Dalam forum diskusi, bagaimana sejarah dibicarakan kembali sebagai informasi yang saling berkesinambungan?
Biennale Forum menjadi sebuah ruang pemantik yang menggerakkan ragam diskusi berbagai topik, dengan pembicaraan yang dikorelasikan dengan tema yang tengah diusung dalam penyelenggaraan Biennale Jogja 17. Dalam sesi hari pertama (9/10), pelaksanaan Biennale Forum menghadirkan dua panel, dengan tema Measuring Position: Historical Spectrum and Fragments. Masih dengan menggandeng masyarakat dan fasilitas masyarakat guna menghidupkan seni dalam ruang-ruang keseharian dan masyarakat, keseluruhan acara ini dilaksanakan di Pemerintah Kelurahan Panggungharjo, Yogyakarta. Pada panel pertama, diskusi dipandu oleh Hartmantyo Pradigto Utomo (Studio Malya), yang dipantik oleh topik-topik menarik dari Arif Furqon (Unhistoried), Alfred W. Djami & Tayu Matsumura (photographer & researcher) dan Dr. Widya Fitria Ningsih, S.S., M.A (History Lecturer). Sementara, panel kedua dipandu oleh Natasa Petresin (Kurator, Editor, Penulis) dan dipantik oleh Ovidiu Tichindeleanu (Filsuf dan Teoritikus Budaya), Grace Samboh (Kurator dan Peneliti), dan Hajra Haider Karrar (Kurator, Peneliti, dan Penulis).
Sejarah dari Ragam Perspektif
Perbincangan mengenai sejarah dalam forum ini hadir sebagai sesuatu yang personal, maupun hadir dari pencarian sebagai upaya mempertajam ulang konteks sejarah itu sendiri. Misalnya dalam panel pertama, Arif Furqon berbicara mengenai periode Orde Baru di Indonesia dari tahun 1960-an hingga 1990-an, melalui fotografi untuk menunjukkan peran penting fotografi dalam merekam kehidupan masyarakat dalam sehari-hari. Topik iki berangkat dari risetnya yang berfokus pada foto keluarga sebagai medium yang mencerminkan pandangan ideal masyarakat pada masa itu. Furqon juga menyoroti tema-tema seperti ritual kelahiran, masa remaja, perjalanan, dan pembangunan. penelitian ini juga mengungkapkan beberapa kritik terhadap proyek-proyek pembangunan yang dilakukan pada masa Orde Baru, menyoroti distorsi sejarah yang dibuat oleh pemerintah pada saat itu. Sementara kemudian, pemaparan Alfred W. Djami & Tayu Matsumura berbicara mengenai pengalaman-pengalaman mereka yang berhubungan dengan Timor, baik Timor Leste maupun wilayah Timur Indonesia. Keduanya bercerita tentang perjalanan pribadinya dari pertemuan pertama dengan Timor, hubungan antara dua wilayah, perbatasan, pengalaman dengan pengungsi, dan pengaruh budaya serta sejarah dalam kehidupan sehari-hari. Pembahasan mereka mencakup aspek kultural seperti tradisi, agama, dan kepercayaan, serta pengalaman unik dalam mengeksplorasi Timor dari perspektif sosial dan budaya. Dilanjut dengan pemaparan Dr. Widya Fitria Ningsih yang membicarakan mengenai peran perempuan dalam sejarah Indonesia, terutama pada periode Soekarno dan Soeharto. Fokus utamanya adalah pada pergerakan transnasional, termasuk keterlibatan tokoh-tokoh perempuan seperti Fransisca Fangiday, Fransiska Patipilohi, Moly Bondan, dan Karmel Budiardjo dalam gerakan dekolonial. Cerita tersebut juga mengupas tentang berbagai organisasi perempuan, terutama Kowani (Kongres Wanita Indonesia) dan perannya dalam hubungan internasional, termasuk keterkaitan dengan Women’s International Democratic Federation (WWDF) dan pergerakan mahasiswa.
Dalam panel kedua, pembahasan dimulai dari penjelasan Ovidiu yang berbagi pendekatannya dalam menghubungkan dekolonial dengan Eropa Timur. Ia memulai dengan proyek-proyeknya dalam empat jangkar historis: After 1989, Socialism, Colonial Modernity, dan The Deep Past. Keempat jangkar tersebut kemudian diturunkan dalam poin-poin yang lebih spesifik. Selanjutnya, dalam pemaparan Grace, ia berbagi perihal presentasinya menjadi dua bagian: (1) membagikan karya-karya yang membentuk trajektorinya pemikirannya, yakni karya collagraph Belkis Ayon Manso, video instalasi Nguyen Trinh Thi, Teater 4 Agustus karya Tisna Sanjaya, karya Nadiah Bamadhaj, juga monumen Tugu Tani dan Monumen Persahabatan Negara Non Blok; (2) sebuah surat kepada Edi Sedyawati, pernah menjabat sebagai Direktorat Jenderal Kebudayaan di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Grace mewujudkan ide besarnya dengan mengadakan: 24 Pameran Seni Kontemporer dari Negara-negara Non-Blok di Jakarta, 1995 dengan lebih dari 400 seniman, dari 42 negara. Berlanjut dengan pemaparan Hajra yang menceritakan tentang hubungan transnasional dan solidaritas di Global South dari beberapa publikasi jurnal: Black Phoenix Journal of Contemporary Art & Culture in the Third World, Third Text – Third World Perspective on Contemporary Art and Culture, Heresies Journal Special Edition “Third World Women: the Politics of being other”. Beberapa peristiwa juga disebutkan: Women’s Action Forum, workshop komunitas ASR, dan workshop berjalan dari United Screens.
Melihat Fakta Ulang-Alik dari Tiap Masa
Dengan Semua pemaparan ini, audiens dapat meyakini dan mendapati banyak hal perihal sejarah yang mampu berkesinambungan dari masa lalu ke masa kini. Kedua panel yang berlangsung dalam hari yang sama ini mencoba menghadirkan ke pasa massa, bagaimana masa mampu menyuguhkan fakta ulang-alik, yang siap dikulik dan ditinjau dari banyak perspektif. Baik melalui pengalaman personal, melalui proyek yang berlangsung konstan, maupun melalui riset dan penelitian, Biennale Forum hari pertama telah mengajak kita dalam perjalanan panjang melihat beberapa dunia dan tinjauan atas peristiwa di dalamnya.