Melihat ruang bagi para Ibu, seberapa jauh ruang itu telah dirayakan?
Arum Dayu, seorang seniman perempuan asal merupakan salah satu seniman residensi Biennale Jogja 17 yang bertempatkan di Bangunjiwo. Bangunjiwo merupakan sebuah wilayah yang masih berada dalam wilayah Kecamatan Kasihan, Bantul, dengan posisi di sebelah barat daya DI Yogyakarta. Bangunjiwo memiliki luas wilayah 1.543,432 yang terdiri dari 19 dusun, setingkat RW. Dengan luas dari desa Bangunjiwo, memungkinkan bagi Arum untuk mengeksplorasi potensi dan kehidupan sosial yang ada di wilayah tersebut. Namun, sejak awal, konsep motherhood menjadi wacana utama yang berusaha digali oleh Arum Dayu. Pada proses residensinya untuk Biennale Jogja 17 ini, Arum Dayu mencoba menemukan ruang perempuan yang tengah hidup di desa Bangunjiwo ini.
Residensi Arum Dayu dan Telisik Ruang Perempuan
Berangkat dari kesadaran atas pentingnya ruang bagi para perempuan, Arum Dayu mencoba menelisik ruang perempuan yang ada di wilayah tersebut. Sebelum sampai pada produksi karya, Arum menelisik habit lingkungan sosial setempat, seperti kelompok warga, hingga pada rutinitas harian warganya. Pencariannya mempertemukannya dengan Mak Yuli, seorang perempuan dengan profesi penjual makanan sekaligus sinden di waktu-waktu tertentu. Mak Yuli kerap bernyanyi sambil berjualan, yang baginya menimbulkan daya tarik tiap kali melihat dan bertemu dengan sosok mak Yuli. Kebebasan bagi Mak Yuli tiap kali bernyanyi menjadi satu di antara ruang bebas bagi perempuan untuk merayakan dirinya sendiri.
Tidak hanya pertemuannya dengan Mak Yuli, Arum Dayu menemukan ruang-ruang perempuan lain, yakni senam. Senam menjadi kegiatan yang umumnya rutin di wilayah Bangunjiwo. Bagaimana tidak, senam menjadi kegiatan yang membangun jiwa kompetitif bagi beberapa kelompok senam di wilayah tersebut. Di Bangunjiwo, dalam hal ini Kring Ngentak, terdiri dari 4 RT (RT 1, RT 3, RT 4, dan RT 6) yang diramaikan dengan kegiatan lomba, salah satunya lomba senam tersebut. Kelompok-kelompok senam inilah yang membuka rasa dan ide Arum Dayu dalam produksi karyanya.
Senam sebagai Ruang Gerak, Ruang Perayaan
Selama beberapa hari dalam masa residensi, Arum Dayu turut berinteraksi bahkan membaur ke ibu-ibu senam di Kring Ngentak tersebut. Arum Dayu juga menemukan motif dari senam yang dilakukan para ibu di sana tidak hanya sekadar untuk lomba antar RT, tetapi sekaligus menjadi me-time bagi mereka. Kegiatan senam kemudian dapat dilihat sebagai ruang perempuan untuk merayakan dirinya sendiri, dan ini kemudian memantik tema yang tengah dibawa oleh Arum Dayu sebagai cikal bakal konsep karyanya. Karena intensitas yang tinggi itu, Arum Dayu jadi memikirkan fungsi dan tujuan karyanya, dan tercetuslah penciptaan lagu untuk senam.
Lagu senam ini tidak terlepas dari keterlibatan perempuan-perempuan yang ditemui Arum Dayu di Bangunjiwo. Dari beberapa lagu, Arum Dayu merujukkan kembali temanya pada kehidupan yang melekat pada tiap-tiap RT. Misalnya, RT 3 dengan tema guyub rukun, walaupun beda-beda tapi mereka sang bahu membahu. Arum Dayu menggali ciri khas tiap wilayah RT, dan mencoba memasukkan keterlibatan anggota senam di dalam proses kreatifnya. Dibangun dari obrolan-obrolan harian, lirik lagu senam ini diisi oleh celetukan-celetukan perempuan-perempuan anggota senam tersebut. Setiap lagu dibuatnya sepanjang 5-6 meni. Keseluruhan lagu dari tiap RT akan beririsan secara dramaturgi, sehingga berurutan akan ada pemanasan, dilanjut dengan gerakan senamnya, kemudian ditutup dengan pendinginan.
Sebagai perempuan yang juga seorang ibu, Arum Dayu memang memiliki ketertarikan dengan kehidupan para Ibu-Ibu. Baginya, senam yang rata-rata diisi oleh ibu-ibu, jadi sangat sesuai dengan motherhood yang direncanakan untuk dilakukan oleh Arum Dayu. Bagi Arum Dayu, lagu ini diharapkan dapat menjadi sarana bersenang-senang sekaligus cara bagi mereka untuk menertawakan dan menikmati kehidupan para Ibu yang tidak mudah. Lagu-lagu ini juga diharapkan dapat mengemas kehidupan keibuan menjadi satu lagu senam yang dapat dapat terus berkelanjutan digunakan.