Bagaimana sebuah ruang mampu mengupas ruang empati milik seseorang?
Bagi Monica Hapsari, Panggungharjo menjadi sebuah ruang dengan cerita-cerita yang menghidupkan antusiasmenya dalam membicarakan empati. Panggungharjo merupakan sebuah desa di daerah Sewon, Bantul, DI Yogyakarta. Desa ini memiliki sistem yang cermat dalam pengelolaan wilayah dan sumber daya yang ada di dalamnya. Namun, di luar pembahasan mengenai hal tersebut, Panggungharjo menjadi sebuah wilayah yang menghidupkan mitos lokal dipadu dengan masifnya keinginan warganya untuk tumbuh.
Pada penempatan residensi Monica Hapsari untuk Biennale Jogja 2023 ini, Ia mencoba menggali dan menyelaraskan hal-hal yang bisa diangkat dari Desa Panggungharjo. Perjalanan Monica Hapsari dimulai dari mengendus buah bibir warga dan berusaha lebih dekat pada hal-hal yang telah hidup di wilayah setempat. Mulai dari sejarah, hingga kisah perseorangan yang membawanya kembali pada naluri untuk membahas kembali isu kemanusiaan dan empati. Inisiatifnya ini mendorong Monica melihat kembali ke dalam dirinya, sebelum mengambil langkah dalam membicarakan karya, hingga sampai pada tahap produksinya.
Melacak Naluri dan Hayati dalam Residensi Monica Hapsari
Alih-alih datang untuk sekadar riset dan produksi karya, Monica Hapsari tidak hadir dengan ide yang sepenuhnya kosong. Monica Hapsari menelisik lebih jauh perihal potensi Panggungharjo. Di desa tersebut, aktivitas dan ekosistem seni di Panggungharjo dapat dikatakan cukup berkembang. Selain keseniannya yang beragam, Desa Panggungharjo juga memiliki bangunan bersejarah, di antaranya Panggung Krapyak atau yang sering disebut Kandang Menjangan. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Yogyakarta, wilayah di sekitar Panggung Krapyak melambangkan kehidupan manusia saat masih dalam kandungan, ditandai dengan adanya Kampung Mijen yang diambil dari kata wiji yang berarti benih, di sebelah utara Panggung Krapyak. Dilihat dari paham mitos yang beredar di warga setempat, kesenian-kesenian yang berlangsung di Panggungharjo itu ditemuinya sebagai representasi dari sejarah dan kebudayaan yang masih hidup di tengah warganya. Sebagai seniman, Ia menyelaraskan kesenian dan kebudayaan yang tengah berkembang di wilayah setempat.
Potensi lainnya di Panggungharjo yakni masifnya perkembangan BUMDes, misalnya KUPAS (Kelompok Usaha Pengolahan Sampah) yang telah berdiri sejak 2013. Operasional KUPAS berupa pengolahan sampai warga desa setempat, sampah akan diangkut yang nantinya didaur ulang untuk dijual. Melalui residensi Monica Hapsari ini, dapat diketahui bahwa Panggungharjo menunjukkan hal-hal yang menurutnya selaras dengan pembicaraan mengenai empati: relasi manusia dengan alam. Masyarakat memiliki kesadaran penuh dalam hal lingkungan dan kesejahteraan alam. Dari keberadaan dan gerakan peduli alam yang ada di desa tersebut, menunjukkan bahwa masyarakat memiliki relasi yang kuat dengan lingkungan hidup mereka. Monica Hapsari melihat lebih dekat melalui kunjungannya ke KUPAS, Panggungharjo sebagai rangkaian residensi yang tengah Ia jalani.
Dari Empati, Menjadi Produksi Karya
Residensi Monica Hapsari yang tengah berlangsung sejak Juli sampai dengan Agustus ini mempertemukannya pada sosok-sosok yang mengantarkannya ke eksplorasi rasa dan karya. Dengan memanfaatkan relasi manusia ke alam dan relasi manusia ke manusia, Monica Hapsari mencoba menggali empati yang memungkinkan hadir di dalamnya. Sepanjang residensi membuatnya bertemu dengan Ibu Yuli, sosok yang menunjukkannya proses daur ulang sampah untuk menekan kemungkinan sampah-sampah itu menjadi limbah yang sia-sia. Pertemuan ini memberinya andil untuk melihat empati masyarakat Panggungharjo pada alam. Pertemuan lainnya dengan kelompok Gejog Lesung di beberapa agenda di malam hari. Pada sesi bersama kelompok Gejog Lesung menunjukkan adanya relasi masyarakat dengan kebudayaan tradisional yang masih terus hidup dan dilanggengkan oleh warga sekitar. Ada pula pertemuannya dengan Mbah Suminah, yang masih menjaga semangat dan ingatannya melalui aktivitas kesenian yang melekat dalam kehidupannya di masa mudanya.
Monica Hapsari mengkorelasikan pengalaman residensinya dengan nilai-nilai kemanusiaan, empati, dan proses kreatifnya. Dengan kombinasi yang diciptakannya, Monica akan menampilkan karya di Biennale Jogja yang membuka ruang reflektif bagi pengunjung yang menikmati karyanya. Sebuah karya yang memperlihatkan ragam rupa relasi manusia dengan lingkungannya, seperti halnya Panggungharjo memperlihatkannya selama proses residensi.
Monica Hapsari, seniman asal Tangerang, tengah mengunjungi KUPAS, Panggungharjo sebagai rangkaian residensi yang tengah ia jalani. Di sana, ia ditemani Pak Jos, salah satu pengurus KUPAS. Pak Jos menjelaskan mengenai bank sampah dan pengolahan sampah yang berlangsung di Panggungharjo, Bantul.
Monica menemui Bu Yuli yang juga melakukan proses daur ulang sampah menjadi benda-benda bisa dipakai.
Monica menemui ibu-ibu yang bermukim di Dusun Sawit, Panggungharo. Ibu-ibu tersebut tengah menjalani latihan rutin gejog lesung. Gejog lesung sendiri merupakan salah satu kesenian tradisional.
Monica menemui Mbah Suminah yang dulunya pengrajin mainan anak-anak tradisional. Meski sudah renta, Mbah Suminah masih bersemangat ketika menjelaskan ingatan masa kecilnya, lagu-lagu dan tarian-tarian yang pernah ia lakukan.