya dilakukan oleh penari perempuan dilakukan oleh penari laki-laki. Kedua, semua penari tidak berasal dari Jawa Barat sehingga Bajidoran bukan pengalaman yang melekat dalam ketubuhan mereka.
Pertunjukan yang dilakukan di dalam Galeri Taman Budaya Yogyakarta (TBY) itu mendapat antusias yang tinggi dari keramaian massa, baik yang berkunjung di ruang pamer, ataupun yang melihat dari depan pintu galeri. Keramaian mulanya hanya tertuju pada karya-karya yang tersaji. Kemudian, fokus penonton terpecah dengan lenggok para penari Bajidoran.
Sebaris laki-laki sejumlah lima orang berbaris sejajar di selasar depan galeri TBY. Awalnya, mereka diam untuk beberapa menit. Lantas, salah satu dari mereka membalikkan badan ke belakang, kemudian membalikkan badan lagi ke depan. Gerakan ini diikuti oleh lelaki lainnya hingga mereka bergerak memutar badan selama beberapa kali. Mulanya lambat, lama-lama temponya semakin cepat. Tangan kanannya memegang uang 2000-an sekitar empat lembar. Gerakan serupa diikuti laki-laki lain. Satu per satu mereka berjalan ke dalam galeri.
Di dalam galeri, para lelaki itu melakukan gerakan-gerakan lain yang lebih dinamis. Sesekali pinggul tak lagi bergoyang. Sementara, penari lainnya ada yang masih berkutat dengan goyangan di pinggul sembari berjalan dan membawa uang 2000-an, para penari yang berjalan ini menyebar ke berbagai sisi ruangan dan mendekati penonton. Dengan beberapa lembar uang di tangannya, ia seakan menggoda penonton untuk mengambil uang yang dipegangnya dan mengajak menari bersama. Penari-penari lainnya sibuk bergerak bebas. Ada yang menari-nari dengan sentuhan genre hip-hop. Ada yang masih berjalan menyisir galeri sambil memacak pinggang dan ada yang asik bergoyang duet dengan sesama penari.
Menalar Tarian
Galeri TBY tampak semakin ramai dan riuh dengan berbagai gerak dan ekspresi. Fokus pengunjung pun teralih dan mereka mengerumuni para penari yang asyik bergoyang. Ada pula beberapa pengunjung yang ikut menari-nari bersama dengan penari laki-laki. Para laki-laki itu menari di dalam galeri kurang lebih selama 30 menit. Selepas beberapa puluh menit berselang, mereka mengadakan pertunjukan yang sama. Namun, dengan tampilan yang berbeda. Di pertunjukan selanjutnya, mereka bertelanjang dada dan mengenakan celana jeans.
Pertunjukan ini sebenarnya ingin merespon sekaligus bentuk lanjutan dari Baku Pandang Biennale Jogja yang pertama, yaitu pertunjukan oleh Ela Mutiara. Pada pertunjukan pertama, Ela membawakan lecture performance berjudul Koreografi Sensualitas dan tarian Bajidor. Pada pertunjukan karya Maulidi Harista ini, ia dan kawan-kawan penarinya ingin memutarbalikkan Bajidor yang biasanya ditarikan oleh perempuan. Hal ini memunculkan sebuah gugatan. Apakah tatapan hasrat masih beroperasi pada tubuh laki-laki yang melakukan koreografi dalam label sensual?