Batik yang kita jumpai biasanya berpola sulur-sulur dan kelopak bunga, kepak burung merak, atau awan bergulung-gulung. Dalam kerumitan pola-pola itu, mata kita selalu menemukan keindahan di dalamnya. Dengan keindahan itu, tubuh kita hampir selalu terpanggil untuk memiliki dan mengenakan kain berpola rumit nan indah itu.
Batik memang berhasil memukau siapa pun yang memandangnya. Pamornya sudah go international, apalagi dengan dinobatkannya batik sebagai warisan budaya oleh UNESCO. Kampanye pelestarian batik pun makin bergelora. Perayaan wastra di mana-mana.
Namun, sadarkah kita pelestarian dan perayaan itu tak sekadar membeli dan mengenakannya saja? Ada cara lain yang lebih radikal dan inklusif dalam melestarikan warisan batik. Hal ini justru diinisiasi dari kawan-kawan penyandang disabilitas.
Melalui sebuah program lokakarya membuat batik untuk anak-anak penyandang disabilitas, Jogja Disability Arts (JDA) membuat metode membatik dengan bahan dasar tepung. Batik yang biasanya dilukis dengan lilin atau malam, ternyata bisa diganti dengan campuran tepung terigu dan tepung kanji.
Dalam rangkaian program lokakarya Pameran Anak Saba Sawah, Biennale Jogja mengundang Butong (inisiator Jogja Disability Arts) sebagai fasilitator untuk lokakarya membatik. Ia bersama tim JDA yang berjumlah empat orang memperkenalkan sebuah metode membatik yang lebih ramah bagi anak-anak, khususnya para penyandang disabilitas. Bahan yang digunakan tidak mudah mengiritasi kulit anak-anak.
Lokakarya tersebut dilaksanakan pada Selasa, 24 Oktober 2023 di Balai Budaya Karang Kitri. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat batik dari tepung antara lain kain mori, pewarna wantek, campuran tepung terigu dan kanji, serta waterglass sebagai pengunci warna.
Butong selaku inisiator JDA sekaligus fasilitator dalam program lokakarya tersebut mengakui bahwa dirinya ingin memperkenalkan batik sedini mungkin bagi anak-anak. Maka, tercetuslah sebuah ide untuk membatik dari tepung karena dinilai mudah dicari bahannya serta ramah bagi anak-anak.
Fasilitator lainnya dari JDA bernama Sealia mengakui bahwa dalam berproses memfasilitasi anak-anak disabilitas melatih kesabarannya. Akan tetapi, ia juga senang karena melalui kesenian mereka mampu mengekspresikan diri sehingga melatih mereka dalam menghadapi emosi dan bersosialisasi.
Upaya Butong dan kawan-kawan dari JDA ini menjadi upaya pelestarian batik secara radikal karena ia melakukan langkah mendasar dan edukatif bagi anak-anak. Terlebih, cara yang ia berikan juga mudah dilakukan oleh semua kalangan. Bahkan, sangat mudah dilakukan oleh anak-anak penyandang disabilitas. Inilah inklusivitas yang ditonjolkan Butong dan Biennale Jogja berupaya membawanya ke dalam perayaan seni tahun ini.
Di tengah ramainya perayaan wastra yang selama ini dirasakan oleh kalangan remaja hingga dewasa, JDA hadir melalui jalan sunyi untuk merayakannya dengan mengajarkan pembuatan batik yang ramah bagi anak-anak penyandang disabilitas.