Tentang

Kerja-Kerja Kesenian Lintas Disiplin Membutuhkan Solidaritas: Catatan Refleksi Wicara Kuratorial Biennale Jogja 17

Wicara Kuratorial di Sekar Mataram, Bantul

Angin Minggu pagi menyibak daun-daun pepohonan di halaman Sekar Mataram. Kesejukan melengkapi sengatan matahari yang begitu congkaknya menyinari alam raya Jipangan pagi itu. Orang-orang tetap menikmati obrolan santai di halaman maupun di dalam pendhapa rumah makan. Demikian suasana Minggu pagi 8 Oktober di Sekar Mataram, kala Biennale Jogja tengah menyiapkan program wicara kuratorial.

Di dalam pendhapa rumah makan telah berjajar kursi yang diduduki para kurator Biennale Jogja 17, kurator konsultan, beserta seorang moderator. Dari kiri ke kanan, berjajar Amal Khalaf (moderator), Nataša Petrešin-Bachelez (kurator konsultan), Sheelasha Rajbhandari (kurator), Hitman Gurung (kurator), Adelina Luft (kurator), dan Eka Putra Nggalu (kurator). Mereka hadir untuk menuturkan bagaimana kerja-kerja kuratorial pada Biennale Jogja 17 terlaksana. Terutama, bagaimana solidaritas menjadi perangkat utama dalam kerja-kerja kesenian Biennale Jogja. 

Wicara Kuratorial di Sekar Mataram, Bantul
Para Pengunjung Wicara Kuratorial

Para kurator ternyata memiliki latar belakang yang beragam dan hal tersebut bukan menjadi halangan dalam mengupayakan peristiwa seni Biennale Jogja 17. Nataša Petrešin-Bachelez seorang kurator interdependent  yang tinggal di Paris. Ia menyebut dirinya kurator interdependent karena pekerjaan kuratorial saling bergantung dengan pekerjaan seniman, institusi, dan kelompok-kelompok lain yang dibutuhkan. Sheelasa dan Hitman, para seniman yang tinggal di Kathmandu. Adelina, kurator asal Bukares yang telah tinggal di Indonesia selama delapan tahun. Eka, pengelola komunitas Kahe di Maumere dan seorang sarjana filsafat.

Bisa dilihat bahwa mereka semua memiliki latar belakang budaya dan pengalaman yang hampir semuanya berbeda. Akan tetapi, hal-hal tersebut justru menjadi daya pelengkap bagi kerja-kerja kesenian mereka di Biennale Jogja 17. Sheelasha menyebutkan contoh bahwa Adelina membawakan tema resistensi perempuan. Kemudian, Eka membawa tema kesenian dari pinggiran.

Meskipun begitu, Sheelasha mengakui ia menemukan adanya rasa solidaritas. Hal tersebut terutama muncul dari kemiripan-kemiripan yang mereka miliki. “Mereka sangat keras kepala, tetapi melalui kemiripan yang dimiliki mereka mampu bernegosiasi,” begitu ungkap Sheelasha.

Wicara Kuratorial di Sekar Mataram, Bantul
Wicara Kuratorial di Sekar Mataram, Bantul                                                                                                Adapun Nataša mengungkapkan bahwa politic of friendship menjadi terma sekaligus semangat yang ia bawa dalam kerja kesenian. Yang dimaksud dengan politic of friendship adalah melepaskan ego dalam diri dan mengesampingkan ambisi demi kerja kolektif. 

Mendengar pemaparan Sheelasha dan Nataša mengundang kita untuk merefleksikan kembali pentingnya solidaritas dalam kerja kesenian. Biennale Jogja 17 telah menerapkan kerja-kerja kesenian yang lintas disiplin, tetapi tetap saling merangkul.