Sejauh mana anak-anak hadir dalam ruang seni kita hari ini?
Dewasa ini, perhelatan seni rupa membuka ruang seluas-luasnya untuk masyarakat umum di luar arus utama seniman sebagai pelakunya. Keterlibatan ini dirasa menjadi penting untuk melihat rupa seni yang kontekstual. Kini, dalam membicarakan suatu isu, seniman menarik para pelaku untuk turut berpartisipasi dalam pengembangan konteks, agar selanjutnya kreativitas yang lahir menciptakan jalinan dengan pihak-pihak terlibat. Keterlibatan ini bisa kita tinjau dalam banyak sektor seni rupa hari ini, misalnya pameran anak-anak. Dalam hal ini, anak-anak, mulai mendapatkan ruang untuk hadir dalam membicarakan persoalan-persoalan yang berkelindan tentang mereka. Biennale Jogja 17 dalam pembahasan ini mengajak anak-anak turut serta dan menciptakan ruang, Saba Sawah.
Melihat Pameran Anak Masa Kini
Saba Sawah menjadi tampilan pameran anak yang sedang gencar-gencarnya terjadi. Seperti halnya pameran besarnya, Titen, dalam membangun keterlibatan masyarakat, Saba Sawah pun melakukan hal yang serupa. Kolaborasi ini dilakukan bersama dengan beberapa instansi formal dan non-formal, yang melibatkan anak-anak di dalamnya. Saba Sawah juga melibatkan masyarakat sekitar, khususnya sekolah-sekolah jenjang sekolah dasar, sekolah rumah (homeschooling), dan sanggar di wilayah Desa Panggungharjo dan Bangunjiwo sebagai partisipannya. Kolaborasi ini dimuarakan dalam ruang Balai Budaya Karang Kitri, Panggungharjo.Kary a-karya di dalam Limasan Balai Budaya Karang Kitri merupakan karya yang dihimpunsecara berkala dari hasil undangan, rangkaian lokakarya pra-pameran bersama fasilitator,dan beberapa lokakarya ketika pameran berlangsung. Juga, terdapat mural bersama anak-anak dari jenjang sekolah dasar, menengah pertama, menengah atas, dan sanggar sekitar bersama kolektif seniman muda sebagai fasilitator.
Pemilihan nama Saba Sawah untuk pameran anak Biennale Jogja 17 ini memiliki spirit di dalamnya. Saba Sawah, diambil dari terminologi dalam bahasa Jawa yang berarti bermain di sawah, membawa spirit sebagai ruang bagi anak untuk mengenal dan lebih dekat dengan lingkungannya–dalam hal ini sawah. “Ruang” di sini juga menghubungkan sawah dengan berbagai aktivitas, misalnya bercocok tanam, bertani, hingga bermain. Bentuk Keakraban dan keingintahuan anak tentang aktivitas bertani memberi spirit agar anak-anak mengenal lingkungan sekitarnya serta memantik keinginan mereka menjadi petani ketika pekerjaan tersebut tidak lagi diminati generasi muda.
Keceriaan dalam Pembukaan Saba Sawah
Keterlibatan itu bisa dilihat dari kemeriahan pada saat pembukaan Pameran Saba Sawah. Pameran ini dibuka dengan melibatkan penampil dari kalangan anak-anak. Anak-anak secara aktif hadir di ruang publik sebagai pelaku, dan mengambil alih perhatian massa. Perhatian ini teralokasikan dalam potensi-potensi mereka, baik dalam pertunjukkan yang berlangsung, maupun dalam karya-karya yang ada di ruang pamer.
Kemeriahan pembukaan pameran anak ini merekam antusiasme anak-anak dalam memahami apresiasi yang tercurah sepenuhnya kepada mereka. Anak-anak, dalam hal ini menjadi pelaku yang terlibat dalam perbincangan regenerasi seni rupa, sekaligus isu-isu lain misalnya ekologis. Dalam mengelaborasi isu ini, Saba Sawah menghadirkan pembukaan yang teatrikal, penampilan Jaranan Anak Bangunjiwo, Permainan Ancak-Ancak Alis. Ada pula Penampilan Musik Gandana Eksperimental Bunyi (Jogja Disability Art). Rangkaian pembukaan ini kemudian ditutup dengan sesi nonton bersama (Agenda Partykelir) yang menayangkan film dari BIOSCIL (Bioskop Cilik).
Pembukaan Saba Sawah ini menjadi satu dari sekian banyak langkah dari menghadirkan ruang untuk anak-anak. Melalui program ini, pengunjung bisa hadir menengok karya hasil partisipasi bersama mereka.