Bagaimana isu gender hadir dan berkelindan di masyarakat?
Dalam pelaksanaan Biennale Forum hari kedua (10/10), diskusi berlangsung dengan memberikan topik Gender Intertwined with Knowledge Production yang merupakan sebuah pembahasan tentang gender dan hal-hal yang berkaitan mengenainya. Gender dihadirkan bukan sebagai persoalan personal dan perseorangan, tetapi sebagai sebuah kekayaan pengetahuan yang berkaitan erat dengan terapan gender di masyarakat. Catatan panjang perihal topik ini disampaikan dengan multiperspektif, didasarkan pada catatan personal dari tiap narasumbe dari dua panel yang terselenggara. Pada panel 1, diskusi dipandu oleh Eka Putra Nggalu (Komunitas KAHE), dan dipantik oleh Manita Newa Khadgi (Dokter, Queer Feminis, Vegan, Pemerhati Lingkungan), Ni Made Purnama Sari (Ruang Perempuan dan Tulisan), dan Khanis Suvianita (Peneliti). Sementara pada panel kedua, dipandu oleh Dimas Radjalewa, dan dipantik oleh Lian Gogali (Women and Peace Activist, Founder of Sekolah Perempuan and Mosintuwu Institute), Alyen Foning (Artist, Designer, Independent Researcher), dan Anca Bucur (Visual Artist and Writer). Pembahasan dalam setiap sesi ini menjadi begitu intens mengingat begitu banyak ragam tafsir dalam melihat gender di sekitar kita.
Belenggu dan Sepak Terjang Isu Gender
Dalam melihat persoalan gender, kesadaran belenggu yang selama ini menjadi keyakinan normatif di masyarakat kita menjadi persoalan lanjutan. Hal ini misalnya dipaparkan dalam panel pertama, yang dielaborasi menjadi banyak persoalan dan perspektif dari tiap panelnya. Khanis Suvianita Membahas tentang wacana queer di Indonesia secara umum dan membagikan pengalaman perjalanannya di Indonesia Timur. Istilah LGBT yang semakin umum, tetapi pada kenyataanya isu ini tidak membuat orang mengetahui hal yang sebenarnya. Orientasi daerah dan ekonomi politik berpengaruh pada cara gender dikomunikasikan. Ia juga menekankan wacana yang beredar saling berkontestasi, padahal kenyataan dan wacana beredar tidak sinkron. Ada kepercayaan dan ketahanan keluarga yang berperan. Kemudian bergeser pada penjelasan Ni Made Purnama Sariyang membagikan hasil penelitian Ruang Perempuan dan Tulisan dengan menceritakan singkat 10 tokoh perempuan penulis yang perannya tidak dicatat atau tak dibacanya kembali karena sebab politik, budaya, represi negara, persepsi sosial, dan percepatan perubahan. Menangkis persepsi sosial, kita perlu ruang aman yang memungkinkan perempuan berkreasi secara sehat. Untuk menghadapi percepatan perubahan, masyarakat harus membangun jejaring demi menguatkan ekspresi-ekspresi perempuan. Selanjutnya dalam pemaparan Manita Newa Khadgi, ia membagikan pengalamannya memulai komunitas aseksual di Nepal, kesulitan yang dihadapi dalam hidupnya terkait seksualitas, miskonsepsi masyarakat terhadap aseksual dan aromantik, dan perihal orang-orang aseksual menginginkan hak hidup dan perlakuan yang sama seperti orang lain. Bahwa label bukanlah segalanya, bukan hal yang mendefinisi seseorang, tetapi sebuah alat bantu untuk berkomunikasi dan mengekspresikan diri.
Dalam sesi panel kedua, Lian Gogali memaparkan peran perempuan di Poso, Sulawesi Tengah, khususnya dalam konteks konflik dan rekonsiliasi. Perempuan di Poso, meski kehilangan peran tradisionalnya karena dominasi gagasan dalam kontak dengan laki-laki, masih menunjukkan solidaritas antaragama dan kesukuan selama konflik. Melalui sekolah-sekolah perempuan yang didirikan, mereka berupaya untuk mendapatkan kembali sumber daya alam mereka dan membentuk tim reformasi desa untuk mewujudkan solidaritas ekonomi dan perdamaian. Mereka juga mengkritik konsep pemerintah tentang kemakmuran dan ekonomi kreatif, serta menekankan perlunya menjaga lingkungan dan sumber daya alam. Mereka juga berupaya menggunakan kembali bahasa mereka sendiri, “Pakaroso,” untuk memperkuat solidaritas di antara mereka. Keseluruhan cerita memberikan gambaran mengenai upaya mereka menghadapi tantangan konflik dan eksploitasi sumber daya alam di Poso. Dilanjutkan dengan pembahasan Alyen Foning yang menggambarkan perjalanannya untuk berhubungan kembali dengan akar leluhurnya dan alam setelah mengalami gangguan saraf jauh dari rumahnya. Menemukan garis keturunan dukun perempuan, dia menyadari tanggung jawabnya untuk menjembatani kesenjangan antara manusia dan alam. Dia mendalami konsep gender di alam, menekankan pentingnya sungai, gunung, dan gua. Ia juga membahas trauma leluhur yang dialami oleh laki-laki dan perempuan serta perlunya cara-cara yang damai dan inklusif untuk melindungi lingkungan dan membina generasi muda. Sementara itu, Anca Bucur merefleksikan latar belakang pribadinya, tumbuh di Eropa Timur selama era pasca-komunis, menyoroti dampak pergeseran kelas, gender, dan nasionalis. Ia membahas fokus mereka pada gerakan feminis sosialis, mengkaji kolektivisasi pertanian di Rumania dan dampaknya terhadap struktur masyarakat dan peran perempuan. Dengan menekankan pentingnya konteks sejarah dan kondisi politik, mereka menekankan pentingnya fungsi sosial, ekonomi, dan politik karya seni dalam lanskap yang terus berubah. Mereka menggarisbawahi pentingnya memahami hubungan antara tubuh, tanah, dan alam, dan bagaimana kaitannya dengan bentuk emansipasi pribadi dan kolektif.
Wacana Gender yang Terpinggirkan
Berdasarkan forum diskusi yang berlangsung di Biennale Forum hari kedua ini, Karya-karya sejenis itu mampu kita temui di Taman Budaya Yogyakarta dan Gudang Bibis, Bangunjiwo. Memasuki galeri Taman Budaya Yogyakarta (TBY), di sudut kanan depan ruang pamer kita akan menemukan sebilik pameran arsip yang disuguhkan Ruang Perempuan dan Tulisan. Pameran itu merangkum arsip-arsip yang berkaitan dengan sepuluh penulis perempuan Indonesia dari tahun 1920 yang selama ini amat jarang dibahas. Biennale Jogja 17 menyuguhkan karya-karya seni yang memang dekat dengan denyut nadi kehidupan masyaraka
t. Akan tetapi, peristiwa seni kali ini juga menghadirkan karya-karya di mana titik berangkatnya merupakan isu yang cukup jauh dari jangkauan pembicaraan masyarakat sekitar. Bahkan, pembicaraan yang diberi label tabu dan terpinggirkan.